"Siapa yang rela jika seseorang yang sudah menjadi sahabat baik, harus pergi dengan cara yang mengenaskan?" -Oline Melandrino.
***
"Emosi boleh, tapi jangan teledor."
***
Segerumbulan anak gang motor dengan jaket kulit berwarna hitam dengan ada lambang naga mengeluarkan api di atas sebelah kanan itu terlihat tengah tersenyum penuh kemenangan. Sebagian dari mereka membawa balok kayu, besi, tongkat baseball, dan juga ada yang membawa beberapa senjata lainnya.
Namun, berbeda dengan sekumpulan gang motor satunya yang sibuk dengan ponsel mereka masing-masing dan tidak memperhatikan lawannya. Namun, tampaknya mulai gelap dan membuat mereka semakin tersenyum, ternyata hari ini sangat ingat betul dengan kejadian setahun yang lalu.
Jalanan yang sepi, memang sudah sangat menjadi tempat favorit mereka sejak dulu, namun entah kenapa semuanya berubah menjadi tidak terarah.
"Kita mau tawuran atau mau ajang take me out?" Cowok berbadan jangkung itu sibuk memukul-mukulkan balok kayu yang ia bawa dan berdecak lelah. Matanya sudah memejam beberapa kali dan menguap pertanda sedang mengantuk. Ia berbisik pada teman di sampingnya, "Gue mau tidur dulu, sebelum berantem. Lagian nggak baik berantem kayak gini, nyawa taruhannya," ungkapnya dengan tangan membekap mulutnya yang kembali menguap.
Perkataan itu menimbulkan banyak pertanyaan bagi temannya yang kini ikut memperhatikan cowok itu yang berjalan ke bangku di bawah pohon dengan berjalan lunglai.
"Kesambet apaan itu bocah?" Cowok berambut gimbal itu menggidikkan bahunya tidak tahu. "Mau mendekati ajal apa gimana?"
Bugh ....
Suara tinjuan itu membuat mereka meringis. Cowok berambut gimbal itu tak segan memukul lengan cowok di sampingnya. "Gue nggak mau kalau sampai ada korban nyawa lagi setelah ini."
"Lo mau nggak ada korban nyawa lagi?" Cowok tadi mengangguk. "Mustahil! Kalau nggak mau ada yang meregang nyawa setidaknya jangan lewat jalur kekerasan kayak gini. Berbahaya bukan cuma buat kita, tapi orang sekitar!"
"Mau gimana lagi? Gue nggak bisa biarin kalau kejadian itu terulang kembali, terlebih setiap tahun kita selalu merayakan hari ini penuh dengan kebahagiaan bukan penderitaan. Bukan hanya kita yang sedih, tapi dia juga bakalan sedih lihat kita musuhan kayak gini."
"WOY?! CANCEL BENTAR, MAU SHALAT MAGRIB DULU BROTHER!" teriak cowok di seberang yang sudah sangat familiar yaitu suara Semesta. Setidaknya jika ia bukan berasal dari agama Islam, ia akan selalu menasehati semua temannya dan mengingatkan akan kewajibannya.
"SIAPA TAU BESOK ATAU NANTI ATAU SEKARANG KITA DI PANGGIL BRO! BURUAN SHALAT BAGI YANG ISLAM! YANG ATHEIS SERAH!"
"Anjir! Lo masih aja alim di saat mau berbuat dosa," ketus Ferdi. Cowok itu saat ini bingung kenapa Abram tidak diberitahu akan ada kejadian fenomenal ini. "Abram kenapa nggak lo kasih tau?"
Semesta mendesis pelan. "Dia nggak ada sangkut pautnya sama kejadian dan juga hal ini. Lagian dia baru gabung sama kita belum ada satu tahun." Lalu cowok itu mengambil sesuatu dari balik jaketnya. "Makan dulu biar ada tenaga," tukasnya.
"Ye! Malah makan lo!" Ferdi mendorong bahu Semesta jengkel. "Masih sempet gitu."
"Biar nggak letoy amat," ngelesnya di akhiri cekikikan tidak jelas.
"Kok orang itu belum datang juga, ya?" Juju bertanya pada Semesta yang masih asik makan camilannya itu. "Bukannya dia yang paling dekat sama alm. Gani? Kok, bisa nggak datang?" komentarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Cinta Oline Melandrino (END)
Jugendliteratur"Satu hal yang pasti, lo masa depan dan dia masa lalu." Oline tersenyum menatap Abram. "Gue suka sama lo." *** Oline Melandrino atau yang kerap dipanggil dengan Oo atau ogeb. Anak ketiga dari empat bersaudara, dimana ia paling cantik. Pecinta bebera...