"Waduh silau banget." seru Fadel menutupi wajahnya dari sinar mentari kemudian duduk di samping Lili yang sedang melamun di taman.
"Tau aja lo kalau gue disini." Lili menggiti rotinya dengan lemas.
"Kepikiran, kan lo. Udah lo pilih yang banyak uangnya aja." saran Fadel justru membuat Lili mendadak kenyang.
Lili menyodorkan sisa rotinya, "Nih buat lo aja."
"Bekas lo. Gpp deh. Yang penting gratis." Fadel langsung melahapnya dalam dua suapan. Tanpa permisi dia juga mengambil minuman milik Lili sampai habis.
"Gara-gara lo nih. Coba aja gak lo comblangin gue sama Nasa pasti gak gini kejadiannya. Gue jadi canggung mau ketemu dengan dia. Rasanya kayak ditagih jawaban sama dia." Lili melengos berat. Kemudian dari belakang punggungnya seseorang muncul menyentuh bahunya.
Kepala Nasa mendekat ke telinga Lili, "Gue cuma bilang suka aja kok. Gak maksa lo buat nerima cinta gue. Kita temenan kayak biasa aja."
Kemudian Nasa juga ikut duduk dan kini Lili diapit oleh dua orang cowok. Bagaimanapun juga Lili tidak bisa bersikap biasa saja setelah pernyataan cinta itu. Nasa masih bisa tersenyum dan mengobrol santai dengannya sedangkan Lili merasa terbebani.
"Tuh dengar. Lo aja yang ke geeran." sembur Fadel, tiba-tiba tangannya memegang bokong dan perutnya secara bersamaan. "Mampus! Gue cipirit."
Lili mendorong tubuh Fadel menjauh darinya, "Sana lo. Jorok banget."
"Gue ke toilet dulu." Sebelum melangkah cepat Fadel masih sempat menoleh ke belakang dan berkata, "Kalian jangan macam-macam."
"Lo gak liat banyak orang disini. Gak mungkinlah kita macam-macam." balas Nasa
Fadel segera melangkah dengan berjinjit. Lili terkekeh kemudian kecanggungan menyelimuti situasi diantara mereka.
Lili mengkretek sendi-sendi jemarinya kemudian secara bersamaan mereka menoleh dan memulai pembicaraan. "Elo.."
"Lo aja duluan." seru Lili sambil menarik napas berat.
"Okeh.. Gue pikir lo gak pakai cincin dari gue."
Dengan kikuk Lili memperlihatkan jemarinya kepada Nasa, "Pas banget dijari gue."
"Bagus deh. Gue takut gak muat sama lo. Dijaga ya."
Flashback Lili mengingat perkataan Vincent kemarin malam untuk menjaga pemberiannya. Lili semakin terbebani dengan kalimat itu.
"Kalau gitu gue simpan aja cincin ini biar awet." Tanpa sadar Lili juga mengucapkan perkataan yang sama saat bersama Vincent.
"Lo pakai pas hari penting aja." Untung saja jawabannya berbeda dari Vincent. Kemudian pandangan Nasa beralih ke jam yang melingkar ditangan Lili, "Itu dari Vincent."
Lili mengangguk kemudian memperbaiki dilengannya. Nasa melihat barang pemberiannya sama berharganya dengan milik Vincent.
"Bentar lagi, kan kenaikan kelas lo punya rencana apa kedepannya?" tanya Lili mengisi kekosongan situasi ini.
"Yang jelasnya kuliah aja dulu. Soalnya pikiran gue sering berubah-rubah."
Lili mengangguk kemudian teringat Vincent yang belum punya tujuan hidup.
"Lo gimana?"
"Gue juga mau kuliah tapi belum tahu jurusan apa yang mau diambil."
Suasana kembali hening. Nasa mengambil napas berat, "Kayaknya lo terbebani sama kata-kata gue kemarin, ya."
Lili merespon cepat, "Gak kok. Gue nyaman sama lo." Kemudian segera membungkam mulutnya. "Maksud gue bukan gitu."
Nasa menyeringai, "Lo bisa ngomong santai dengan Vincent tapi enggak dengan gue."
"Ya bedalah. Gue dan Vincent temenan udah lama. Sedangkan, lo baru beberapa bulan ini. Dan kita udah sama-sama paham." ujar Lili. Sebenarnya masih banyak hal yang belum Lili ketahui tentang Vincent.
"Lo ingat pertama kali kita ketemu.."
Lili memotong dengan cepat, "Ya ingatlah. Pertama kali kita ketemu malah dikejar-kejar sama orang tawuran. Lucu juga ya. Dua kali loh kita kejar-kejaran."
Nasa terdiam sejenak, "Oo.. Iya. Lo cuma ingat itu."
Lili kembali berpikir, "Oh iya. Waktu itu sepatu gue kotor dan kita harus cari sampai ke ujung jalan." Diakhiri dengan kekehan kecil.
"Ngomong-ngomong Vincent kemana?"
Lili mengedikkan bahu namun sosok itu muncul bersama Fadel yang memegang telur gulung ditangannya. Tubuhnya semakin gempal dan kancing bajunya mulai merenggang.
"Ngomongin apa dari tadi?" Fadel menggeser posisi duduk Lili hingga tubuh gadis itu merapat ke Nasa.
Lili segera berdiri, "Lo aja yang duduk."
Vincent tak mengindahkan perkataan Lili justru berdiri dengan tatapan penuh tanya.
"Darimana aja sih?" kata Lili memasang raut ngambek.
"Lo tuh yang kemana. Mendadak ngilang. Gue telpon gak diangkat." ujar Vincent.
Lili menarik sudut bibirnya, "Hape gue tinggal di kelas."
"Malah nyalahin gue lagi." Kemudian menyerahkan ponsel, "Nih ponsel lo. Tadi gue ambil di laci."
Dalam sekejap telur gulung yang masih banyak tadi sudah ludes dimakan Fadel. Hanya tersisa Lidi yang harus dibuang.
"Lo gak nawarin kita makan?" seru Lili.
"Emang kalian tega minta punya gue. Segini aja kurang apalagi dibagi." tandasnya
"Oh iya gue mau ngundang kalian makan malam di rumah. Perginya barengan dengan gue aja." ajak Nasa kemudian menepuk pundak Vincent, "Lo datang, kan?"
"Iya... Gue bakalan datang."
"Nah gini dong. Dari kemarin kek. Ngajakin kita makan ke rumah lo." Kalau soal makanan Fadel selalu antusias.
"Gue balik dulu ke kelas entar kita ketemuan di parkiran aja."
"Oke bro. Gue orang pertama yang akan tiba di parkiran. Lo jangan sampai berubah pikiran, ya. Entar gue kecewa lagi."
"Makan aja pikiran lo." Kemudian Nasa melangkah pergi meninggalkan teman-temannya sambil memberikan kode kepada Lili yang mendapat anggukan kecil dari gadis itu.
Vincent melihat cincin yang melingkar dijari manis Lili, "Barang yang dikasih orang harus dijaga. Mending lo simpan aja cincin itu. Jangan buat Nasa kecewa."
"Alah sebenarnya lo mau bilang ke Lili biar jagain barang yang lo kasih, kan. Pakai ngeles bawa nama orang lagi." sembur Fadel ada benarnya juga. Mulutnya memang pedas namun tepat.
"Iya. Gue akan jaga barang yang lo kasih." tambah Lili membuat Vincent tersipu malu "Lo mau dengar jawaban itu dari gue, kan?" Goda Lili kembali.
Vincent mengelus rambut Lili dengan lembut sambil melangkah pergi.
"Yah. Vincentnya malu." seru Lili senyum kesemsem.
"Woi pakai malu segala lagi lo. Hahaha." Fadel menyusul langkah Vincent yang berjalan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.