"Anak-anak Momi yang cantik cetar membahana ini jangan lupa istirahat ya? Nanti, kalau kalian sakit momi cantik yang sedih," celoteh Oo bersama hewan peliharaannya yaitu 3 kucing. Ia begitu menyayanginya sampai dianggapnya sebagai anak.
"Kalau nakal nanti momi jewer telinga kalian biar panjang kayak Pinokio!" Oo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Seperti sedang memikirkan sesuatu yang ia lupakan. "Pinokio bukannya hidung yang panjang ya? Bukan telinga?"
Ia terkekeh sendiri mengingat hal bodoh yang ia lakukan. "Sabar ya anak Momi. Kebiasaan ini otak gampang lemot," curhatnya. Kadang kala otaknya sangat lama untuk memahami hal yang seperti ini.
"Momi sedih," ungkapnya dengan bibir yang sudah ia umum ke dalam. Ia menatap sendu kearah anaknya yang masih sibuk makan. "Kalian mau Momi tarok di rumah Dunia fana dulu beberapa bulan. Apalagi bentar lagi mau lahiran kamu!" tunjuknya pada kucing dengan bulu berwarna sedikit kemerahan itu. "Biar nggak jadi lonte disini!"
"Moci, Joci, Cici, nanti kalau ketemu sama om Dunia jangan nakal ya? Nanti, kalau kalian nakal bisa-bisa dijual!" ancamnya seakan kucing itu mengerti dengan celotehannya. "Mending kalau di jual. Kalau kalian nggak diurusin gimana? Momi sedih!"
"Oline! Buruan makan keburu telat kamu sekolahnya!"
"Bendahara udah manggil Momi kesana dulu. Bisa-bisa jatah jajan Momi berkurang!" Oo segera berlari mencuci tangannya dan menuju ruang makan menemui bundanya.
***
"Bunda, Oline berangkat dulu!" teriaknya dengan keras membuat adiknya membuang muka terhadapnya.
"Jangan teriak begitu nggak baik," tegur bundanya yang hanya bisa mengelus dada menghadapi tingkah putri satu-satunya ini. Perempuan dengan sifat macam laki-laki.
Oo dengan cepat meneguk segelas susu yang sudah di siapkan oleh bundanya dan menyaut satu roti dari atas meja. "Oo mau berangkat dulu."
"Adik kamu sama siapa?"
"Udah ada yang jemput Bun," ujar Zio santai sambil menikmati sarapannya.
"Siapa?" tanya Oo penuh penasaran. "Pacar lo atau siapa?"
"Urusin aja itu calon pacar kakak," suruh Zio.
Senyumnya luntur seketika. "Nggak usah bahas mereka lagi," pinta Oo kesal jika mengingat tingkah mereka kemarin.
"Kamu udah punya pacar?" Bundanya yang berjalan dari dapur membawa bekal untuk anaknya. Setiap pagi memang rajin menyiapkan sarapan dan juga bekal tapi hanya saja Oo yang malas membawanya persis seperti Lorenzo.
Ia menarik satu kursi dan duduk di samping anak laki-lakinya itu. "Namanya siapa kak?" tanyanya sembari mengoleskan selai di roti.
"Nggak punya," elaknya.
"Jujur aja sama bunda," cecernya.
"Nggak punya kok Bun," elak Oo. Memang benar dirinya belum memiliki pacar kan?
"Masih proses," balas Zio datar.
"Apaan sih lo!"
"Serah." Zio memilih memakan roti yang sudah bundanya beri dengan tenang. "Zio berangkat dulu Bun. Udah di jemput di depan," terangnya sambil menyium punggung tangan bundanya.
"Siapa sih?" Oo bertanya-tanya siapa orang bisa meluluhkan hati adiknya itu. Karena penasaran ia melangkah keluar melihat siapa orang itu.
***
Seseorang sudah menunggu Zio di depan rumah dengan bersender di dekat mobil berwarna hitam itu.
"Yakin mau hari ini?" tanyanya. Langkahnya menunggu Zio menghampirinya. "Sekarang lo sekolah. Gue nggak mau di kira ngasih pengaruh buruk ke lo. Lagian dia nggak bakalan suka kalau lo bolos," ungkapnya.
"Yakin kak. Gue nggak mau terlalu lama berurusan sama tu cewek," ungkap Zio dengan wajah datarnya.
"Sekolah aja dulu lo, nanti gue anterin setelah pulang sekolah. Gue anterin sekarang pulangnya gue jemput lagi," ujarnya.
"Bolos sekali nggak papa. Lagian kayak lo nggak pernah bolos aja," ucap Zio malas. Memangkan dulu Abram satu sekolahan dengan dirinya dan tentu Zio tau bagaimana tingkahnya sehari-hari.
Menghadapi Zio membutuhkan kesabaran yang ekstra agar bisa membujuknya. "Yakin?"
Zio mengangguk yakin. "Buruan berangkat," suruh Zio yang sudah siap dengan menggunakan helm.
"ZIO! BEKAL LO KETINGGALAN DI MEJA MAKAN!" teriakan Oo membuat Zio membulatkan mata tidak percaya. Suara kakaknya begitu menggelegar dan sangat sumbang. Kalau ikut paduan suara pasti tidak akan terpilih.
"Zio! Lo denger nggak sih!" Oo mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal karena berlari dari ruang makan ke keluar rumah. "Awas aja lo lupa!" ancam Oo.
"Sayang?"
Oo membelalakkan matanya tidak percaya. Dengan kesal Zio memukul helm itu membuat Abram mengaduh karena suara nyaring di dalamnya.
"Bisa budek gue Zio!"
"Lo mau nyulik adik gue ya?" tuduh Oo yang melihat adiknya sudah bersama Abram. "Zio berangkat sama Momi!"
"Serah!"
"Gak boleh gitu sama Momi! Nanti, gue kutuk jadi squisy babi mau?"
"Najis babi itu!" terang Zio.
"Tapi lucu gemes!" ungkap Oo yang dari dulu ingin memelihara hewan satu itu.
"Serah!"
"Zio turun!"
"Nggak!"
"Zio! Jangan bantah momi!"
"Ikut bareng sekalian aja," ujar Abram.
"Nggak!" tolaknya dengan cepat.
"Gue bawa mobil. Lagian kalau nggak mau terserah. Zio masuk buruan," pinta Abram yang sudah masuk ke dalam terlebih dahulu.
"Bunda? Kunci mobilnya mana?" teriak Oo dengan menatap kesal ke arah Abram.
"Kebawa papi sayang!"
"Kunci motor?"
"Disimpan sama papi. Gara-gara Abang kamu yang gantengnya b aja itu keluyuran mulu!"
Oo menghela napas sabar akan cobaan yang menerima dirinya kali ini. "Mau bareng nggak? Mumpung gue bukan tukang ojek lagi," ujar Abram.
"Daripada gue telat yekan?" Oo berjalan menuju mobil Abram dan membukanya untuk duduk.
"Depan," suruhnya.
"Nggak mau!" tolaknya.
"Gue bukan supir kalian asal lo tau!"
Zio sudah duduk di belakang dengan santainya tidak lupa membuka bukunya. Terpaksa akhirnya tidak ada salahnya lagi. Oo masuk ke dalam mobil itu dengan malas.
***
Di pertengahan jalan hanya keheningan dan juga rayuan Abram untuk mendekati Oo. Zio merasa telinganya panas dan matanya ternodai akibat ulah kakak kelasnya ini.
"Nggak pusing apa otak lo belajar mulu?" tanya Abram yang memperhatikan sedari tadi Zio tidak lepas dari bukunya.
"Nggak."
"Jangan ganggu anak gue kalau lagi belajar. Biar dia pinter," tegur Oo yang memang tidak suka kalau adiknya di ganggu.
"Lo ada ulangan di jam kedua setelah istirahat." Oo menepuk jidatnya sadar kalau hari ini ada ulangan. "Zio gue ulangan apa?"
"Pikun!"
"Serius Zio!"
"Fisika."
Akhirnya, ia bisa menghela napas lega. Tidak perlu khawatir akan masalah ini. "Untung aja gurunya santuy."
"Gue males belajar Zio." Oo meletakkan kepalanya di jendela sambil bersenderan. Kepalanya mendadak pusing saat mengingat tentang ulangan.
"Belajar mencintai gue aja," ujar Abram yang langsung dihadiahi timpukan dua gulungan buku oleh kakak beradik ini. "Nyeri anjer!" umpatnya.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Cinta Oline Melandrino (END)
Roman pour Adolescents"Satu hal yang pasti, lo masa depan dan dia masa lalu." Oline tersenyum menatap Abram. "Gue suka sama lo." *** Oline Melandrino atau yang kerap dipanggil dengan Oo atau ogeb. Anak ketiga dari empat bersaudara, dimana ia paling cantik. Pecinta bebera...