SELALU BENAR ✓

479 64 0
                                    

"Anjir apa gue salah urat kali ya? Sakit benar punggung sama pantat gue,"

Tok tok

Adela menoleh pada pintu kamarnya dan moodnya seketika tidak enak melihat siapa pelaku yang mengetuk pintu kamarnya.

"Boleh mama masuk?"

"Hem," Adela hanya berdehem sebagai balasan dan masih mengurut punggungnya.

"Kata fikar punggung sama pantat kamu sakit ya?. Apa mau di bawa ke tukang urut?" Tanya Sintia .

"Gak usah," tolak Adela tanpa menatap Sintia.

"Nanti salah urat lo nak. Kita ketukang urut ya," bujuk Sintia lagi.

"Gak usah. Besok juga sudah baikan," tandas Adela dingin.

"Nak mama khawatir sama kamu," ucap Sintia.

Adela terkekeh sinis . "Tumben. Biasanya juga di lantarin," sarkasanya tidak peduli jika Sintia mengamuk padanya.

Sintia tentu tertohok dengan ucapan Adela,jujur hatinya sakit mendengar putrinya yang seperti tidak menganggap dirinya.

"Nak kamu jangan ngomong gitu,"

Adela tersenyum muak. "Lebih baik mama keluar aja deh. Adela mau istirahat," usirnya .

"Nak mama khawatir sama kamu,"ucap Sintia tidak menyerah.

Adela berdecak kecil tetapi masih bisa di dengar oleh Sintia. " Ingat kan apa yang mama ucapkan sama Adela dulu?. Adela harus mandiri,jangan nyusahin,jadi perempuan kuat. Bahkan ketika Adela demam aja mama cuman kasih Adela obat dan setelah itu mama pergi. Beda sama bang Dean. Mama selalu perhatian sama dia sedangkan Adela?" Adela terkekeh memperhatinkan.

" Mama hanya bisa marah dan buat Adela down sama perkataan mama karena Adela gak bisa pintar kayak abang. Bahkan mama selalu bandingin Adela sama orang lain di depan banyak orang. Adela jadi semakin yakin kalau sebenarnya Adela bukan anak mama," pungkas Adela panjang lebar membuat Sintia kaget sekaligus tidak percaya atas ucapan putrinya.

Sintia terisak mendengar perkataan putrinya. "Maafin mama,"

"Maaf?. Alah lagu lama,nanti juga di ulangi" sarkas Adela lalu memilih tidur dan membelakangi Sintia.

"Adela," panggil Sintia pelan.

Adela menaikkan tangannya mengintrupsi agar Sintia keluar. "keluar dan jangan lupa tutup pintunya,"

Dean menarik Fikar yang masih terpaku di depan kamar Adela menuju kamarnya di sebelah, karena takut jika Sintia menangkap basah mereka berdua menguping.

"Hust diam,"

Dean berjalan duduk di kasurnya sambil memijit pelipisnya yang terasa pusing.

"Gue gak tahu kalau kebencian Adela sampai segitunya sama mama gue,"

Fikar tidak jauh berbeda dengan Dean. Mengingat perkataan adela yang terkesan tidak sudi berdekatan dengan Sintia membuat dirinya merasa bersalah karena dirinya juga termasuk dalam masalah ini.

"Gue jadi merasa bersalah sama Adela. Apa Adela juga benci gue ya kar?" Tanya Dean.

"Bang Dean jangan ngomong gitu. Mana mungkinlah Adela benci sama abangnya sendiri," Jawab Fikar karena memang itu tidak akan mungkin terjadi karena Fikar tahu bagaimana rasa sayang Adela pada Dean.

"Gue minta tolong ya sama lo. Kasi pengertian sama Adela soalnya tuh anak keras kepala,susah di bilangin,"

Fikar berfikir sejenak,apa mungkin Adela mau mendengarkannya?. Sejauh yang ia kira Adela perempuan yang keras kepala,apalagi tak tanggung-tanggung perempuan itu akan membalas orang yang mencampuri urusannya dengan mulut pedasnya dan sama sekali tidak pandang bulu siapa orang itu.

11/12Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang