Khawatir

88 11 0
                                    

Malam itu Vincent pergi setelah beberapa luka di tubuhnya dilumuri dengan obat seadanya yang ada di rumah. Jujur saja di rumah Lili tidak pernah menyediakan kotak P3K, jadi saat ada kejadian seperti ini hanya ada obat merah yang menjadi pertolongan pertama bagi Vincent dan juga dirinya.

Lili menuangkan beberapa tetes ke atas luka yang cukup lebar di lengan Vincent, mungkin saat terjadi kerusuhan tadi cowok itu sempat terjatuh dan terinjak oleh peserta demo lainnya. Juga Lili mengalami hal yang sama saat aksi kerusuhan terjadi, berusaha bangkit saat terjatuh akibat dorongan dan ketakutan di tengah demo tadi. Untung saja ada orang yang menyelamatinya.

Lili berjalan pincang masuk ke dalam kamar. Kakinya baru terasa sakit sekarang. Begitu juga tubuhnya juga terasa remuk. Padahal yang dilakukannya hanya berlari bersama peserta demo lainnya. Mungkin saja selama ini Lili tidak pernah melakukan olahraga, jadi tubuh kakunya terkejut saat berlari mencari tempat yang aman.

Saat ini matanya terasa sangat mengantuk, lelah dan sakit bercampur menjadi satu. Belum lagi besok harus berangkat ke sekolah. Dan juga malam ini Lili harus mempersiapkan mata pelajaran yang akan dipelajari besok. Mengingat bagaimana keadaan Vincet tadi. Timbul rasa khawatir terhadapnya. Entah apa yang dipikirkan cowok itu. Tidak ada obrolan yang terjadi diantara mereka sejak kejadian demo itu. Bahkan saat bicara dengan Ayah. Vincent juga tampak sungkan, meski berusaha menyembunyikannya. 

Lili sangat mengenal cowok itu. Ada sesuatu yang dipendamnya. Dia saja yang tidak mau terbuka, memberitahukan isi hatinya. Lili juga terlalu gengsi untuk bertanya kepadanya. Mungkin besok atau dibiarkan begitu saja. Membiarkan waktu yang akan membawanya kembali pulih. Seperti biasa. Mereka tidak pernah saling memberi maaf ketika terjadi pertikaian diantara mereka. Membiarkan masalah itu berlarut dan waktu yang akan membawa mereka kembali.

Tapi kali ini mereka tidak sedang bertengkar, tidak ada perdebatan atau yang membuat pertemanan menjadi renggang.

Lili mengingat kembali kejadian tadi. Ah. Lili menepuk jidat. Ia mengingat moment saat Vincent memeluk dirinya dan langsung menerima penolakan. Mungkin saja cowok itu marah atau tersinggung dengan sikapnya. Wajar saja Lili bersikap seperti itu. Ditinggal di tengah kerusuhan tanpa mengenal siapapun dan hampir saja ia terinjak oleh masa yang menghindari tembakan gas air mata. Pasti yang mengalami sepertinya merasa kesal.

Sudah jam sembilan malam. Rutinitasnya menerima telepon dari cowok itu juga tidak dilakukannya. Biasanya Vincent bakalan menelponnya sebelum tidur. Menanyakan harinya meski setiap hari bersamanya. Itu cuma obrolan basa-basi supaya Lili tidur dengan cepat.

Lili berusaha menenangkan pikirannya yang terus berjalan mengkhawatirkan cowok itu. Padahal belum tentu Vincent melakukan hal yang sama dengannya. Pikirannya terus bersenggayut meski mata sudah terpejam. Berjalan memikirkan keadaannya yang cukup parah. Luka dilengannya cukup lebar, dibagian wajahnya juga terdapat beberapa luka yang tidak bisa disembunyikan dari pandangan orang-orang. Dan pasti orang yang melihatnya bertanya-tanya perihal luka yang didapatnya.

Kakinya juga tidak berjalan normal. Sama seperti yang dialami Lili. Entah apa yang harus dikatakan kepada orang yang bertanya kepadanya. Vincent dan Lili mengalami luka yang sama, bedanya Lili hanya luka kecil. Wajahnya masih sama, tidak ada lecet sedikit pun. Namun matanya agak perih.

Seharusnya saat ini Lili tidur, tenggelam di bawah selimut hangat yang akan membawanya pada ketenangan. Namun pikirannya terus berjalan entah kemana tanpa tujuan. Mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Pikiran ini harus dibuang jauh. Lili menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Membuang jauh sesuatu yang mengganggu waktu istirahatnya. Mencoba memejamkan mata sesaat. Dan kekhawatiran itu belum juga hilang. Akhirnya Lili mengambil telepon dari nakas, menekan nomor Vincent. Sesaaat panggilan itu tersambung lalu Lili mematikannya. Melempar telepon tersebut ke bawah bantal.

Sebenarnya Lili masih menunggu telepon dari Vincent, berharap dia menghubunginya kembali. Sepuluh menit, dua puluh menit, hingga setengah jam berlalu, ponselnya belum juga berdering. Lili mencoba menenangkan hati. Melupakan kekhawatirannya. Mungkin saja saat ini Vincent sedang terlelap di kasurnya yang empuk bersama mimpi indah.

Lili mendesah. Terlalu bodoh mengkhawatirkan temannya secara berlebihan. Lagian dia adalah seorang cowok yang bisa menjaga diri dengan baik. Demo seperti tadi saja bisa dilewatinya apalagi gelapnya malam yang masih banyak kendaraan yang berlalu lalang. Jam segini mungkin saja jalanan sudah terbuka seluruhnya. Vincent bisa melewati jalanan kota yang diterangi lampu yang berjejer di pinggir jalan.

Saat melangkah keluar tadi terlihat Vincent menahan sakit. Wajahnya meringis dan tampak lusuh. Dan juga hanya sepotong roti yang mengganjal di perutnya sejak siang tadi. Mungkin tidak akan cukup baginya.

Lili kembali menghubungi Vincent. Panggilan tersebut langsung terhubung ke nomornya. Kali ini cukup lama sampai panggilan itu berkahir dengan sendirinya. Vincent tidak menjawabnya. Atau kekhawatirannya benar-benar terjadi. Lili segara memulihkan segala pikiran buruk yang memenuhi otaknya. Pikiran terbaik yang akan mensugestinya malam ini adalah Vincent sudah terlelap di kasurnya bersama mimpi indah.

Begitu juga Lili harus memejamkan mata dengan paksa. Berdamai dengan pikiran dan harus istirahat dengan tenang. Bagaimana pun ia juga butuh istirahat buat melanjutkan hari esok. Meski masih terbesit Vincent. Lili meyakinkan diri sambil berdoa, semoga cowok itu sesuai dengan apa yang disugestikannya. Biasanya hal itu berhasil dilakukannya. Semoga saja.

Teka Teki SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang