Adegan tadi membuat Lili malu. Padahal hal itu biasa dilakukan Vincent. Pelukan untuk pertemanan. Tidak ada perasaan selain nyaman sebagai seorang sahabat. Lili memperbaiki posisi duduknya dihadapan Vincent yang acuh tak acuk terhadapnya, justru sibuk berkutat dengan ponselnya, sesekali ia tertawa lalu cemberut. Ekspresinya berubah seketika dalam sekejap.
Kali ini Lili berhasil menahan Vincent untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Wajahnya semakin tidak jelas. Rambut panjangnya menutupi sebagian Jidat. Jambangnya semakin tebal. Astaga lagi-lagi Lili memperhatikan wajah cowok di depannya. Lili segera bertanya, "Kenapa gak nelpon gue kemarin?"
Vincent mengangkat wajahnya fokus menatap Lili, "Kangen lo sama gue."
"Gue serius."
"Gue juga." dibalas dengan cengiran nakal.
"Gue ganti pertanyaannya. Lo gak langsung pulangkan kemarin?"
Ekspresinya sesaat datar. Vincent meletakkan ponselnya di atas meja. Matanya membulat. Kemudian memajukan tubuhnya. Vincent menyegir mengusap kepala Lili. Lalu berlari keluar kelas meninggalkannya sendirian. Sementara orang-orang sudah berhamburan ke kantin sejak bel baru saja berbunyi. Harusnya Lili mencari waktu yang tepat buat mengajukan pertanyaan ini.
Sementara itu ponselnya tertinggal di atas meja. Vincent memang sengaja meninggalkannya supaya tidak bisa menghubunginya. Lagi-lagi Vincent bolos sekolah. Entah apa yang ada dipikirannya. Apa yang dilakukannya di luar sekolah dan Kenapa harus bolos. Ingin sekali Lili mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini kepadanya. Namun ketika sudah berjumpa, pertanyaan itu tenggelam dengan kesenangan yang sedang dilakukan. Vincent mampu meredamkan kekesalan Lili. Dia tersenyum, bercanda, dan sesekali membuatnya hampir lupa bahwa ini hanyalah sebuah pertemanan.
Lili kembali ke tempanya, mengeluarkan sebungkus roti yang dibelinya dari warung dekat rumah. Roti dengan harga seribuan yang tentu saja tidak membuatnya kenyang, harus ditelannya bersama kekesalan. Harusnya tadi Lili ikut dengan temannya ke kantin. Pasti rasanya tidak selapar ini karena mempertahankan seseorang yang memang tidak punya niat belajar.
Tidak lama setelah itu Vincet kembali. Memberinya mie goreng dan sebotol minuman. Mereka makan berdua di dalam kelas yang hening. Cowok yang terlihat cuek namun peduli. Lili sangat menyukai karakter seperti ini. Baginya ini lebih dari kejutan. Dibalik sikap dinginnya Vincent dapat menghangatkan suasana hatinya. Ini yang membuat Lili selalu menunda pertanyaan yang kadang membuatnya sesak.
Lili memperhatikan cara ia makan, seperti orang yang tengah kelaparan. Lili baru sadar di sudut bibir Vincent terdapat bekas luka kecil. Agak kemerahan dan saat memasukkan mie ke dalam mulutnya seperti sedang meringis. Matanya menyipit. Ekspresianya persis seperti Peter di film Narnia. Lili menyukai pemeran cowok itu. Apa mungkin Lili terlalu terobsesi denga tokoh di dalam film itu. Sampai-sampai yang dilakukan Vincent sangat mirip dengan Peter. Jika diingat lagi pada saat demo kemarin. Kejadiannya persis seperti perang yang terjadi di Narnia. Vincent menjadi Raja yang memimpin perang. Dan Lili menjadi pasukan yang lemah. Lili segera membuang imajinasinya yang tidak mirip sama sekali sama kejadian perang yang ada di film.
Vincent berhenti sesaat. Ia memegang pipinya dengan mendesis. Dia bertanya, "Lo ada cermin?"
"Ada." Lili meyerahkan cermin kecil kepada Vincent, yang biasa digunakan buat memeriksa giginya yang kecantol cabai sehabis makan.
Vincent meraba pipinya. Ia memperhatikan bekas luka yang melekat di sudut bibirnya. Juga terdapat beberapa goresan lain di wajahnya. Lili mendekatkan wajahnya, memperhatikan dari dekat, terdapat kebiruan dibagian pipinya. Wajahnya penuh luka samar.
"Lo mau nagapain gue." kata Vincent masih memperhatikan wajahnya di cermin, tubuhnya mundur menjauhi diri dari pandangan cewek itu.
"Lo kemana, sih. Kemarin? Lili masih mengajukan pertanyaan yang sama.
"Gue gak langsung pulang. Keluyuran dulu sama teman gue. Khawatir lo sama gue?"
"Ya jelas dong gue khawatir. Telpon gue gak diangkat. Terus lo pergi dalam keadaan luka." Lili mengusap wajah Vincent yang terluka.
Vincent meringis, wajahnya memanas.
"Sakit banget, ya." tanya Lili dengan wajah iba.
"Wajar kok cowok dengan luka kayak gini." jawabnya bangga.
"Pulang sekolah lo ke rumah gue ya?"
Vincent mengangguk. Kali ini langsung menuruti perkataan Lili.
Vincent kembali memakan mie dengan hati-hati. Mungkin memang terasa sangat sakit. Dalam keadaan seperti ini ia tidak bisa dengan cepat mengunyah makanannya. Justru mengunyahnya dengan pelan sesuai dengan teori yang ada di buku. Biar pencernaannya bagus.
Lili melihat butiran air meleleh dari botol. Lalu mengambil dan melekatkannya ke wajah Vincent, "Gimana. Mendingan?"
Vincent ikut menimpali tangan Lili yang memegang botol. Tangannya yang semula dingin menjadi hangat. Pandangan Vincent lurus ke depan. Genggamannya semakin erat. Lili berusaha menahan detak jantung yang berusaha mengontrol diri. Kemudian Lili memindahkan botol yang tidak terlalu dingin itu ke pipi sebelahnya. Tangannya masih saja menimpali. Pernapasannya tidak teratur. Bahkan tertahan di rongga dada.
Perlahan tangan itu bergerak meletakkan botol di atas meja. Vincent membukanya untuk diminum. Jangan-jangan sedari tadi tangan itu memang pengin membuka tutup botol, justru Lili berpikir lain tentang cowok itu. Tenggelam di dalam situasi yang menjebaknya ke dalam perasaan yang lagi-lagi menyergapnya.
Seperti biasa Lili berbagi minuman kepada Vincent. Lili meneguknya dengan cepat, menetralisir perasaan yang harus dibuang jauh. Harusnya Lili tidak boleh seperti ini. Mungkin kedekatannya terhadap Vincent membuatnya lupa diri.
Vincent kembali meneguk minuman tersebut, secara bergantian mereka menghabiskannya dalam sekejap. Atau mungkin Vincent juga merasakan hal yang sama dengannya.
Bel masuk berbunyi. Vincent membereskan sampah makanan yang ada di meja Lili. Kemudian kembali ke tempatnya. Kelas kembali ramai namun Lili merasa kesepian. Sesekali mencuri pandang ke arah cowok itu yang tampak tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.