Lili menyediakan teh hangat beserta roti di sampingnya, dihadapan Vincent yang masih terlelep. Dengkurannya terdengar jelas menampakkan kelelahan. Sambil menunggu Vincent bangun Lili menyalakan televisi melihat berita terkini. Kini demo terjadi di sebuah perusahaan tempat Ayah Lili bekerja. PT. Nusa Kembang. Para buruh menuntut kepada pemimpin perusahaan untuk tidak melakukan PHK. Banyak karyawan terlantar akibat pemberhentian mendadak ini.
Lili khawatir nasib keluarganya. Bahkan Ayah tidak pernah cerita sebelumnya soal perusahaannya yang mengurangi jumlah karyawan. Takut yang akan menjadi korban PHK termasuk Ayahnya. Bagaimana kehidupan untuk kedepannya. Diusia sekarang tidak memungkinkan lagi buat Ayah untuk mencari pekerjaan. Pasti sulit. Mana ada yang mau menerima karyawan yang sudan berumur. Belum lagi Ibu akan ngoceh sepanjang hari karena Ayah tidak pernah menceritakan hal ini.
Pagi tadi Ayah berangkat kerja seperti biasa. Namun lebih cepat dari biasanya. Bahkan Ayah belum sempat sarapan yang sudah dibuatkan sejak subuh tadi. Begitu juga Ibu pagi tadi sudah berangkat dengan teman-teman arisannya ketempat pariwisata.
Para buruh berhenti tepat di depan polisi yang menjaga lengkap dengan atributnya. Menjaga kalau ada kejadian kerusuhan terjadi. Dengan tertib para buruh mengeluarkan aspirasinya dengan lantang. Rata-rata yang terkena PHK adalah orang yang sudah berumur. Tatapan mereka memancarkan kesedihan mendalam. Tatapan penuh arti membayangkan nasib keluarga kedepannya. Jika PHK ini terjadi maka pengangguran akan semakin bertambah. Dan tingkat kriminal akan semakin meningkat.
Lili mematikan siaran tv. Tidak sanggup membayangkan kalau Ayahnya termasuk dari sekian banyaknya korban PHK. Bagaimana sekolahnya nanti, biaya kehidupan sehari-hari dan juga Lili harus melanjutkan kuliah.
Lili meraih teh yang mengepul dihadapannya. Lalu menyeduhnya dengan pelan. Lidahnya terasa melepuh karna airnya masih panas. Kemudian kembali menatap Vincent yang mulai bergerak.
Vincent mencoba memejamkan matanya kembali. Dia bergerak menahan sakit yang terasa ditubuhnya. Perlahan matanya terbuka. Melihat Lili yang sedang memperhatikannya. Mungkin Vincent belum sadar sepenuhnya. Tatapannya cukup lama dengan sayup-sayup mata memandang. Seketika matanya terbelalak dan bangkit dari tidurnya.
"Udah bangun." kata Lili menggoyangkan tangan diwajahnya.
Vincent meringis merasakan sakit disekujur tubuhnya. Dia kembali memejamkan mata bersandar tidak sanggup menggerakkan tubuhnya.
Lili buru-buru mendekat duduk di samping Vincent, "Sakit banget, ya."
Vincent cuma meringis tidak sanggup berkata. Desisannya membuat Lili merasa iba. Pasti tersiksa banget mempunyai luka sebanyak itu. Mempunyai satu luka dilutut saja membuat Lili mendemam apalagi Vincent yang mempunyai banyak luka ditubuhnya, bisa dirasakan setelah melihat ekspresi Vincent sekarang.
"Minum dulu." Lili mengambil minuman dan menyodorkannya ke Vincent.
Saat cangkir itu mendarat dibibirnya, Vincent langsung menyemburkannya, "Panas!" matanya seketika melek. Memandangi Lili dengan sebal. "Lo mau membunuh gue."
Lili meletakkan kembali cangkir di meja. Dia lupa kalau teh itu masih panas, "Sorry."
Vincent melepehkan sisa teh dimulutnya kemudian mengelapnya dengan tissue sambil memandangi Lili dengan tatapan dendam.
"Gue gak sengaja!" Lili menyesal sekaligus menahan tawa melihat ekspresi cowok yang biasanya cuek mendadak garang. Terlihat lebih lucu.
Vincent kembali bersandar menghadapkan wajahnya kelangit sambil mendesah menahan sakit. Sepertinya tulang Vincent benar-benar remuk. Sampai harus mengeluarkan erangan seperti itu.
"Duh.. Gimana nih. Gue harus apa biar lo gak sakit?" Lili benar-benar merasakan cemas mellihat kondisi Vincent. "Atau mau ke rumah sakit aja."
Vincent menggeleng kuat tidak mau ke tempat itu. Bisa-bisa dia diamuk oleh orang tuanya karena mengulangi kesalahan yang sama.
"Jadi lo mau kayak gini terus." Lili menyentuh kening Vincent yang terasa panas. "Badan lo panas banget. Lo harus mendapat perawatan rumah sakit. Ini gak bisa dibiarin." Lili meraih ponselnya lalu menekan salah satu nama dikontak.
Vincent merebut paksa ponsel itu. Dalam kondisi seperti ini tenaga Vincent tetap masih kuat. Lili jadi curiga kalau Vincent tidak beneran sakit. "Gue gak mau ke rumah sakit." sahut Vincent.
"Terus lo gimana. Mau kayak gini terus. Entar kenapa-kenapa lagi. Kalau lo mati gimana?" kata Lili mulai ngaco.
"Yah jangan didoainlah. Gue masih mau hidup." katanya dengan suara parau.
"Yahkah ngomong lo aja kayak gitu. Kayak orang yang mau sekarat. Pokoknya lo harus ke rumah sakit. Jangan nolak." Lili merebut ponselnya dari tangan Vincent yang terkulai lemas. Bahkan genggamannya saja sudah melemah.
Vincent memakai sisa tenaganya buat menjauhkan ponsel tersebut menjauhi Lili namun Lili dengan sigap merebutnya dari tangan Vincent.
"Gue mau telpon-"
"Ambulan..." sambung Vincent.
"Lo mau gue panggilin ambulan." Lili menurunkan ponselnya dari telinga dan memutuskan panggilan di nomor yang dihubunginya. "Padahal gue mau nelpon.."
"Pagi guys." kata Fadel menyelonong masuk ke rumah Lili. "Lo disini juga." Langkahnya berlanjut menuju dapur tanpa memperhatikan kondisi Vincent yang sekarat.
Vincent masih mendesis tidak tahu kalau Fadel datang.
"Lo kenapa." tanya Nasa mendekat.
Napas Vincent tersengal-sengal. Tubuhnya melemah dan tidak bergerak lagi. Kepalanya terkulai di sisi kursi.
"Vincent.." Lili menggoyangkan tubuhnya yang melemah.
"Vincent kenapa?" kata Nasa tidak tahu situasi yang terjadi.
"Kita harus bawa dia ke rumah sakit." Lili meletakkan tangan Vincent melingkari lehernya. Mencoba mengangkatnya namun tidak berhasil. Lili terjatuh bersama Vincent yang kembali bersandar dengan napas sesak.
Fadel yang baru balik dari dapur membawa piring dan sendok. Barus sadar dengn kondisi temannya. Fadel teriak histeris mendekati Vincent menyingkirkan Lili yang duduk terlalu dekat dengannya. "Minggir!"
Lili terpental ke lantai merasakan sakit di pinggangnya. "Tega banget, sih, lo." Lili perlahan berdiri menepuk bokongnya.
"Lo gak apa-apa." tanya Nasa.
Lili membulatkan kedua jarinya menandakan aman.
"Lo apain Vincent." kata Fadel melotot.
"Gak gue apa-apain." sergah Lili masih menepuk bokong.
Fadel berjongkok memberikan punggungnya supaya Vincent bisa digendong. "Bantuin gue." katanya siap membawa beban berat.
Lili dan Nasa membantu menggotong Vincent ke atas punggung Fadel. Kelihatannya tubuh Vincent tinggi dan normal. Tak disangka beratnya menyamai berat badan Fadel yang bergelimang lemak.
Uueehekk.. Fadel tercekik saat Vincent melingkarkan kedua tangannya ke leher Fadel. Uhhhuukk.. "Jangan bunuh gue."
Vincent meregangkan rengkuhannya. Fadel berdiri perlahan ketika Vincent sudah berada dipungungnua. Kaki Vincent terjuntai ke bawah menyeret lantai. Lili dan Nasa membantunya memegangi Vincent supaya tidak terlepas dari gendongan Fadel.
"Buka pintu mobilnya." kata Fadel. Mukanya memerah menahan berat badan Vincent.
Buru-buru Nasa membukanya dan meletakkan Vincent duduk di kursi belakang.
Fadel membungkuk menarik napas dalam sambil menjulurkan lidah setelah memsukkan Vincent ke dalam mobil. Menghirup oksigen dengan sangat kasar dan segera membawa Vincent ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.