52. Hukuman

9 8 0
                                    

"Sudah selayaknya orang yang bersalah harus di hukum sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan." - Oline Melandrino.

***

Terhitung sudah lima hari Oline tak lagi muncul di hadapan Loren maupun orang lain. Hanya duduk termenung di dalam kamarnya dan tak ada sesuatu yang bisa menarik perhatiannya. Bahkan, Abram tak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa menunggu Oline untuk sadar dan mau bertemu dengan orang lain lagi.

"Please, gue mohon buka pintunya," pinta Abram dengan terus mengetuk pintu kamar Oline.

Bukan hanya lima hari Oline tidak keluar kamar, tapi gadis itu juga sama halnya tak mau makan dan minum, bahkan entah bagaimana keadaannya saat ini. Mereka semua khawatir dengan apa yang terjadi dirinya nanti.

Abram frustasi menghadapi sikap sang pacar terlebih fokus sekolahnya yang sedikit terganggu dan juga tuntutan dari kakeknya yang ingin ia segera bertunangan dengan Mila.

"Buka pintunya!" Abram kembali menggedor pintu kamar Oline. "Lo harus kuat! Walaupun gue nggak bakalan ada disisi lo untuk selamanya!"

"Gue nggak tau bisa sampai kapan kayak gini," ucap Abram parau. "Gue janji sama lo, kalau lo buka pintunya gue bakalan beliin lo boneka es krim babi!"

"Nggak usah gila," sinis Zio yang masih duduk dengan membaca buku. "Kalau mati malah nggak repot ngurusin."

Loren membulatkan matanya tidak percaya. "Bercanda," sambung Zio yang merasa tatapan kakaknya begitu tajam.

Loren adalah kakak yang paling dekat dengan Oline dan tau semua tentang adiknya itu. "Lo harus bisa move on."

"OGEB? BUKA PINTUNYA!" Semesta ikut kesal dengan tingkah sepupunya yang begitu membuatnya gila saat ini. Bagaimana tidak? Semesta harus bisa menahan kekesalannya karena Oline tak ingin berbicara dengan siapapun. "LO NYIKSA GUE OGEB! KESEL GUE!"

Mereka terus menyerukan berbagai perkataan yang membuat Oline di dalam sana tidak tau menanggapinya atau malah sibuk dengan dunianya sendiri.

"Biarin aja dia tenang dulu," saran Zio.

"Udah lima hari dia nggak keluar kamar, pasti dia laper."

Zio tersenyum kecut, "Dia nggak sebego itu kali."

Abram mengusap wajahnya kasar dan berulang kali gelisah. "Gimana kalau dia tau gue bentar lagi mau tunangan? Gimana perasaan dia kalau tau gue bakal ninggalin dia? Gue udah janji nggak bakalan ninggalin dia," rancau Abram dengan pilu.

Semesta menepuk pundak Abram untuk menguatkan sahabatnya ini. "Lo pasti hancur," ujarnya.

"Mana mungkin gue bisa ninggalin dia disaat lagi terpuruk? Lo tau sendiri gimana perjuangan gue selama ini buat bisa dekat sama dia! Gue sampai rela ngelawan kakek gue demi bisa sama dia. Sampai akhirnya kakek gue nekat mau nunangin gue sama Mila!"

"Lagian belum tentu juga lo sama ogeb bisa bersama selamanya," ujar Semesta yang langsung mendapatkan tatapan musuh dari Abram. "Bercanda," ujar Semesta yang bergidik ngeri dengan tatapan itu.

"Gue heran, kenapa Samyang bisa marah banget sama Rendy? Gue bingung siapa Rafi? Kenapa dia nggak pernah cerita sama gue?" Abram melontarkan berbagai pertanyaan yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. "Senin besok dia udah penenangan buat ujian, tapi latihan ujian aja dia nggak ikut. Mana gue harus praktek materi jenazah bareng sama dia ujian!"

Cerita Cinta Oline Melandrino (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang