ANGGISARA POV
Aku duduk menekuk lutut diranjang. Memainkan kuku jemariku dengan cemas.
Sebenarnya aku masih sangat pusing, tapi kemarahan papa mengalahkan pusing kepalaku.Papa tak pernah semarah ini padaku. Bahkan hampir tak pernah memarahiku.
Aku sendiri juga tidak tahu menahu dengan tanda merah sialan di leherku ini. Tanda ini yang membuat papa marah tak karuan.Mungkin bagi banyak orang, tanda merah seperti ini bukanlah hal yang rumit. Ini merupakan hal wajar untuk sepasang kekasih. Tanda merah itu adalah tanda cinta untuk saling memiliki.
Tapi berbeda dengan papa. Papa tak pernah mengizinkan aku melakukan hal diluar batas saat memiliki hubungan spesial dengan seseorang. Meski hal kecil sekalipun. Karena menurut papa, seseorang akan melakukan hal yang jauh lebih besar dan beresiko itu berasal dari hal kecil yang disepelekan.Tapi untuk saat ini, aku tidak memiliki hubungan spesial apapun dengan seseorang. Jadi aku sendiri pun bingung mengapa aku bisa memiliki dua tanda merah di leherku ini. Aku tidak tahu darimana aku mendapatkannya.
Aku terbangun dari tidurku saat papa pulang dari Ankara. Lalu tiba tiba papa marah saat melihat ini. Aku tidak tahu harus menjelaskan seperti apa lagi karena aku sendiri juga tidak mengerti dengan yang terjadi sebenarnya.
Aku mengusap air mataku yang mengalir. Sampai sekarang aku masih sakit jika ingat dengan kemarahan papa padaku.
Jika aku memiliki masalah aku akan selalu bercerita kepada mama. Tapi sekarang aku hanya memiliki papa. Papa yang sedang marah padaku.
'mama...
Aku tidak melakukan apa apa..
Mama jangan marah padaku juga..'ANGGISARA POV END
****
KARTIKA POV
Aku menatap tajam pada pria yang duduk di depanku ini. Aku masih tidak terima mengingat dia yang menyakiti kekasih hatiku dan membuatnya menangis.
Aku pasti akan membalasnya."Menatap lah dengan sopan pada suamimu, Kartika"
Katanya.Aku menatapnya dengan muak.
Aku harus sopan pada orang yang menyakiti Anggisara? Tidak akan. Sekalipun itu suamiku sendiri."Aku tidak terima kalau kamu menyakiti Anggisara lagi" ucapku dengan tegas.
Ia menatapku dengan tajam dan berjalan menghampiriku. Pandangan kami saling mengunci dan seperti hendak bertarung. Aku tidak takut padanya.
"Dia itu anakku, aku lebih berhak mengatur dia. Kamu nggak perlu ikut campur!" teriaknya
"Kamu bahkan tidak mendengarkan kata katanya. Kamu marah begitu saja tanpa mendengar penjelasannya! Aku tidak akan diam melihat Anggisara disakiti seperti itu, sekalipun ayahnya sendiri yang menyakitinya"
"Tahu apa kamu tentang anakku hah?? Kamu nggak tahu apa apa! Nggak perlu sok membela"
Aku menggelengkan kepalaku tidak habis pikir dengannya. Dia bukan Adam yang aku kenal.
"Aku nggak pernah melihat kamu seperti ini. Cuma karena masalah sepele kamu berubah"
"Sepele? Yah, sepele! Semua orang melakukan kecerobohan dimulai dari hal yang di sepelekan. Dengar Kartika, aku ini ayahnya. Aku hanya ingin menjaga anakku sebaik baiknya"
"Dan aku nggak akan biarkan siapapun menyakiti Anggisara termasuk kamu!"
Aku berjalan keluar meninggalkannya. Aku tidak peduli dengan pria itu.
Anggisara jauh lebih penting daripada dia.
