Adam duduk di kursi rodanya, menatap Anggi dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Ia menatap punggung kecil milik anaknya yang terlihat bergetar. Ia tahu jika anaknya itu tengah menangis.
Sementara didalam kamarnya, Anggi duduk didepan foto mendiang mamanya yang ia letakkan di meja kecil. Memandang foto itu dengan tersesak.
"Kalau saja mama masih disini, aku pasti nggak akan mengenal dia.
Keluarga kita akan selalu menjadi keluarga yang bahagia. Aku, papa dan mama.Aku sayang papa. Tapi sekarang aku juga yang melukai nya ma.
Maaf aku sudah mengingkari janji ku ke mama untuk selalu menjaga papa.Tapi hatiku juga sakit mama.
Cintaku tidak berada ditempat yang tepat. Mengapa aku harus jatuh hati padanya? Aku nggak ngerti kenapa seperti ini.Aku mencintai dia mama.... aku merindukan dia sepanjang waktu. Dia berada ditempat yang dekat, namun tidak lagi bisa aku jangkau.
Aku tidak bisa berpura pura untuk tak lagi mencintai nya.
Aku masih mencintainya hingga kini.Aku merindukan dia, aku ingin menemui nya, tapi aku hanya bisa melihatnya dari jauh.
Jika aku memaksakan kehendakku lagi, aku akan menyakiti papa.Aku tidak pernah meminta hatiku untuk dijatuhkan padanya. Aku tidak pernah berniat menyakiti papa. Aku tidak mau keluarga kita berantakan.
Tapi kenapa Tuhan harus menjatuhkan hatiku padanya?Maaf karena aku juga berpura pura didepan papa, berpura pura bahwa aku telah melupakan dia.
Dan rupanya aku tidak bisa melakukan apa yang papa minta. Maaf mama....Aku takut mama, ini semua salah aku. Mengapa aku harus menyakiti dua orang yang aku sayangi? Aku takut mama.....
Aku harus apa mama? Mana yang harus aku pilih? Kedua pilihan itu juga sama sama menyakiti ku.
Sakit mama....Bolehkah aku ikut mama? Bawa saja aku pergi bersama mama. Aku tidak mau disini, aku lelah mama...."
Tangisan itu kian menyakitkan. Siapapun yang mendengarnya pasti akan terenyuh.
Seketika hati Adam mencelos. Mengapa ia tak pernah memikirkan keadaan Anggi yang begitu tertekan.
Anaknya itu bahkan berpura pura dan membiarkan hatinya sakit.
Menyalahkan dirinya sendiri. Menangis sendirian.
Apakah ia harus mengalah?
Anaknya itu tak pernah menolak permintaan nya selama ini. Bahkan, sekarang gadis itu rela mengalah dan memilih untuk menyimpan sakitnya sendirian.Ia mengerti jika cinta yang dimiliki anak dan istrinya adalah hal yang tak seharusnya ada. Tapi cinta tidak pernah salah. Hanya terkadang memang tak sesuai apa yang kita harapkan.
Dan kata kata terakhir dari Anggi, membuat ia merasa takut. Gadis itu merasa lelah dan ingin menyerah.
Apakah ia masih bisa mempertahankan rumah tangga nya?
Apakah ia lebih memilih kehilangan anak satu satunya?Anaknya itu telah hidup dalam kesedihan saat mamanya pergi.
Dan sekarang anak itu harus merasakan kesedihan lagi dari cintanya yang dipaksa gugur.
Apakah ia masih akan terus memaksa Anggi untuk menyimpan sakitnya sepanjang waktu?
Bisakah?*****
Adam berkali kali menelepon Anggi. Sebab sampai sore begini gadis itu belum juga pulang. Apalagi hujan turun begitu deras sejak 30 menit yang lalu. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak tidak pada anaknya.
Bi Mar juga tampak gelisah. Ia mondar mandir diteras rumah. Ia sangat cemas karena nona Muda nya itu belum juga pulang. Padahal menurut teman temannya, gadis itu sudah pulang sejak siang.
Namun sampai sekarang, gadis itu tidak ada kabar dan susah dihubungi.'apa sebaiknya aku telepon Nyonya Kartika saja ya? Siapa tahu Non Anggi ada disana' pikir perempuan tambun itu.
Bi Mar tampak celingak celinguk, takut majikan nya lihat. Ketika dirasa aman, ia pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Kartika.