Perjalanan pulang terasa sedikit lama. Motor yang dikendarai Vincent berjalan lambat di tengah sunyinya jalanan kota tempat aksi demo terjadi. Entah kemana orang-orang tadi pergi. Hanya ada beberapa mahasiswa berpakaian almamater berada di pinggir jalan memberhentikan kendaraan lewat untuk menumpang pulang.
Jika dilihat tadi, motor ini ada sedikit lecet dan bekas penyok yang cukup dalam. Mungkin ada benturan atau lemparan saat aksi demo tadi. Vincent terlihat tidak bersemangat, juga tidak bersuara sejak kendaraan ini melaju. Entah apa yang dialami cowok ini saat mereka berpisah tadi. Lili beruntung bisa lolos dari kejadian mencekam tadi. Berkat cowok yang menarik tangannya, kini Lili masih bisa menghirup oksigen di sore ini, padahal baru saja tadi Lili menghirup gas air mata yang membuatnya hampir jatuh pingsan.
Kejadian tadi baru saja berlalu dan akan menjadi cerita dikemudian hari.
Jalanan masih banyak yang tertutup. Banyak aparat kepolisian masih mengatur lalu lintas, mengarahkannya ke jalur lain. Dengan adanya pengalihan jalan membuat perjalanan pulang semakin panjang. Adzan maghrib berkumandang dari berbagai arah. Masih tidak terbayang bahwa dirinya masuk ke dalam aksi demo tadi. Padahal pemerintah sudah memberitahukan melalui berita televisi untuk melarang para pelajar mengikuti aksi demo yang hanya ikut-ikutan saja, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Takut adanya korban yang berjatuhan, untungnya saat ini tidak terjadi seperti yang terjadi di kota-kota lain.
Banyak mahasiswa yang ditahan, bahkan sampai terluka parah akibat ricuhnya demo yang terjadi di lapangan. Sama halnya yang terjadi beberapa saat lalu. Entah ada korban atau tidak. Lili sempat mendengar serinai ambulan saat berada di belakang gedung tadi. Suara itu terdengar samar akibat penglihatan dan pernapasannya terganggu. Lili tidak terlalu memperhatikan suara itu. Hanya mengharapkan pertolongan agar bisa selamat.
Lili memperhatikan cowok yang sedang mengendarai motor ini. Tidak tahu mengapa perhatiannya terfokus begitu saja. Rambutnya sudah semakin panjang untuk ukuran seorang cowok. Rambut ikalnya membentuk seperti helem yang menyangkut di kepala. Seharusnya ia memotong rambutnya lebih pendek sesuai aturan sekolah. Jangan sampai guru bertindak duluan dengan membentuk gaya rambut ala militer.
Dari spion motor tampak wajahnya sedikit lusuh. Matanya fokus ke depan dengan selapis kerutan di keningnya. Sebagai seorang pelajar Vincent mempunyai pemikiran yang terlalu sulit untuk dimengerti. Terkadang ia terlalu kritis dalam berpendapat. Apalagi ketika presentasi di kelas. Kalimat yang dilontarkan dari mulutnya terlalu keras untuk seorang anak SMA. Apalagi perihal politik. Ia akan bersuara keras hingga berdebat dengan peserta kelompok yang melakukan persentasi. Ujung-ujungnya muncul pertikaian dan presentasi di akhiri.
Jika dilihat lagi Vincet terbilang cowok yang jarang masuk kelas. Namun entah dari mana pemikiran kritis itu muncul. Bahkan di dalam tasnya jarang menemui buku pelajaran. Hanya ada buku tulis dan pena di dalamnya. Terkadang pena itu hanya menyempil di balik daun telinganya yang lebar. Lili pernah berkata kepadanya bahwa telinganya seperti gajah. Vincent justru bangga dikatakan seperti gajah. Karena hewan besar itu memiliki ingatan yang kuat dan juga cerdas. Mungkin karena itu Vincent mempunyai pemikiran yang berbeda dari remaja seusianya.
Lampu merah menghentikan perjalanan sesaat. Vincent masih belum bersuara. Biasanya ia masih mau mengobrol apapun yang sedang dilihatnya. Kendaraan lain mulai memadati jalanan menunggu sampai lampu kembali bewarna hijau. Sambil menunggu, para pedagang dan pengamen berpencar, menyerbu kendaraan yang mau memberikan sebagian rezekinya kepada mereka. Lili membeli minuman botol mineral dengan sisa uang di sakunya. Hanya ada beberapa lembar pecahan dan uang receh yang ada. Untung saja masih cukup. Lalu Lili meneguknya sampai habis setengah botol kemudian menawarkannya kepada Vincent yang kelihatannya tampak kehausan.
Tanpa berkata apapun Lili menyodorkannya begitu saja. Langsung disambut oleh Vincent dengan meneguknya habis. Lili terbiasa berbagi minuman dalam satu botol dan makan sepiring berdua dengannya saat di kantin. Terkadang orang-orang salah sangka dengan hubungan mereka yang tampak begitu dekat. Tidak seperti pertemanan biasa. Seperti pasangan remaja yang sedang dimabuk asmara. Begitulan pertemanan Lili dan Vincent.
"Makasih." kata Vincent sedikit menoleh ke belakang. Dari samping wajahnya seperti ukiran yang melekuk. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Ada sedikit jambang yang melekat di wajahnya. Matanya juga tajam. Lili masih menerka-nerka tentang keturunan cowok ini. Seperti ada peranakan Arab dan ada wajah bulenya. Tapi cara bicaranya Indonesia banget kalau lagi kerasukan jiwa kepahlawanan.
"Lo kenapa sih?" tanya Lili menopangkan dagunya ke bahu Vincent.
"Gak apa-apa." jawabnya singkat. Lili sangat mengenal cowok dihadapannya. Seperti ada perkataan yang masih tertahan di bibirnya. Lili tidak mau bertanya lebih dalam lagi. Membiarkan kalimat singkat itu mengalir dipikirannya.
Vincent kembali melajukan motornya ketika lampu hijau baru saja menyala. Serbuan klakson bersuara keras tidak sabar ingin segera berjalan. Padahal baru beberapa detik berubah menjadi warna hijau. Namun kesabaran para pengendara hanya setipis angin. Lili memeluk erat pinggang Vincent. Matanya mengantuk dan kembali perih seperti tadi. Mungkin air tadi tidak cukup untuk membasuh mukanya.
Malam menyergap. Lili sampai di depan rumah. Di sana ada Ayah yang sedang duduk di teras rumah. Ditemani secangkir kopi dan roti seadanya. Sambil memperbaiki kacamata, Ayah berdiri melihat sosok yang baru saja berhenti dengan sepeda motor.
Dengan perasaan gundah Lili menelan ludah bersiap mendengar semburan dari Ayah. Namun tidak dengan Vincent, ia turun dari motor dengan santai, menyangkutkan helem di spion. Lalu sedikit memperbaiki pakaiannya yang sedikit lusuh. Membuka pagar dan menghampiri Ayah yang berdiri tegap dengan wajah serius.
"Malam Om." Vincent menyalami Ayah.
"Malam." jawab Ayah ketus lalu menarik tangannya segera. "Darimana jam segini baru pulang."
"Ikut demo Om." jawab Vincent dengan lantang.
Sementara Lili tidak sanggup menegakkan kepalanya. Justru menatap Sepatu merah yang dikenakannya saat ini.
"Jadi gimana hasilnya?" tanya Ayah antusias. Suaranya melunak dan tampak girang.
"Gak ada hasil Om. Wakil rakyatnya gak mau keluar dari gedung. Jadinya rusuh deh!" sahut Vincent memijit pelipisnya. Seperti sangat paham tentang masalah politik.
"Aahh.. gak seru!" Ayah menepuk jidat.
Mereka mulai bicara serius. Vincent dan Ayah memang sering mengobrol berdua perihal politik dan dunia olahraga. Hampir setiap malam di depan teras rumah. Ayah memang suka menikmati waktu istirahatnya dengan secangkir kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.