11/12 S2

48 5 2
                                    

Semenjak pulang dari Indonesia Fikar lebih sering duduk bahkan sampai tidur di balkon kamarnya bahkan sangking lelapnya ia pernah diterapa hujan. Alasannya karena ingin melihat gadisnya. Gadis yang sama sekali belum pernah hilang dari perasaan dan hatinya. Salahkah? Tapi ini perasaan dan haknya untuk tetap mencintai gadis itu.

Fikar sering melihat gadis itu pulang jam tujuh malam,  Fikar juga jadi  sering  duduk di depan rumah pak Tama yang mana pak Tama punya tempat tongkrongan tepat didepan rumahnya, hanya untuk melihat Adela yang tak lagi pernah meliriknya lagi. Memangnya Fikar siapa dihidup gadis itu. Hanya laki-laki yang tega meninggalkan seorang perempuan yang sudah ia buat jatuh cinta sedalam-dalamnya.

Waktu di belanda Fikar memutuskan memblokir akses orang-orang terdekat Adela termasuk Adela sendiri, karena ia tak mau perjuangannya sisa-sia datang ke Belanda.

Kakek dan Neneknya masih tetap kekeuh untuk Fikar tak berpacaran terlebih dahulu atau paling tidak untuk tidak berhubungan dengan gadis yang ada di kampusnya. Kakek dan neneknya ingin Fikar fokus pada pendidikannya dan belajar di perusahaan.

Ada banyak yang berubah dari Fikar saat itu juga. Kehidupannya berubah total. Ia tak mau mengeluh pada kedua orang tuanya karena Fikar tak mau mereka khawatir. Fikar pernah mengamuk lelah pada sang kakek. Kakek mengatakan kalau ia akan berjanji membebaskan Fikar setelah Fikar bisa jadi penerus perusahaan kakeknya dan saat itu juga Fikar kembali bersemangat.

"Halo kek."

"Fikar gimana sama perusahaan itu?"

Fikar menarik bibirnya. "Buruk."

"Kalau mereka tidak memberi keuntungan mending cabut saham kita saja."

"Gak ada salahnya kasi kesempatan buat mereka."

Terdengar tarikan nafas dari sana. Fikar melirik jam yang ada di ponselnya. Jamnya menunjukkan angka 17.30 berarti di Belanda sekarang jam 23.30. Kakeknya itu masih saja suka begadang padahal sudah sering sakit-sakitan.

"Tidur kek, jangan begadang."

"Kakek tadi sudah tidur tapi tiba-tiba bangun karena kepikiran kamu."

"Kakek serindu itu sama aku?" Fikar terkekeh pelan.

"Bukan kakek yang rindu, tapi nenekmu yang rindu. Katanya pengen cepet-cepet ke Indonesia ketemu sama kamu padahal belum sebulan sudah rindu banget dia."

"Alah bilang aja kakek yang rindu."

"Terserah kamu aja deh."

"Memang kakek jadi netap disini?"

"Ya jadilah orang rumahmu itu sudah jadi."

"Itu rumah kakek," Koreksinya.

"Tahu tapi kan yang desain kamu, ya...berarti kamu bakal tinggal disana sama keluargamu nanti."

"Terserah kakek ajalah, sekarang kakek kembali tidur. Jangan lupa minum obatnya."

"Kamu juga jangan lupa minum obat, ingat kata dokter Mia. Jangan banyak fikiran."

"Iya kek, Fikar tutup dulu."

"Iya."

Fikar menutup telfonnya. Delapan tahun yang lalu selama ia di Belanda diam-diam Fikar di bawah oleh teman dekatnya periksa ke psikiater. Ternyata yang dibayangkan Fikar dan temannya itu benar, Fikar punya gejala masalah psikologis.

Kakek tahu beberapa minggu selama Fikar sering pergi periksa. Seperti yang dijelaskan sebelumya. Apapun tentang Fikar pasti kakek akan tahu.

Fikar mendapatkan perlakuan buruk dari saudara ibunya. Fikar sering diserang oleh sepupu-sepupunya yang pemabuk dan pemakai itu. Bahkan Fikar pernah di fitnah oleh sepupunya dan teman sepupunya itu kalau ia pemakai narkoba sehingga Fikar ditangkap saat itu juga. Fikar di siksa habis-habisan oleh polisi disana karena Fikar tak mau jujur. Kakek pada saat itu ke luar negeri dan langsung pulang besoknya saat tahu Fikar ditangkap.

11/12Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang