Bukan Sepatu Vincent

12 2 0
                                    

Padahal pendaftaran donor darah sudah dibatalkan. Tetapi Nasa masih terlihat cemas. Dia juga dijemput oleh supirnya untuk diantar ke rumah. Sementara Fadel dipesankan taksi online oleh Nasa.

Sore merambat berganti dengan gelapnya malam. Vincent singgah di rumah Lili. Sementara ibu baru saja selesai mandi dan mengambil posisi di depan tv. Menyalakan sinetron yang tak kunjung tamat.

"Baru pulang?" kata Ibu tanpa menoleh. Matanya fokus ke layar tv saat pemeran utamanya akan dicelakai oleh pendatang baru di sinetron itu. Sambil mencerca alur cerita yang semakin tidak masuk di akal. Ibu masih tetap menontonnya dengan erangan.

"Malam, tante." kata Vincent menyalami ibu ikut duduk melihat sinetron sementara Lili berganti pakaian.

Ibu baru menoleh saat Vincent duduk di sisi sofa yang lain, "Kenapa malam terus pulangnya?"

"Rencananya kita mau donor darah.."

Belum selesai Vincent berbicara, Ibu memotong pembicaraan, "Bagus itu. Tante senang melihat anak muda yang aktif gini."

Lili keluar dari kamar, "Gak jadi, Bu. Soalnya Fadel hampir pipis dicelana."

Ibu terkekeh, "Lucu banget. Badan aja yang gede nyalinya kecil."

Tanpa sadar Lili sedang menutupi kejadian Nasa yang hampir pingsan saat akan melakukan donor darah. Raut wajah Vincent sesaat berubah menjadi sendu.

"Kita duduk di depan aja." ajak Lili melangkah ke beranda rumah.

"Terus Fadel gimana?" seru Ibu dengan sisa tawanya.

"Gak jadi pipis. Cuma tadi Fadel keliatan pucat." sahut Lili dari luar. Suaranya terdengar samar sampai ke telinga ibunya yang tak lagi mengindahkan jawaban Lili. Saat pemeran utama tertabrak truk dan tergeletak. Ibu teriak sambil berdiri kembali mencerca alur ceritanya.

Rinai mulai jatuh ke permukaan. Melihat paperbag yang tergantung di motor Vincent, Lili begegas mengambilnya sambil mengintip sedikit isi di dalamnya.

"Ini barang lo." kata Lili menyerahkan. "Itu isinya apa?"

Vincent meletakkan barang itu di samping kursi, "Oh ini sepatu gue."

"Kenapa lo bawa sepatu?" Lili bertanya penasaran perihal sepatu yang menjadi perdebatannya dengan Lona.

Vincent sedikit berpikir sebelum menjawabnya, dari tangannya Vincent menunjukkan sepatu bewarna merah, "Ini sepatu gue yang sama kayak yang lo tunjukin."

"Ini sepatu yang.." Perkataan Lili menggantung. Mengingat perkataan Lona tadi.

"Iya. Ini sepatu gue yang lo kira punya gue. Sebenarnya sepatu ini udah gue kasih ke Lona. Tapi hari ini. Ya lo taulah." Vincent seakan menembaknya langsung dengan perkataan yang menyudutkan Lili.

"Maksudnya?" tanya Lili sudah tahu apa yang diucapkan Vincent. Lili sedikit kaget karena aksinya tadi diektahui oleh Vicent, "Lo tahu kalau gue dari tadi nguping pembicaraan kalian?"

"Ya bisa dibilang gitu." Vincent mengulum senyum

"Gue gak sengaja dengar omongan lo tadi. Habisnya lo lama banget baliknya. Ya kebetulan kalian lahi ngobrol. Kesempatan gue buat.."

"Nguping." tandas Vincent. "Mungkin sepatu itu gak sangaja lepas dari peserta demo kemarin?" tebak Vincent tidak terlalu peduli dengan sosok yang sudah memberikan Lili sepatu.

"Tapi kenapa Lona bisa ikut demo?" tanya Lili. Daripada penasaran lebih baik bertanya langsung ke orangnya.

"Katanya sengaja ngikutin gue. Kebetulan gue salah narik tangan orang. Gue kira itu elo ternyata Lona. Gue panik banget kehilangan lo. Kalau sampai lo kenapa-kenapa. Gue bakalan merasa bersalah seumur hidup." katanya menyesal. Suara Vincet terdengar tulus. Dia menatap Lili nanar.

"Lo liatkan sekarang gue baik-baik aja. Dan gue juga mau terima kasih ke cowok yang udah nolongin gue waktu itu." Sambil menatap langit Lili berharap bisa bertemu dengan orang itu lagi.

"Sekarang mau lo apain sepatunya?"

"Gue buang aja kali, ya." pandangannya beralih menunggu pendapat Lili.

"Sepatunya masih bagus. Mending lo pakai aja. Atau kalau gak mau kasih ke orang lain aja." Lili mengingat seseorang, "Kasih ke Fadel."

"Bukannya kaki dia gede?"

Lili terkekeh mengingat ukuran kaki Fadel yang besar, "Kalau gitu lo pakai aja atau disimpan sebagai kenangan asal jangan dibuang. Sepatu lo bukannya masih bagus?"

"Lo aja yang simpan." Vincent bangkit dari duduknya pamit pulang. Sebelum pergi Vincent berkata, "Jangan mikir yang macam-macam. Langsung tidur dan jangan sampai datang telat sekolah."

Lili mengangguk pelan sedikit menyunggikan senyum. Sebagai perpisahan malam itu Lili melambaikan tangan ke arah punggung Vincent.

Ibu keluar membawa nampan berisi dua gelas sirup, "Vincent mana?" Ibu ikut duduk megedarkan pandangan. Tatapannya berhenti pada Lili yang mengambil minuman.

"Ibu kelamaaan. Vincent udah terlanjur pergi." tandas Lili meneguk minumannya dengan sangat haus.

"Kenapa gak pamit?" tanya Ibu.

Lili mencari alasan supaya Vincent tetap terlihat baik di mata Ibu, "Tadi udah mau pamit. Ibu gak ada di ruang tengah. Lili suruh pulang aja."

Ibu masuk ke kamar.Sementara Lili maish betah duduk di beranda rumah sambil menunggu ayah pulang. Semenjak adanya PHK besar-besaran, Ayah jadi sering lembur. Mungkin karena jumlah karyawan tingga sedikit jadi diharuskan buat lembur.

Tak lama berpikir mobil Ayah merambat muncul di depan pagar, Lili segera berlari membukakan pintu dan membiarkan mobil terparkir di halama. Ayah keluar dengan senyumannya. Meski lelah ia tetap tidak menampakkan kegusarannya selama bekerja di kantor. Senyuman itu hanyalah hiasan diwajah buat menutupi lelahnya. Tak ada keluh kesah yang keluar dari mulut Ayah. Makanya Lili juga tidak pernha menutut apapun meski kadang menginginkan barang yang lagi trend.

Lili menuntun Ayah masuk ke rumah dengan memeluk lengannya. Ibu juga keluar saat mendengar suara dari mobil. Kemudian mengambil tas Ayah dan segera menyeduh teh.

"Capek ya." kata Lili memijat lengan Ayahnya. Pasti lelah seharian mengerjakan banyak dokumen yang sesuai deadline. Juga ayah semakin tua pasti kemampuannya berkurang. Perusahaan lebih senang mempekerjakan karyawan berusia muda dibandingkan usia yang empat puluhan.

"Beruntungnya punya anak cantik, baik dan pengertian seperti ini. Pasti Vincent juga merasakan ini."

Lili mengerutkan dahi menatap Ayah, "Kenapa jadi ngomongin Vincent?"

"Jadi siapa dong. Atau Fadel."

"Malas ah." Lili merajuk melangkah menuju kamar. Sebelum membuka pintu Lili berkata, "Kenapa Ayah bisa kepikiran Fadel?"

Ayah tertawa. Di dalam kamar Lili masih mendengar tawa Ayah yang mulai reda. Lili memeluk guling mengingat perkataan Vincent. Justru semakin disingkirkan pikiran itu muncul dengan sendirinya.

Berani-beraninya Vincent meninggalkan pesan sebelum tidur. Pikiran Lili semakin tertganggu oleh ucapannya. Bisa gak Vincent pulang aja tanpa meningglkan pesan. Jadinyakan susah buat tidur.

Detik jam terus bergerak. Lili masih betah menerawang membuang jauh sosok Vincent. Ini sungguh keterlaluan. Lili harus merasakan perasaan ini sendirian. Bukankah ini tidak adil?

Teka Teki SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang