Sepulang sekolah Lili dan Vincent pulang bareng tanpa sepengetahuan Fadel. Sebelum keluar kelas Fadel mengingatkan agar Lili tidak pulang terlebih dahulu. Dia berjalan setengah berjinjit memegang bokong dan perutnya ke toilet. Kesempatan bagus buat Lili untuk lolos dari jeratan mak comblang dadakan Fadel.
Diparkiran motor Vincent diapit banyak kendaraan. Hari ini Vincent datang lebih awal dari biasanya. Jadi letak motornya di parkir paling depan sehingga terhalang oleh motor murid lain yang datang belakangan.
"Ini sebabnya gue malas datang cepat." Vincent mulai mengacak susunan motor yang telah terparkir rapi. Sambil menggerutu Vincent mengeluarkan motornya dari parkiran. Kemudian mengengkolnya beberapa kali hingga menyala.
Lili segera naik memegang pundak Vincent agar segera melajukan motornya. Dari ujung lapangan tampak Fadel berseru memanggil mereka yang sudah keluar dari gerbang sekolah. Lili terkekeh melihat ekspresi Fadel yang kecewa. Dia mengumpat sambil menunjuk-nunjuk Lili yang mengejeknya di belakang boncengan.
Vincent melihat dari kaca spion, "Pasti tuh anak marah banget sama kita."
"Hahah.. Lagian maksa banget buat comblangin gue sama orang yang gak jelas." umpat Lili.
Tidak lama motor menepi di sebuah warung kecil menjual teh es jumbo.
"Kita ngapain berhenti di sini?"
Vincent menurunkan standar motornya. Kemudian melepaskan helem. Menduduki kursi yang kosong.
"Lo gak haus?" kata Fadel lalu memesan dua minuman.
"Ya hauslah." Lili ikut duduk berhadapan dengan Vincent. Lalu melihat sekeliling. Tidak banyak yang berjualan di sini tapi cukup ramai pembeli.
"Lo bawa uangkan?" kata Vincent.
Lili memeriksa dompet kecilnya. Ada beberapa lembar uang lima puluhan untuk jajan selama seminggu. "Ada. Kali ini biar gue yang bayarin." Kemudian pedagang batagor lewat dengan memukul mangkuknya. Lili memanggil pedagangnya. "Pak..."
Pedagang batagor berhenti. Lili bangkit dari duduknya. Namun ditahan Vincent untuk tetap ditempat, "Biar gue aja."
Lili merasa diratukan. Lalu mengusap perutnya yang lapar. Dua cup teh gelas sudah siap diminum. Pas banget pasangannya dengan batagor.
"Nih buat lo." Vincent menyerahkan piring kepada Lili.
"Makasih." Lili menancapkan batagor dengan garpunya.
Vincent memakan batagornya lalu membuka suara, "Lo yakin mau pacaran dengan orang lain."
"Yakinlah. Benar kata lo. Kayaknya hidup gue agak membosankan. Harusnya gue mencari sesuatu yang baru biar gak garing."
"Maksud gue lo tuh harusnya temenan sama cewek yang lain. Jangan sama gue terus. Yah gak harus pacaran."
Lili berhenti mengunyah. Kemudian meraih teh yang ada di atas meja, "Gak tau deh. Liat aja nanti."
"Kalau mau dekat sama cowok lain. Kenalin dulu sama gue. Biar gue nilai tuh cowok. Jangan sampai salah pilih orang."
Vincent tega melontarkan kata-kata itu kepada Lili. Yang Lili butuhkan bukan pacaran tapi teman setia kayak Vincent. Justru sekarang Vincent seperti sengaja menjauhkannya dari dia.
"Kenapa lo pengin banget gue jauh-jauh dari lo?" seru Lili. Kali ini dia hanya memakan dua potong batagor lebih sedikit dari biasanya.
"Habiskan dong makanannya. Mubazir. Liat tuh bapaknya kecapean nungguin kita makan."
Lili melihat pedagang batagor berdiri mengipasi lehernya. Peluhnya menetes dari ujung pelipis. Matanya sayu memandangi jalanan.
"Iya gue habisin. Bantuin." Lili membagi sebagian batagornya kepiring Vincent.
"Lah kok dikasih gue semuanya." Vincent tetap menerima makanan sisa Lili, pasrah dengan tingkah cewek yang ngambekan seperti ini.
"Habisin dong. Katanya mau bantuin." Lili semringah melihat Vincent kebingungan menghabiskan dua piring batagor dalam waktu bersamaan.
Lili menopangkan wajah menggodanya, "Habisin ya. Mubazir lho."
Vincent menyuapkan makanan ke mulut Lili dengan paksa, "Makan tuh."
Lili mengunyahnya merasakan kenikmatan yang berbeda jika dimakan dari tangan orang lain secara tidak langsung.
"Jadi lo masih pengin pacaran?" kata Vincent tiba-tiba.
"Ya lonya mau gak?" sambung Lili kemudian terkekeh. Sementara Vincent mematung mendengar respon Lili. "Bercanda kok. Jangan dipikirkan omongan gue."
"Gue serius. Lo masih mau pacaran dengan orang lain?" kalimat terakhirnya seolah menyiratkan kalau dia menolak mengubah status pertemanannya bersama Lili.
"Yah kalau memang takdir. Gue bisa apa." sahut Lili santai.
Kemudian Vincent mengantar piring batagor ke pedagangnya. Dan meminta uang kepada Lili.
"Masaka cewek yang traktir." komentar pedagang batagor kemudian mendorong kembali gerobaknya menyusuri jalan.
Vincent terbengong mendengar komentar batagor. Biasanya Vincent yang selalu mentraktir Lili. Giliran dibayarin langsung mendapatkan kritikan.
"Gak usah dipikirin." kata Lili tersenyum lebar melihat ekspresi Vincent yang bengong. "Emang salah kalau cewek yang traktir cowok?"
"Gue malas membahasnya. Kembali ke topik. Kalau Fadel ngenalin lo sama cowok. Jangan langsung mau. Lo tau sendirikan wataknya Fadel gimana. Dia agak sengklek otaknya. Nanti lo dikenalin sama psykopat lagi."
Lili ngakak mendengar nasehat Vincent. Biasanya Lili yang sering menasehatinya supaya tobat dari kegiatannya yang doyan bolos.
"Iya. Gue bakalan ingat sama perkataan lo." kata Lili penuh penekanan.
"Dibilangin malah ngeyel."
Sambil terkekeh Lili berkata, "Salah lagi gue." Kemudian mengulum senyum
"Ingat tuh. Harus hati-hati. Jangan sembarangan kenal sama cowok. Kalau lo kenapa-kenapa gue juga yang repot." kata Vincet. Dia bangkit dari duduknya. Kemudian membayar minuman. "Berapa buk?"
"Sepuluh ribu."
"Kok jadi elo yang bayar. Malu ya dikatain sama bapak tadi." Lili menyeringai mengejek Vincent yang melangkah mendahuluinya. Vincent memasang helemnya dan menyalakan motor. Sementara Lili masih cengengsan melihat tampang Vincent yang ditekuk.
"Mau gue antar atau jalan kaki.." ancamnya.
Buru-buru Lili naik ke motor dan memasang helemnya. Lili membuka suara di sisa tawanya, "Lo gak ada kepikiran buat pacaran gitu."
"Gue mau fokus menemukan jati diri." serunya fokus pada jalanan.
Lili berdecih cemooh, "Gaya-gayaan mencari jati diri. Mau cari dimana sih?" Lili masih menganggap perkataan Vincent sebagai guyonan.
"Puas-puasin deh ketawa sebelum ketawa itu dilarang." kata Vincent dengan suara datar namun berkesan dihati Lili.
"Kayaknya gue pernah dengar kata-kata itu. Dimana ya." Lili berpkir.
"Jangan mikirin yang gak penting. Banyak hal yang harus lo pikirin selain kata-kata gue tadi."
Lili mendekatkan dagunya menopang dibahu Vincent menikmati jalanan yang panas namun terasa sejuk.
Vincent ikut tersenyum. Dari spion terlihat Lili semringah memejamkan mata. Helemnya yang longgar sedikit miring terpasang dikepala. Siang ini cukup panas untuk suasana yang bahagia ini. Tidak tahu kenapa Vincent ikut tersenyum. Motornya melaju kencang hingga sampai di depan rumah. Lili turun dari motor memberikan helem milik Vincent.
Hari ini tidak pakai basa-basi seperti biasa. Vincent memilih pergi ke suatu tempat sebelum melajukan motornya.
"Dah." Lili melambaikan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.