Lili menuruni angkot setelah membayar ongkos ke supir. Di lapangan sekolah banyak murid yang berkumpul. Padahal ini adalah hari selasa tidak ada kegiatan semacamnya yang mengharuskan murid untuk berkumpul. Di tengah lapangan Lili kebingungan mencari teman-temannya diantara keramaian. Sesaat Elsa muncul dihadapannya bersama Lona. Ketika berhadapan dengan Lona. Lili mengingat kejadian kemarin.
"Kenapa ramai banget hari ini?" tanya Lili
"Masak lo gak tahu?" sahut Elsa. "Sama gue juga gak tahu. Ngapain sih pada ngumpul di sini." sambung Lona
TES
TES
1...2...3
"Selamat pagi semuanya." kata salah seorang guru yang sudah berdiri di depan. Ibu berambut keriting yang dibiarkan lepas berkata, "Terima kasih sudah meluangkan waktu sebentar. Di sini saya mau menyampaikan kepada kalian bahwasannya lusa kita akan mengadakan pawai buat menyambut walikota, yang baru dilantik sebulan yang lalu. Bukan hanya kita juga ada sekolah lain yang akan menyambutnya disepanjang jalan Sudirman sebagai penghormatan atas terpilihnya menjadi pemimpin di kota ini."
"Cuma ngomong gitu doang." kata Lili merasa sudah menyiakan waktu paginya untuk mendengar hal semacam ini. Baginya menyambut walikota tidak begitu penting.
"Cihh.. Apa-apan. Buat apa coba nyambut walikota. Kayak gak ada kerjaan aja kita." sambung Elsa berpikir yang sama dengan Lili.
Sambil memperhatikan kukunya yang baru diwarnai Lona menyambung, "Ya harus disambut dong. Dia adalah orang nomor satu di kota ini. Perjuangannya untuk dapat menduduki posisi ini gak mudah. Banyak waktu, uang dan tenaga yang dihabiskannya."
"Yah itukan urusan dia." celetuk Elsa sewot
"Lagian apa urusannya sama kita. Kalaupun dia sudah banyak berkorban. Ujung-ujungnya paling korupsi, melanggar sumpah terus kalau jadi tersangka dengan mudahnya dia bisa membeli hukum." ujar Lili seakan jiwa Vincent merasuk ke dalam dirinya.
"Lo gak usah sok-sokan ngerti hukum deh. Yang jelas walikota kita udah terpilih dan kita diwajibkan untuk menyambutnya." Lona berlalu dengan angkuh. Entah kenapa dia membela habis-habisan seorang walikota yang tidak dikenalnya.
"Emangnya walikota kita sekarang siapa sih?" Tanya Elsa.
"Masak lo gak tahu." tandas Lili yang juga tidak tahu.
Sebagai anak sekolah seharusnya murid tingkat atas mengetahui siapa pemimpin di kotanya. Tidak hanya belajar mengenai sejarah masa lalu tetapi juga tentang masa kini dan apa yang akan terjadi kedepannya jika negara ini dipimpin oleh pemimpin yang tepat.
"Sekian pemberitahuannya. Selamat pagi dan semangat dalam belajar." kata akhir guru menutup pengumuman yang sangat singkat.
"Udah. Gini aja." keluh Elsa berjalan malas.
Lili menepuk pundak Elsa, "Semangat dong masih pagi juga."
"Lagian Lona kenapa marah. Kita, kan sedang ngomongin walikota. Kenapa dia yang baper. Kesal banget ngeliatnya. Ngambekan terus." Giliran Elsa yang ngambek. Dia terus melangkah menembus murid yang berdesakan masuk kelas.
"Yah.. malah dia yang ngambekan." serunya lirih.
"Pagi Lili.." Nasa muncul diantara murid lainnya.
"Nasa... Sendirian aja?" kata Lili basa-basi. Padahal disekitarnya banyak murid yang sedang berjalan menuju kelas. Sebagian memilih kantin sebagai tempat tujuan utama.
"Kan ada lo." sahut Nasa.
Lili merasa ini teralalu garing untuk direspon. Lili menggaruk kepalanya, "Iya ada gue. Juga ada murid lainnya.
"Vincent mana?" Biasanya Vincent selalu nempel di samping Lili. Kali ini tidak ini kesempatan bagus buatnya.
Sambil celingukan Lili teringat sosok Vincent yang belum terlihat, "Gak tau kemana tuh orang."
"Mau ke kantin bareng gue." ajak Nasa
Kesempatan emas buat Lili untuk sarapan gratis. Nasa tidak mungkin membiarkannya membayar makanan dengan uangnya sendiri, "Boleh.. Sekarang?"
Yes!
Yes!
Nasa teriak dalam hati merasa misi pagi ini berhasil tanpa bantuan Fadel yang justru menimbulkan kegagalan. Lili bisa diajak tanpa paksaan. Tanpa harus mengatur strategi aneh sesuai pedoman Fadel. Menurut Nasa semua rencana Fadel untuk mendekati Lili terasa aneh. Seperti meletakkan bunga dilacinya setiap hari. Nasa harus berangkat sekolah sebelum Security membuka pagar, tindakan itu tidak mungkin dilakukan sebab orangtuanya bakalan bertanya-tanya alasan kenapa dia berangkat begitu pagi. Terus alasan lainnya seperti menunggu Lili sebelum pulang sekolah di depan kelasnya biar bisa pulang bareng sampai misi lainnya yang belum diberitahu. Bagaimana bisa Nasa bisa mengajak Lili pulang. Dia sudah keduluan oleh Vincent, orang yang lebih dulu masuk ke dalam hidupnya.
Nasa jingkrak-jingkrak tidak jelas. Tidak peduli dengan pendapat orang melihat dirinya. Yang terpenting saat ini Lili bisa diajak bareng ke kantin.
Lili menoleh ke belakang seharusnya Nasa berdiri di sampingnya sampai ke kantin. Justru mendapati Nasa melompat kegirangan, "Lo ngapain kayak gitu?"
Nasa berhenti bergerak, mematung sesaat kemudian melangkah menyusul Lili yang tidak sabar ingin makan. Dibenaknya terbayang jelas aroma soto yang biasa dimakannya di kantin.
Di kantin sudah banyak orang yang berdesakan. Mungkin mereka juga belum sarapan sama seperti Lili. Mengingat perkataan Vincent tadi malam, Lili memasang alarm sampai sepuluh kali untuk membangunkannya. Disaat alarm terakhir pukul setengah enam pagi Lili terbangun dengan mata bengap. Tubuhnya sempoyongan menyampirkan handuk dibahu menuju kamar mandi. Alhasil Lili bisa tiba di sekolah sebelum bel masuk.
"Nasa.." Fadel memanggil diantara penghuni kantin yang menumpuk, tangannya melambai heboh. "Gue di sini."
Nasa merasa pagi ini bukanlah keberuntungannya. Hatinya yang tadi melambung tinggi kini terhempas perlahan melangkah menghampiri Fadel.
"Duh ngapain si Fadel manggilin lo. Pura-pura gak kenal aja." Lili menarik tangan Nasa ke arah berbeda dari tempat Fadel duduk.
Nasa membiarkan tangannya ditarik lembut mencari tempat untuk mereka makan. Tangannya membalas pegangan Lili yang berada diujung jari lalu mendekapnya erat. Lili melihat tangannya yang disambut hangat lalu beralih ke wajahnya yang sangat bersih. Cowok yang peduli dengan perawatan kulit. Berbanding terbalik dari Vincent yang sangat cuek dengan penampilannya.
"Ngapain mandangin gue kayak gitu. Entar naksir lagi." kata Nasa menyeringai.
Lili melepaskan genggamannya namun Nasa masih mempertahankan genggaman itu sampai seseorang berdiri keluar kantin meninggalkan tempatnya. Nasa segera duduk di kursi yang kosong sebelum orang lain menempatinya.
"Duduk sini?" Nasa menunjuk tempat di sampingnya.
"Iya gue tahu." Lili mendaratkan bokongnya tepat di samping Nasa.
"Mau makan apa?" Nasa melihat mie rebus yang sedang dibawa pelayan kantin ke orang lain.
Mereka saling tatap berpikir yang sama.
"Gue mau mie rebus." kata Lili
"Gue juga."
Selagi pesanan sedang dibuat ada hening sesaat. Nasa sedang berpikir topik apa yang mau dibahas. Lili memilih memandangi kuku-kukunya yang pendek tanpa warna. Lili tidak pernah mempunyai kuku panjang seperti Lona dan Elsa. Jari-jari mereka lentik dan kecil berkat perawatan rutin yang dilakukannya. Sedangkan Lili tidak punya uang untuk mempercantik dirinya.
"Pulang sekolah nanti lo mau temenin gue?" kata Nasa memberanikan diri.
"Uhm maaf ya. Gue mau pergi sama Vincent." tolak Lili.
Penolakan itu tidak akan membuat Nasa menyerah masih ada hari esok dan seterusnya buat mendekati Lili.
"Ini pesanannya?" Petugas kantin meletakkan mie rebus dimeja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.