Malam itu Vincent juga sulit untuk tidur. Senyuman diwajahnya tak kunjung pudar melihat foto Lili yang diambilnya secara diam-diam. Lucu, merasakan ini dengan teman sendiri. Entah kapan perasaan ini merayap dibenaknya. Rasanya rindu jika berpisah padahal baru saja bertemu. Dan ingin selalu melihat wajahnya meski sebentar.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Mungkin Lili sudah tertidur dan menikmati mimpi indahnya. Rasanya ingin mengubur dalam perasaan ini. Harusnya ini tidak boleh terjadi. Apakah rasa ini tidak bisa memilah mana yang boleh disukai dan mana yang tidak? Rasa ini sangat mengganjal. Vincent sampai tak bisa memejamkan mata, gusar dengan pikirannya yang memperlihatkan sosok cewek itu. Padahal dia tersenyum dan bersikap seperti biasa, tapi kenapa hati ini mengatakan yang sebaliknya.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar, Vincent tahu persis jenis suara itu. Dia menghela napas sejenak sebelum melangkah kearah pintu. Sambil memejamkan mata Vincent menarik gagang pintu. Dihadapannya sudah berdiri seorang lelaki yang masih berpakaian kerja. Berdiri tegap dengan sebelah tangan masuk ke dalam saku celana. Rahangnya menunjukkan ketegasan, menatap lurus kearah Vincent.
"Pertahankan sikap kamu yang seperti ini. Papa senang melihat kamu belajar baik di sekolah." Kata Papa yang juga menjabat sebagai kepala sekolah Juang.
Vincent menunduk dan berkata dengan lirih, "Baik, Pa." Kemudian sebelah tangannya mengelus rambut Vincent.
Vincent sempat menghindar karena sebelumnya tangan itu juga pernah melukai tubuhnya yang sampai saat ini masih membekas, bahkan perihnya masih terasa.
Vincent menutup pintu kembali merebahkan tubuhnya dengan senyum yang semakin lebar. Sudah lama Papa tidak bersikap baik seperti tadi.
Ternyata begini rasanya menjadi anak yang baik. Vincent bisa mendapatkan perhatian dengan penuh kelembutan. Anak cowok ternyata bisa merasakan sentuhan hangat, yang dikira hanya diperlakukan untuk anak cewek. Bahkan hati Vincent bisa terenyuh dan melambung tinggi dengan belaian singkat tadi.
Detik jam terus berjalan. Vincent menatap layar ponsel yang menyala. Notifikasi masuk dari Lona. Padahal dengan kejadian tadi sudah cukup untuk membuatnya paham dengan hubungan keduanya. Justru kini mengirimi pesan beruntun.
Vincent membuka ponselnya dengan malas kemudian membaca satu persatu chat dari Lona. Maaf. Kalimat spam yang memenuhi ponselnya. Lona seperti penguntit yang tidak akan melepaskan targetnya demi memuaskan hasrat dirinya.
"Gue udah maafin lo. Jadi jangan buat gue menjadi cowok jahat dengan sikap lo yang kayak gini."
Pesan itu langsung dibaca oleh Lona. Kemudian ponselnya kembali berdering, panggilan masuk dari Lona.
Vincent menghela napas membanting ponselnya merasa frustasi dengan sikap Lona yang menjengkelkan. Sudah cukup jelas pertengkaran tadi untuk menjauhkan diri darinya, tapi justru semakin membabi buta menerornya di tengah malam.
Vincent membiarkan ponselnya menyala sampai panggilan itu berhenti sendiri. Dia memilih ke balkon kamar menikmati udara malam yang menusuk kulit. Langit tanpa bintang terlihat lebih damai. Bahkan pohon di perkarangan rumah yang biasanya menari indah seperti malam sebelumnya kini menjadi lebih tenang. Benar-benar damai.
Ponselnya kembali berdering, kini lebih panjang. Berulang, sampai Vincent merasa terganggu dengan suara berisik di tengah malam itu. Sebelum panggilan itu berakhir tertera nama Lili di layar ponselnya.
Saat akan mengangkatnya, panggilan itu berakhir. Vincent kembali menghubungi Lili.
"Lo gak mimpi, kan, nelpon gue jam segini?"
Lili tertawa renyah, "Tadi gue udah tidur. Tapi terbangun. Tiba-tiba gue ingat sama lo." Diujung kalimatnya Lili terdengar malu-malu.
Vincent berusaha menahan tawa, namun masih terdengar samar, "Bukannya udah gue ingatin, jangan mikirin macam-macam, terbangung, kan, lo."
"Makanya jangan ingatin gue lagi, jadi susah tidur, deh."
"Tidur sana, besok telat lagi ke sekolahnya." Justru sebaliknya, jauh dilubuk hatinya Vincent masih ingin mendengar suara Lili.
"Lo juga. Jangan begadang. Tidur sana."
"Yaudah gue matikan." Vincent menekan tombol merah tanpa kata penutup yang biasa diucapkannya seperti semoga mimpi indah.
Lili menggerutu menatap layar ponselnya. Padahal dia ingin lebih lama mendengar suara Vincent, ia rindu mendengar suaranya padahal tinggal beberapa jam lagi akan bertemu di sekolah. Waktu terus berjalan tanpa tahu harus apa yang harus dilakukannya malam itu.
Sementara itu Vincent kembali ke balkon memandangi suasana di luar sejenak untuk menenangkan degupan jantungnya yang berdetak tidak keruan. Perasaan apa lagi ini? Dia terus bertanya-tanya sambil merasakan detakan di dadanya. Ini sungguh tidak adil. Mengapa hanya dia yang merasakannya. Padahal Lili hanya menganggapnya teman biasa. Bahkan tidak tampak sedikit pun ketertarikan kepada dirinya.
Setelah merasa sedikit tenang, Vincent kembali masuk ke kamarnya, memejamkan mata namun tetap tidak bisa. Hatinya merasa senang merasakan cinta dari orang terdekatnya. Papa dan Lili.
Disisi lain perasaan ini tidak boleh bersarang terlalu lama hingga menumpuk berlapis lapis. Takutnya jika dbiarkan hubungan pertemanannya akan hancur.
Status pertemanan ini harus tetap dipertahankan sampai cerita ini berakhir. Dimana mereka sudah menemukan jalan cerita yang berbeda. Jika diungkapkan bisa saja akan berakhir dengan perpisahan yang tak diinginkan.
Untuk mengisi waktu malam yang tersisa Vincent mencoba mengerjakan tugas yang menumpuk. Menjelang ujian beberapa minggu lagi tugas ini harus tuntas.
Saat membuka lembaran buku, matanya mulai mengantuk, padahal soal tersebut sangat mudah dikerjakan. Tapi Vincent lebih memilih tidur daripada harus mengerjakan tugas. Matanya harus terpejam sebelum rasa itu kembali mengganggu malamnya.
Dan lagi-lagi Lona mengriminya pesan untuk menemuinya di gedung baru. Dengan seenak jidatnya Lona memerintah Vincent.
Dalam perasaan gusar Vincent membenamkan dirinya ke dalam selimut dan membuang jauh seglanya, rasa suka dan benci yang bercampur baur secara bergantian mengganggunya. Lebih baik jantungnya berdetak tidak beraturan daripada harus memendam benci seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.