Adela berbaring di ranjang rumah sakit dengan selang oksigen di hidungnya. Keadaanya sudah sedikit membaik namun seluruh badan perempuan itu memerah karena alerginya itu.Setelah mengetahui kalau Adela di larikan di rumah sakit,Fikar dan keluarganya langsung menuju rumah sakit di mana Adela di rawat.
Herman menatap putrinya yang memejamkan matanya dengan tenang. Untuk kedua kalinya ia merasakan kepanikan mengenai alergi putrinya itu. Mengapa Sintia melakukan hal ini pada putrinya sendiri. Mencelakainya dengan sengaja padahal ia jelas sangat tahu makanan yang paling di hindari putrinya itu.
Dean memegang bahu papanya yang menatap Adela. Ia paham bagaimana perasaan papanya itu apalagi tahu siapa yang sengaja memberi makanan itu pada adiknya.
"Pa,Adela pasti baik-baik aja kok."
Herman mengusap wajahnya dengan kasar. "Yang papa takutkan sekarang itu, bagaimana kalau nanti Adela trauma sama mama kamu? "
"Itu gak mungkin pa," Bantah Dean.
"Gak ada yang gak mungkin Dean. Bisa saja setelah ini Adela tidak mau makan apapun karena merasa takut. Kita gak tahu pikiran dia. Pasti adikmu ini sangat kecewa sama mama kamu apalagi tahu kalau mamanya sendiri berusaha membunuhnya."
Dean diam tak berkutik. Yang di katakan Herman memang semuanya benar. Dia juga sama marahnya seperti Herman, tapi dirinya juga masih ada sedikit hati mengasihani mamanya itu.
"Papa mau pulang,jaga adik kamu."
Setelah kepergian Herman,Dean duduk di kursi dekat brankar adiknya. Segitu inginnyakah Sintia menghilangkan Adela di keluarga mereka sampai-sampai melakukan ini semua. Adela bahkan kerap sengaja menjaga jarak dengan Herman takut jika Sintia cemburu padanya karena lebih dekat dengan anaknya dibandingkan dengan istrinya.
"Bang."
Lamunan Dean buyar dan langsung mendapati Fikar yang berdiri di sampingnya.
"Eh lo, duduk sini," Dean berdiri mempersilahkan Fikar untuk duduk di kursi yang ia tempati.
"Gak usah bang gue duduk di sofa aja."
"Gak papa kok, lagian gue mau ke kantin juga tolong jagain adik gue dulu."
"Tanpa lo minta juga gue bakalan jaga dia bang."
Dean tersenyum menepuk bahu Fikar sebelum pergi dari sana.
Fikar mendudukkan dirinya memperhatikan wajah Adela yang merah dengan bibir pucat, ia lantas mengambil tangan gadis itu yang tidak diinfus lalu mengelusnya menempelkan tangan hangat itu pada pipinya sesekali ia mengecup lama tangan Adela.
" Jangan sakit lagi lo bikin gue khawatir," Fikar berbicara sendiri tidak perduli jika orang yang ia temani bicara sedang tidur.
"Kok lo tetap makan makanan itu sih, bandel banget. Pasti sakit banget ya paksain makan makanan yang gak bisa lo makan. Kuat banget sih?" Fikar terkekeh pelan menertawakan dirinya yang berbicara sendiri.
"Cepat sembuh ya gak enak ngomongnya kalau gak dengar lo ngomelin gue. Nanti gue masakin lo makanan kesukaan lo tapi syaratnya lo harus sembuh dulu dan ngomelin gue lagi."
Fikar berdiri dari duduknya dan mengecup lembut dahi Adela setelah itu ia mengelus bekas kecupan yang baru saja ia layangkan pada perempuan itu.
"Cepat sembuh Adelanya Fikar."
•••
Herman membuka pintu rumahnya dengan kasar berteriak memanggil istrinya itu. Dia tidak bisa menahannya lagi saatnya ia memberi peringatan yang bisa membuat istrinya itu sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
11/12
Teen FictionKau bertanya kenapa aku bisa mencintaimu?. Jawabannya adalah aku tidak tahu. Yang kutahu hanya kau gadis pemilik mulut pedas yang bisa membuatku bergetar. Kau pernah mengatakan aku laki-laki yang hanya memikirkan bagaimana cara menyelesaikan semua r...