Sambil menunggu Ayah pulang dari tempat kerjanya, Lili duduk di teras setelah menjemur sepasang sepatu di halaman rumah. Di meja sudah ada kopi panas dan roti seadanya. Memang tidak mengenyangkan, namun cukup buat mengganjal perut. Selepas maghrib Ibu selalu mengambil posisi di depan TV melihat berita terkini. Yang menjadi topik perbincangan masyarakat adalah demo yang dilakukan oleh para mahasiswa hampir di berbagai kota.
Ketika ada peraturan yang akan disahkan oleh pemerintah, pasti akan ada pro-kontra yang menjadi pemicu, karena adanya peraturan yang akan merugikan rakyat. Dan menjadi keuntungan bagi segelintir orang, yaitu para kalangan atas. Itu yang sering dikatakan Ibu ketika presenter menyampaikan berita. Padahal Ibu cukup menyimak dan menurut saja. Sebagai rakyat kecil apa yang bisa dilakukan ketika bahan bakar mendadak naik, harga sembako mahal dan gas menjadi langka. Ibu juga sering marah kepada Ayah kenapa gajinya tidak pernah naik, sedangkan segala kebutuhan ikut naik. Namun Ayah yang menjabat sebagai karyawan swastas biasa, tidak bisa berbuat apa-apa. Yang penting sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tidak kelaparan.
Belum lagi berita korupsi menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan. Setiap tahun ada saja yang menjadi tersangka kasus korupsi dengan nilai yang cukup membagongkan. Membuat rakyak cuma bisa berkomentar dan menuliskan unek-uneknya di sosial media. Itu pun juga tidak boleh dilakukan. Karena sudah ada yang bertugas untuk menanganinya. Ibu selalu menggerutu ketika mendengar berita yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Kadang ayah tertawa melihat respon Ibu yang terlalu berlebihan. "Sudahlah. Ibu nyimak aja." Itu yang menjadi penghibur buat Ibu yang terbawa emosi.
Lili menepuk bagian tubuhnya yang digigit nyamuk. Ada banyak bentolan dan bercak darah dari hasil membunuh nyamuk. Ayah baru saja pulang dengan mobil klasiknya. Bukan karena ikutan trend, tapi karena uangnya tidak mencukupi untuk membeli mobil kekinian. Kata ayah, "Yang penting bisa melindungi dari hujan dan panas." Tapi Ibu tidak setuju dengan pendapat Ayah yang selalu pasrah dengan keadaan. Teman sekantor Ayah yang jabatannya lebih rendah saja bisa membeli mobil yang lebih bagus. Bahkan istrinya bisa sering shoping dan pamer di sosmed. Ayah selalu mengingatkan Ibu bahwa rezeki itu yang penting berkah. Jangan ambil hak orang lain demi memuaskan hasrat diri.
Lili melangkah cepat membukakan pagar lalu menutupnya kembali menyusuli Ayah yang baru keluar dari mobil. Segera mengambil tas kerjanya, menuntun Ayah duduk di teras rumah.
"Ngopi dulu, Yah."
Ayah duduk langsung menyeduh kopi yang mulai dingin. Sambil memejamkan mata manikmati rasa dan aromanya. Ayah tersenyum, "Kopi buatan anak Ayah memang paling mantep."
Lili tertunduk malu, "Ini bukan buatan Lili. Buatan nyonya."
Ayah meletakkan kembali cangkir di atas meja lalu memeletkan bibirnya, "Kopi buatan Nyonya pahit."
Ayah kelihatan sangat lelah namun tetap berusaha tersenyum. Ayah tidak pernah cerita perihal dunia kerjanya. Yang Lili tahu setiap bulan Ayah bakalan menyetor ke Ibu dan disambut dengan helaan napas panjang. Mungkin Ibu juga ingin merasakan manisnya bergelimang harta. Tapi Ayah selalu meyakinkan bahwa ini adalah hasil terbaik dari kerja kerasnya.
Ini yang membuat Lili bangga ketika yang lainnya mengejar sesuatu yang bukan miliknya. Ayah tetap pada prinsipnya. Tidak pernah tertarik melihat rumput tetangga yang terlihat lebih hijau.
"Gimana Vincent?" tanya Ayah.
Lili tidak langsung menjawab, mencoba mencerna kalimat Ayah, "Gimana apanya?"
"Vincent masih semangat ikut demo lagi?"
"Demo lagi? Ayah tahu darimana bakalan ada demo?" tanya Lili merasa heran.
"Teman-teman Ayah cerita kalau anak-anaknya bakalan ikut demo minggu depan. Vincent gak cerita."
"Vincent mana pernah cerita. Tau-tau udah sampai aja dilokasi." kata Lili manyun.
Ayah mengangkat kedua alisnya, "Tapi seru, kan?"
"Ya lumayanlah buat nambah pengalaman."
"Jadi gimana Vincent?" tanya Ayah kembali.
Lili menatap Ayah heran, "Gimana apanya?"
"Gimana pertemanan kalian?"
Mata Lili menerawang. Justru terlihat malu-malu sebelum menjawab, "Yah gitu, deh."
"Belum ada kemajuan." kata Ayah lebih intens.
"Uhm.." Lili hanya bergumam berpikir yang sama dengan Ayahnya. Tidak ada harapan lain dari Lili. Bisa berteman dengan Vincent saja merupakan kesenangan baginya. Banyak hal yang dilakukannya bersama Vincent bahkan sampai hal yang tidak pernah dibayangkannya selama ini bisa dialami Lili.
"Memang Lili tahu maksud Ayah?"
Lili menggeleng ragu. Ayah tersenyum lalu mengusap kepala Lili masuk ke dalam rumah.
Lili berpikir kembali tentang pertemanannya. Memang belakangan ini Vincent lebih tertutup. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Tapi Lili masih bertahan sampai cowok itu bercerita langsung kepadanya. Banyak hal yang ingin diajukan perihal demo dan teman grupnya. Saat itu juga ponsel berbunyi. Siapa lagi yang menelpon kalau bukan Vincent. Lili mengangkatnya.
"Halo." sambil menatap sepatu yang meneteskan air Lili tersenyum, tahu apa yang akan dikatakan Vincent.
Malam ini percakapan terjadi cukup singkat. Dari suaranya, Vincent tidak bersemangat. Lili masuk ke kamar, tidak langsung tidur. Hanya berbaring di kasur dengan pikiran kosong. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Juga tidak ada PR yang mau dikerjakan. Sebenarnya saat menunggu Ayah pulang. Lili meneguk kopi untuk menghilangkan kantuk yang mulai menyergap. Justru sekarang Lili tidak bisa tidur. Matanya melek di bawah selimut memaksakan untuk memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.