Perdebatan tiada henti

12 3 0
                                    

Lili berpikir panjang memikirkan bagaimana caranya untuk memberitahukan kepada Vincent soal akun instagram yang dibuatnya. Vincent akan marah besar jika mengetahui ini. Dia jarang bergaul dengan orang disekitarnya apalagi dengan manusia di dunia maya. Keberadaan orang dibelahan bumi lain. Vincent adalah cowok yang tidak gila akan ketenaran. Baginya berteman dengan Fadel dan Nasa saja lebih dari cukup.

"Vincent.. Gue boleh pinjam hape lo ga?" kata Lili dengan nada bujukan.

Vincent meraih ponselnya yang berada di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam saku celana. Dia melanjutkan makan dengan tenang. Lili manyun sekaligus penasaran apakah Vincent menyadari  diponselnya sudah ada aplikasi baru atau tidak. Masalahnya dia cuma memakai ponselnya untuk alat komunikasi dengan seseorang dan juga bermain game. Sangat disayangkan hape sebagus itu tidak digunakan buat hal yang lebih bermanfaat.

Nasa mnyodorkan ponselnya kepada Lili, "Pinjam aja punya gue. Lo perlu untuk apa?"

"Gak usah. Gue cuma mau ngirim foto gue yang ada di hape Vincent." sanggah Lili berbohong.

Vincent melirik sekilas kemudian melanjutkan makannya. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana, "Jangan lama-lama."

Lili tersenyum lebar segera mengambil ponsel Vincent sebelum cowok itu berubah pikiran, "Makasih Vincent."

Lili membuka ponsel lalu melihat aplikasi instagram yang sudah di downloadnya beberapa minggu yang lalu. Padahal di sini sudah ada beberapa notifikasi baru tetapi Vincent tidak pernah memeriksanya. Apa gunanya ponsel canggih kalau tidak mempunyai akun sosmed. Orang-orang berlomba membuat konten untuk menaikkan rating dengan memperbanyak followers. Apapun dilakukan demi pengikut yang akan memberikan like dan komentar. Justru Vincent tidak peduli dengan semua itu. Dia hanya tahu ponsel digunakan untuk bermian game dan menjadi alat komunikasi.

"Gue makin curiga sama gelagat lo." seru Vincent menyudahi makannya yang habis tak tersisa. Begitu juga Nasa dan Fadel mereka juga menyelesaikan makanannya. Sedangkan Lili masih sedikit makanan yang disentuh di piringnya.

"Gue gak apa-apain ponsel lo. Cuma mau ngirim foto." Lili memperlihatkan foto yang dikirimnya.

"Udah selesaikan?" kata Vincent merebut ponselnya dari tangan Lili.

Vincent melihat ponselnya dengan teliti dia menscroll dan melirik Lili sekilas dengan tatapan curiga. Lalu kembali menutup ponselnya kembali.

Fadel menekuk wajahnya dengan sebelah tangan. Wajahnya menunjukkan beban yang sedang dipikul. Fadel sangat memikirkan nasib keluarganya. Belum lagi dia mempunyai adik yang duduk dibangku smp. Masih membutuhkan biaya yang banyak setidaknya sampai ke bangku kuliah. Bagaimanapun sikap Fadel kepada teman-temannya sangat menjengkelkan dia selalu memikirkan keluarganya. Dia pernah berkata jika lulus sma nanti Fadel akan bekerja sambil kuliah. Tidak mau membebankan orang tua. Cukup menanggung biaya makannya saja. Kalau soal pendidikan dia harus lebih mandiri lagi.

"Gue jadi gak selera makan." seru Fadel lesu. Padahal makanan yang ada dipiringnya sudah habis tak tersisa. Mungkin maksud Fadel dia tidak berselera menghabiskan lebih banyak makanan dari biasa.

"Lo jangan gitu. Belum taukan gimana nasib keluarga lo ke depannya." kata Vincent. "Tapi bagus juga kalau lo cuma makan satu porsi makanan. Berat badan lo, kan bakalan turun."

"Sempat-sempatnya lo mikirin berat badan gue. Harusnya lo lebih bersimpati lagi. Tawarin gue lagi makanan kek. Atau apa gitu." Fadel masih sempat bercanda diantara kegusaran hatinya.

"Kayaknya lo lebih baik diet. Lo mau jadi obesitas karena kebanyakan makan." ejek Lili terkekeh.

Fadel memukul tangan Lili, "Mulut lo ya. Pengin gue tarik rasanya."

"Auw sakit. Vincent bilangin sama teman lo jangan pukul gue." Lili mengelus tangannya yang kena pukulan. Rasanya panas dan pedas.

Vincent melihat tangan Lili yang kemerahan, "Wah parah lo." Kemudian mengelusnya.

"Rasain tuh. Makanya punya mulut dijaga." sembur Fadel menambah semangatnya kembali. Justru Lili tertawa melihat Fadel kembali seperti sedia kala.

"Nah, ini baru namanya Fadel. Kalau teriak gini gue senang sama lo." Nasa menepuk punggungnya ikut bahagia.

"Gue mau pulang aja. Sakit kepala gue mikirinnya." Kali ini Fadel bersandar lemas. Perutnya menyembul dari dalam baju dengan kancing terbuka.

"Perut lo tuh." tegur Vincent.

Fadel segera memasang kancing bajunya. Dia berdiri lesu, "Gue mau pulang sekarang."

"Yah gak seru." protes Lili namun ia tetap berdiri. Kasihan juga dengan Fadel gara-gara mikirin yang belum pasti selera makannya berkurang.

Lili kembali terusik pada wajah Vincent. Wajah cowok itu berhasil mengalihkan perhatiannya. Vincent melangkah gagah membukakan pintu untuk Lili kemudian masuk ke sisi pintu yang lain. Tolong tenangkan jantung ini. Lili mengerjapkan mata menggeleng berusaha menyadarkan diri. Ini adalah kesalahan. Lili tidak mungkin merasakan getaran ini.

"Lo kenapa? Sakit?" Vincent meletakkan tangannya di kening Lili. Bukannya panas justru keringat dingin membasahi dahinya.

"Gue ngantuk." kata Lili bersandar memejamkan mata.

Nasa melihat dari spion atas mobil. Dia berkata, "Atau gue anterin lo pulang duluan."

"Gue bilang mau pulang." teriak Fadel. Sepertinya jika dibiarkan terlalu lama Fadel bisa gila dan harus disuntik rabies.

Lili menghempaskan kepalannya di udara, geram dengan tingkah Fadel yang menjengkelkan, rasanya mau menempeleng kepalanya namun berhasil menahan sabar karena Vincent lebih dulu menggenggam tangannya.

Lili memutar bola matanya menatap Vincent yang hanya diam. Setiap tindakan cowok itu mampu menggetarkan hatinya. Tapi apakah Vincent merasakan hal yang sama dengannya.

"Habis nganterin Fadel gue boleh mampir di rumah lo sebentar?" kata Nasa.

"Boleh. Lo mau istirahat dulu di rumah gue. Tapi maaf ya kayaknya rumah gue agak berantakan. Dan bokap, nyokap lagi gak ada di rumah." ujar Lili merasa tidak enak

"Santai aja. Kamar gue juga gak kalah berantakan kok. Emang orang tua lo kemana?"

"Kalau bokap beberapa hari ini sering lembur. Kayaknya banyak urusan yang harus diselesaikan." Lili memelankan suaranya. Karena ini juga menyangkut perusahaan tempat ayah Fadel bekerja.

"Iya. lagi selesaikan PHK karyawan." Fadel menyahut ketus. Dia benar-benar terbebani melihat para karyawan demo di jalanan.

"Kenapa jadi gue yang salah. Kan, bukan bokap gue yang memberhentikan karyawan. Bokap gue juga karyawan kali." kini Lili ikutan ngambek. Sebelumnya Ayah tidak pernah bercerita masalah pekerjaannya di kantor. Yang lili tahu bahwa setiap bulan Ayah hanya memberikan ibu gaji setiap bulannya. 

Suasana di mobil mendadak hening. Bahkan Vincent tidak mau membelanya. Mentang-mentang Fadel temannya. Vincent justru diam seribu bahasa. Setidaknya Lili butuh pembelaan dari dia.

"Lagian kalau mau marah. Marah aja sama pimpinan perusahaannya. Kenapa Lili yang kena sembur." kata Nasa

"Oh jadi gini, cuma gini pertemanan kita. Mentang-mentang lo suka sama Lili. Sekarang lo mojokin gue." Fadel melotot menyemburkan kalimat yang seharusnya disimpan rapat.

Sebelah tangan Nasa mendorong tubuh Fadel yang kokoh. Bahkan posisi duduknya tidak tergeser sama sekali. Mobil menepi ketika sampai di depan rumah Fadel. Rumahnya cukup luas dibandingkan rumah Lili. Padahal jabatan ayah Lili jauh diatas bokap Fadel. Dan keadaan rumahnya jauh lebih mewah. Harusnya keluarganya mempunyai banyak tabungan buat masa depan mereka.

Fadel membuka pintu mobil lalu mengetuk pintu belakang tempat Lili duduk, "Sorry tadi gue emosi. Dan lo jangan tersinggung sama omongan gue. Kayak baru temenan aja."

"Iya. Gue tau mulut lo kayak sampah. Sana pergi." kata Lili menutup kaca mobil.

"Makasih bro." seru Fadel kepada Nasa. Kemudian dia masuk ke dalam rumah dan menutup pagarnya.

Teka Teki SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang