Kejutan Lagi

14 3 0
                                    

Lili bergegas pulang setelah mendengar bel pulang berbunyi. Lona menghadangnya ketika Lili hendak melangkah keluar. Kedua tangannya terlipat di dada seakan mau mengajak berantem.

Elsa berdiri diantara mereka dengan raut wajah panik. Sepertinya Elsa mengetahui hal yang akan dikatakan Lona. Dagu yang semula terangkat perlahan turun menghadapkan sepenuhnya ke arah Lili. Bahunya sedikit turun dan menghela napas sejenak sebelum mengatakannya. Lili melihat jam diponsel, terdapat notifikasi pesan dari Vincent. Mungkin cowok itu sudah menunggunya di luar sekolah.

"Lo tau, kan kalau gue suka dengan Vincent sejak lama. Gue juga udah nge DM dia berulang kali tapi cuma di read doang. Gue mohon sama lo." Jemarinya menggapai tanga Lili, "Kita temenan udah lama. Dan elo orang yang paling dekat dengannya. Bilangin sama dia. Kalau gue mau tunggu dia di belakang sekolah sekarang. Gue udah kasih tau dia kok. Takutnya Vincent lupa. Gue mohon!"

"Sorry gue gak bisa janji." Lili menarik diri

Lona mendekap kembali tangan Lili dengan erat, "Gue mohon sama lo. Gue rela kayak gini karna gue tahu lo bisa membantu gue. Pliss."

Lili terdiam tak bisa berkata. Langkahnya menjauh dari kelas mengabaikan permintaan Lona yang tak mungkin dipenuhi. Lona ikut keluar namun tidak mengejar langkah Lili yang sengaja mempercepatnya supaya tidak berurusan lebih dalam dengannya. Lona berkata setengah berteriak, "Gue tunggu Vincent disini."

Elsa memandangi temannya dengan heran, seorang Lona mau menjatuhkan harga dirinya untuk cowok seperti Vincent. Lagian apa bagusnya dari cowok itu samapai Lona tergila-gila dengan Vincent.

"Lo serius mau nungguin Vincent disini?" kata Elsa khawatir.

Kemudian dagunya kembali terangkat dan melipat kedua tangannya dengan angkuh, "Gue tetap akan nungguin Vincent di sini. Gue punya rencana lain. Lo pulang aja."

Elsa semakin khawatir. Dahinya berkerut merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi, "Ingat! Lo janga macam-macam. Lili itu teman kita."

"Teman lo aja kali." Kemudian memutar bola mata sinis dan duduk di kursi depan kelas.

Lili melompat riang ketika Vincent sudah menunggunya dengan sepeda motor matic baru dan helem tanpa kaca. Dia menunggu di ujung sekolah menampakkan senyum kecilnya di sudut bibir. Mungkin tak ada orang yang menyadari bahwa itu adalah senyuman dari seorang Vincent. Cuma Lili yang tahu setiap gerakan kecil yang dilakukannya.

"Kenapa lo bolos lagi."

Vincent menyerahkan helem ke tanga Lili, "Bisa pakai sendiri, kan."

"Lo pikir baru kali ini gue naik motor."

"Cepat naik."

Lili naik ke atas motor dengan perasaan senang. Kemudian tangannya menggapai kaca spion motor supaya menghadap ke arahnya. Lili memperhatikan penampilannya sore itu. Memang sedikit kusut namun masih bisa pergi keliling bareng Vincent.

"Kita mau kemana?"

Vincent tidak menjawab. Kedua tangannya sudah memegang pedal motor dan menarik gas, melajukannya dengan pelan.

Lili memperhatikan spion di sebelahnya lagi. Vincent terlihat bahagia tanpa senyuman. Raut wajahnya tak sekusut biasanya. Lili memangkukan dagunya dibahu Vincent sambil memejamkan mata merasakan semilir angin. Percuma menanyakan perihal kendaraan yang dinaikinya sekarang. Vincent pasti tidak akan menjawabnya.

"Lo suka?" kata Vincent ketika motornya berhenti di lampu merah.

"Suka apa?"

"Motornya. Sebenarnya gue mau bawa lo ngeliat motor kemarin. Tapi kondisinya gak memungkinkan. Jadinya hari ini gue terpaksa bolos buat beli motor sendirian."

"Kenapa lo gak ngajak gue." kata Lili ngambek.

"Ya gak mungkin dong gue ngajakin lo bolos juga." Kemudian bersiap melajukan motor ketika lampu berubah menjadi hijau.

Lili mengangguk kemudian mengencangkan pelukannya. Motor melaju kencang sampai tiba disebuah rumah kayu. Dengan pagar kecil yang tertutup dengan pintu yang juga berbahan kayu. Lili mengedarkan pandangannya ketika turun dari motor. Kemudian meletakkan helemnya di atas spion. Lili masih terlihat bingung dimana ia berada.

"Ini rumah lo?" kata Lili mengadahkan wajahnya ke arah Vincent yang memiliki postur yang lebih tinggi darinya.

Tangannya menggapai ujung kepala Lili yang langsung tertunduk dan merapikan rambutnya yang ikut teracak. Sikap Vincent belakangan lebih hangat dari biasanya. Bahkan dia sering melunakkan suaranya saat sedang mengobrol. Lili takut merasakan ini. Dia memang menyukai Vincent namun tidak untuk salah menerka perasaan cowok yang ditaksirnya. Lebih baik memendamnya seperti ini saja. Tak emngharapkan balasan yang sama.

"Ini kafe. Lo pasti suka tempatnya."

Vincent membuka pagar yang hanya sebatas pinggang kemudian melangkah menyusuri halaman kafe yang dihiasi tanaman di sisinya. Benar kata Vincent tempat ini yang disukai Lili. Suasananya seperti rumah sungguhan. Beberapa meja berjarak jauh dari yang lainnya. Cocok untuk membicarakan hal pribadi di sini. Lagi pula tempat ini lebih cocok untuk orang yang suka dengan suasana rumahan, menjadi lebih akrab dan santai.

Vincent mambuka pintu dan masuk ke dalamnya. Di sana juga banyak yang menempatinya dengan hidangan ala rumahan. Dindingnya juga dipenuhi foto-foto para pengunjung yang membawa keluarganya disini. Langkah Vincent terus berlanjut menaiki tangga kayu berhenti di suatu ruangan seperti dapur. Di sana ada beberapa orang yang sedang memasak menggunakan celemek, beberapa dari mereka adalah ibu-ibu dengan rambut yang disanggul. Mereka sedang menyiapkan bahan dan tersenyum ke arah Lili.

"Mau Bibi masakin apa?" katanya berhenti memotong bahan.

Lili terdiam belum terbiasa dengan hal ini. Kemudian Vincent menyikut lengannya supaya Lili menjawab pertanyaan Bibi.

Lili mengerutkan dahi meminta Vincent dengan tatapannya supaya menjawab pertanyaan yang katanya Bibi. Lili merasa berada di dalam sinetron. Ketika pulang sekolah maka pembantunya bakalan menyambutnya seperti ini.

"Kami mau masakan khas Ibu rumah tangga." jawab Vincent kemudian menarik kursi dan duduk

Lili masih berdiri melihat Bibi melanjutkan pekerjaannya.

"Lo gak duduk?"

Lili ikut duduk sambil memperhatikan mereka masak. Juga tidak tahu julukan apa yang pantas untuk dinobatkan buat orang yang sudah membuat konsep seperti ini.

"Lo selalu buat gue gak bisa berkata-kata." kata Lili merasa kagum

Vincent selalu memberikan kejutan diluar dugaan. Apalagi tempat seperti ini merupakan kejutan yang terindah baginya.

Lili mengeluarkan ponselnya. Kemudian mengarahkan kamera ke Vincent.

"Lo mau apa?" Vincent merebut ponsel Lili dengan cepat.

Kemudian melihat kamera menyala, "Kita lakukan berdua."

Vincent berpindah duduk di samping Lili Kemudian mengarahkan kamera. Itu adalah foto pertama yang diambil atas keinginan Vincent sendiri. Lili meremas ponselnya dengan gemas, memperhatikan kembali gambar yang telah di ambil dari tanga Vincent langsung. Dan ini hasilnya sangat bagus.

"Jangan lo posting." pinta Vincent cuek penuh penekanan.

Lili mengangguk masih menatap ponselnya. Ada senyuman kecil yang terulas dari bibir Vincent.

Teka Teki SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang