Disaat Lili dan Vincent bersitatap, Fadel muncul dengan rengekannya, kedua kakinya sengaja dihentakkan ke lantai meminta solusi kepada kedua temannya. Percakapan tadi tak berlanjut. Lili fokus ke Fadel yang pengin ditampol. Dengan kedua tangan yang terlipat didada Vincent mendengarkan keluhannya. Lili mencoba menyimak.
"Masak gue usir, lo langsung pergi. Harusnya lo bertahan. Gue cuma butuh solusi." seru Fadel. Dari nada suaranya dia sungguh depresi. Padahal baru beberapa hari bokapnya kena PHK. Masih ada sisa tabungan dan juga perusahaan memberikan pesangon yang cukup untuk membuka usaha.
"Gue gak bisa kasih solusi buat lo. Coba bicarakan dengan keluarga lo. Karena yang bisa kasih solusi cuma orang tua. Lo coba berpikir jernih hilangkan semua prasangka buruk lo. Kayaknya hidup lo masih aman. Lagian setahun lagi kita tamat sekolah. Bisalah sisa tabungan dan pesangon buat biayai kehidupan lo ke depannya. Lulus sekolah nanti coba lo kuliah sambil kerja." saran Lili. Mungkin bisa menjadi motivasi buat Fadel yang sedang buntu akan solusi
"Masalahnya.." Fadel meremas kepalanya
"Udahlah." Fadel berhenti merengek. Dia melangkah masuk ke kelas. Sepertinya ada sesuatu yang belum dikatakannya. Coba saja dia bicara sejujurnya. Mungkin bisa menemukan solusi yang pas buat keluarganya.
Kecanggungan ini kembali muncul, Lili berdehem bingung memulai darimana. Padahal tadi momentnya sudah pas. Fadel keburu muncul dengan masalahnya.
"Lo mau ngomong apa?" kata Vincent tanpa menoleh.
"Lo jangan marah, ya. Gue takut lo marah." Lili menggenggam kedua tangannya belum siap mengatakannya.
"Tergantung! Kesalahan apa yang lo buat." Vincent menoleh menunggu perkataan Lili selanjutnya.
Lili menarik napas dan memejamkan mata, "Gue.."
Elsa muncul dan mengagetkan keduanya, "Hayo. Mau ngapain kalian. Lo mau nembak Vincent, ya."
Lona juga ada di sana dengan tatapan jutek. Lalu menunjukkan kuku jemarinya yang dikutek. Dia berdiri tepat di sebelah Vincent kemudian menyibakkan rambutnya ke belakang, "Lo mau nembak Vincent?"
"Baru muncul. Udah nuduh yang macam-macam. Kalau gak tau mending diam." Vincent melangkah ke dalam kelas.
"Lo, sih." kata Lili menunjuk Elsa.
"Ya maaf. Gue gak tau kalau dia bakalan marah. Gue pikir setelah penampilannya berubah, wataknya juga berubah." Elsa berkata terbata-bata.
"Ya gak mungkinlah tiba-tiba orang bisa berubah. Gak ada angin, gak ada hujan, tiba-tiba aja banjir gitu." seru Lili
"Ya mana tau banjir bandang. Gak perlu tunggu hujan dong. Lo gak liat diberita sering terjadi banjir bandang padahal gak sedang musim hujan." tambah Elsa benar.
Lona masih fokus menatap kukunya yang bewarna. Jarinya yang kecil nan lentik tampak sangat memperhatikan perawatan. Lona juga tak pernah berubah. Mukanya semakin jutek apalagi melihat kedekatan Lili dan Vincent semakin erat. Suasana hatinya semakin kesal.
"Lo sering jalan bareng dengan Vincent?" kata Lona
"Gak sering lagi. Setiap hari dia nganterin gue pulang. Kadang juga nginap di rumah gue.."
Elsa membuka mulutnya lebar, menatap Lili tak percaya, "Beneran?"
"Lo percaya?" Lili mencoba mengecoh Elsa yang menanggapinya serius.
"Gak. Lo pikir ini luar negeri. Boleh kumpul kebo seenaknya aja." Perkataan Elsa terasa menyindirnya. Memang benar Vincent pernah menginap di rumahnya. Tapi karena kondisi tertentu.
Vincent nongol dari balik pintu, "Lo gak masuk?"
"Gue mau curhat sama Elsa." sahutku.
"Ingat! Jangan sampai ngomong nagco." Vincent kembali masuk ke dalam.
Elsa berseru dengan opininya, "Kalian beneran cuma teman?"
"Ya iyalah. Gak mungkin Vincent mau pacaran sama teman dekatnya." sambung Lona. Dia melangkah ke kelas.
"Gue yakin, sih, Vincent gak mau pacaran sama sahabatnya. Soalnya kalau terlalu nyaman dan udah tahu satu sama lain. Lebih memilih mempertahankan pertemanan." ujar Elsa membenarkan
Perkataan Lona bersenggayut dibenak Lili, "Emangnya benar, ya."
"Lo ngarep ya. Atau jangan-jangan lo suka sama Vincent." tudingnya
Lili segera meralat perkataan Elsa, "Gue gak mungkin suka sama Vincent karena kita temenan."
Vincent muncul dari belakang punggung mereka, "Lo suka sama gue."
"Bukan elo. Kita lagi ngomongin artis yang namanya sama kayak lo." sergah Lili gelagapan
"Santai dong. Gak usah ngegas. Lo mau ikut ke kantin?" Vincent melangkah duluan.
"Ikut dong." Lili menyusul langkah Vincent yang berjalan begitu cepat.
Elsa mengekor merangkul Lili, "Kita mau makan apa?"
"Tergantung yang ngajakin." sahut Lili
"Kalian bayar sendiri, ya." seru Vincent sebelah tangannya masuk ke dalam saku celana.
"Emang biasanya lo traktir Lili. Karena ada gue, lo jadi irit. Makan gue gak banyak kok." Seolah mengatakan 'lo harus traktir gue hari ini'.
Vincent berhenti melangkah kemudian menatap tajam Elsa, "Hari ini aja. Besok-besok lo jangan ikut."
Elsa bersembunyi dibalik punggung Lili, "Mulutnya tajam banget. Tapi ganteng gimana dong."
"Itu bukan tajam. Vincent orangnya memang blak-balakan. Gue udah terbiasa."
"Pantas aja lo suka dengan Vincent. Udah ganteng, royal lagi."
Lili menjitak dahi Elsa, "Gue gak suka sama Vincent. Jangan ngomong gitu lagi."
"Tenang aja gak akan gue bilang ke orang lain termasuk Lona. Rahasia lo akan aman sama gue." tandas Elsa melangkah cepat mendahului Lili. Sebelum temannya mengamuk. "Vincent tunggu gue."
"Lo duduk disini aja. Gak ada pilihan menu. Lo harus makan apa yang gue pesan." Vincent melangkah menuju stand mie rebus.
"Gue ingatin sekali lagi. Gue gak suka sama Vincent." desis Lili berkata pelan.
"Sedikitpun?"
Lili tak sanggup menghadapi Elsa. Lili memilih bungkam sambil menunggu Vincent membawa makanan.
Tak lama setelah itu Vincent kembali membawa tiga minuman dingin sekaligus dan duduk di samping Lili.
"Tiap hari lo diratukan seperti ini. Pantesan betah temenan dengan Vincent yang super cuek." kata Elsa tak berhenti berkomentar.
"Besok lo gak usah ikut bareng kita." seru Vincent
Sesaat Elsa bungkam. Tak berani buka suara. Hanya bisa memandangi Vincent yang mengaduk minumannya.
"Mie rebusnya tiga." kata pelayan kantin menaruh di atas meja.
"Makasih bang." kata Lili menggeser mangkok dihadapannya.
Kemudian Lili memindahkan daun bawang ke mangkok Vincent. Supaya lebih cepat Vincent ikut membantu Lili.
"Lo gak suka daun bawang?" kata Elsa
"Lo mau juga?" kata Vincent.
"Gue makan daun bawang secukupnya aja." tandas Elsa melilitkan mie rebusnya "Gue bete banget kelas kita sekarang berdebu. Gara-gara pembangunan sekolah, nih."
"Lo emang suka ngeluh? Pembangunannya, kan cuma berlangsung selama beberapa bulan aja. Gak sampai setengah tahun, kok. Lo nikmatin aja debu sekolahan kita." Perkataan Vincent seakan mematahkan argument Elsa
"Kayaknya Lili mempunyai kesabaran seluas samudera untuk temenan sama lo, ya." sindir Elsa.
Vincent menyudahi makannya menatap Elsa kesal. Elsa tertunduk takut memilih melanjutkan makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.