Sesuai janji, hari ini Vincent bakalan ikut ke rumah Lili sepulang sekolah, menaiki motor klasik yang seharusnya sudah di museumkan oleh pemiliknya terdahulu. Vincent mengeluarkan motor dari parkiran lalu menyalakan mesinnya, dan seperti yang sudah pernah terjadi, starternya nyandet, seperti orang yang tengah batuk. Sepertinya motor ini butuh istirahat yang cukup lama buat menyembuhkan penyakitnya.
Vincent mencoba cara lain dengan cara mengengkol motor berulang kali namun motor itu tetap ngambek tidak mau hidup. Akhirnya seperti biasa mereka berdua bakalan mendorongnya sampai ke bengkel langganan dekat sekolah. Sekitar 200 meter perjalanan. Cukup menguras keringat di bawah terik matahari.
Baru saja tiba, Vincet sudah di sambut dengan cengiran dari pemilik bengkel. Motornya langsung ditegakkan dengan kaki dua. Penyakit yang sama, kata tukang bengkel yang berambut klimis. Bengkel ini khusus buat motor klasik dan di tambah lagi penampilan pemilik bengkel tidak kalah klasik. Jadi sangat mendukung sekali antara penampilan fisik dan plang yang terpajang di pinggir jalan. Vincent bediri berkacak pinggang memperhatikan motornya yang mulai dipretelin. Sambil menggeleng Vincent terlihat gusar dengan biaya yang akan dikeluarkannya. Padahal bisa saja Vincent mengumpulkan uang atau minta kepada orang tuanya buat membeli motor baru. Saat ini banyak pengendara yang menggunakan motor matic, tampilannya bagus, dan tidak kalah klasik. Vincent bisa menggunkannya untuk memuaskan seleranya yang cukup unik.
Lili duduk bersandar di kursi kayu panjang bewarna coklat tua. Kayu ini sangat kokoh meski sudah agak melengkung. Selagi menunggu Vincent menyebrangi jalanan, menghampiri pedagang asongan yang sedang menjajakannnya kepada orang-orang yang melintas. Padahal bisa saja Vincent memanggil bapak yang terlihat lusuh tersebut untuk membelinya. Namun cowok itu lebih memilih menyebrangi jalan yang ramai dengan kendaraan. Meski kedua tangan sudah membentang dan menyerukan untuk memperlambat kendaraan. Supaya pejalan kaki bisa menyebrang. Tetap saja tidak ada yang mau memperlambat kendaraanya. Dengan keberanian penuh Vincent melangkah perlahan bersama pejalan kaki lainnya menyebrang.
Dua botol minuman berhasil didapatkannya, langsung meluncur ke tenggorokan. Vincent kembali memperhatikan motornya yang tinggal kerangka. Lalu pemilik bengkel berdiri, wajahnya terlihat gusar. Dengan hati-hati ia berkata, "Motor ini ditinggal aja ya, kayaknya udah parah."
Vincent menunduk lemas lalu berkata, "Oke bang. Aku percayakan ini sama abang."
"Sip." Pemilik bengkel mengacungkan jempol, sebutir air jatuh dari rambutnya yang mengkilap.
Vincent berdiri masih memandangi motornya yang terlihat rapuh. Lalu membuka kepalan supaya Lili menyambut tangannya.
Lili berjalan mengikuti langkah Vincent yang agak cepat. Mungkin karena postur tubuh Vincent yang lebih tinggi darinya, sehingga langkah Lili sering tertinggal jika berjalan berdua dengannya. Jika berdiri di sampingnya tinggi badan Lili hanya sebatas sedikit di bawah bahunya. Lili termasuk cewek dengan pertumbuhan normal diantara teman-temannya. Vincent saja yang terlalu tinggi, terlalu cepat tumbuh. Dan Vincent juga termasuk cowok tertinggi diantara cowok di sekolah. Kalau berdiri Vincent terlihat lebih tegap, dan pernah suatu hari Lili memeluknya di atas motor, punggungnya terasa lebih kekar, mungkin dia sering olahraga. Tidak seperti cowok tinggi yang pernah dilihat. Cowok tinggi seperti tiang, lurus tidak berbentuk apabila tertiup angin orang tersebut bakalan melambai-lambai kayak balon di pinggir jalan.
Siang ini sungguh terasa panas. Lili masih mengikuti langkah Vincent mencari angkot. Katanya angkot tidak berhenti di sini, sekitar bengkel. Mungkin agak ke jalan besar. Ini bukan pertama kalinya Lili menaiki angkot bersama Vincent. Kalau motornya lagi ngambek, Lili bakalan menaiki angkutan umum yang berhimpitan dengan banyak orang. Jujur saja selama sekolah Lili tidak pernah menaiki angkutan umum, pasti Ayah yang antar jemput. Semenjak bertemu Vincent, Lili sering menaiki angkutan umum yang terkadang membuatnya sedikit pusing. Karena bau penumpang di siang hari yang berkeringat.
Sambil memegang perut yang berbunyi Lili memandang Vincent dengan ekspresi memelas.
"Lo lapar?" tanya Vincent. Kemudian kepalanya celingak celinguk. Pandangannya berhenti pada gerobak batagor yang sedang mengetok palunya, memanggil pelanggan. "Batagornya, Pak."
Pedagang Batagor itu berhenti, celingukan mencari orang yang memanggilnya. Lalu Vincent melambaikan tangan menunjukkan dirinya yang memanggil tadi dan mempercepat langkah.
"Batagor semuanya atau dicampur?" kata pedagang Batagor.
Vincent mendekati gerobak itu melihat isi dalam panci yang menguap. Ada banyak yang bisa dipilih.
"Campur deh, Pak." sahut Vincent kemudian duduk di kursi kecil yang sudah disediakan. "Lo?
"Samain aja, deh."
"Samain ya, Pak." seru Vincent.
Lili memijat kakinya dengan wajah mengerutkan kening. Keringatnya mengalir dari pelipis. Untung saja rambutnya terikat satu, jadi tidak terlalu gerah meski mentari terlihat lebih garang di siang ini. Vincent mengeluarkan buku satu-satu yang ada di dalam tas. Buku itu terlihat sudah tipis. Mungkin hanya ada beberapa lembar yang tertinggal. Setiap ada ulangan, guru selalu menyuruh untuk menyediakan kertas dua lembar buat mencatat soal dan jawaban. Alhasil buku catatan menjadi tipis karena dirobekkan setiap hari.
Tangannya mengipasi wajah Lili, yang menerima begitu saja perlakuannya. Kemudian pembeli lain mulai berdatangan memesan batagor, dua cewek berseragam sekolah, duduk bersebelahan dengan Vincent. Cewek dengan rambut tegerai itu seperti sedang curi pandang kepada Vincent, kepalanya menoleh sesaat lalu kembali menunduk. Seperti sedang memastikan sesuatu, lalu dia tersenyum. Kakinya juga terlihat ada bekas luka, sama seperti Lili. Bedanya kaki cewek itu dibalut dengan kain kasa dan Lili membiarkan lukanya terbuka. Sebelumnya Lili sudah memberikan obat merah ke atas lukanya.
"Ini batagornya." kata pedagang Batagor.
"Terima kasih, Pak." Jawab Lili dan Vincent serentak.
Lili meyisihkan kol rebus ke piringnya, seperti biasa Vincent bakalan mengambil makanan yang disisihkan, karena Lili kurang duka dengan sayuran. Tidak semuanya, hanya beberapa saja. Kalau Vincent menyukai semua sayuran. Apanpun itu, asalakan masih bewarna hijau Vincent bakalan memakannya.
Setelah selesai makan dan membayar dengan uang masing-masing. Vincent beranjak dari tempatnya. Kembali membuka tangan supaya Lili menyambut tangannya, mencari angkot untuk pulang. Vincent membawanya lagi berjalan sampai berhenti di pinggir jalan sebelum lampu lalu lintas.
"Kenapa di sini?" tanya Lili yang tidak paham. Padahal bisa saja memberhentikan angkot di depan gerobak batagor tadi.
"Kalau di sini banyak angkot yang lewat."
Lili cuma mengangguk, menunggu Vincent memberhentikan angkot yang lewat silih berganti.
"Itu ada angkot." kata Lili ketika angkot melintas di depan mereka.
"Bukan yang itu."
"Bukannya sama aja. Atau kita naik bus aja biar adem."
Vincent tidak menjawab perkataan Lili yang terus bertanya perihal tidak penting. Lalu memberhentikan angkot tua dengan suara mesin yang akan mogok kapanpun. Padahal banyak angkot bagus sedari tadi lewat dan bersorak memanggil, tapi Vincent malah memilih angkot ini. Lili masuk dan melewati beberapa penumpang yang membawa banyak belanjaan. Duduk paling belakang bersandarkan jendela. Dihadapan Lili ada cowok berseragam sekolah tersenyum kepadanya. Vincent yang menyadari itu balas menatap cowok itu dengan tatapan tajam dan melepaskan ranselnya, menutupi rok Lili sebatas lutut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.