14. Se-frekuensi

21 23 1
                                    

Malam ini Oo sudah bersiap-siap untuk pergi ikut bersama Loren untuk menonton balapan. Tentunya dengan cara halus mereka izin untuk pergi ke pasar malam. Memang keduanya ini sangat cocok satu sama lain jika urusan berbohong.

"Pasar malam!" tegas Oo kepada kakaknya itu. Tidak henti-hentinya ia mengingatkan kakaknya untuk mengatakan pasar malam. Karena kalau salah sebut hancur sudah harapannya untuk keluar rumah.

"Kalau ketahuan gimana?" Loren merasa waspada pada kondisi sekitarnya. Tidak ingin gegabah hanya karena permintaan adiknya ini.

Tujuan Oo mengajak Loren adalah agar ia tidak perlu di jemput oleh Abram. Firasatnya menunjukkan kalau cowok itu hanya ingin modus pada dirinya.

Langkah kaki mereka terhenti ketika melihat sepasang kaki di depannya. "B-bunda?" ucap Oo lirih sambil cengar-cengir.

"Mau kemana malam begini?" tanyanya dengan sudah berkacak pinggang. Tentunya sedang membawa botol air untuk persediaan dikamarnya.

"Mau lihat pasar malam," jawab Oo. Dalam hatinya sudah tidak tahan lagi untuk menangis jika gagal keluar.

"Besok lagi udah malam ini," larang bundanya.

"Besok udah habis Bun," adunya.

"Bulan depan."

"Emangnya ada lagi Bun? Dimana? Kapan?" cerocosnya tanpa henti. "Kasih tau Bun." serunya tanpa henti.

Bundanya memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing menyerangnya. Menghadapi kedua anaknya ini membuat darahnya mendidih.

"Terserah kalian! Bunda mau tidur pusing," ujar Agatha lalu berjalan menaiki satu persatu anak tangga. "Jangan kelamaan. Nanti, Abang kalian pulang bisa di hukum kalian."

"Bang Ian bakalan pulang malam ini?" tanya Loren tidak percaya atau belum yakin.

"Iya. Kalau nggak malam ini mungkin besok pagi baru dateng," terang Agatha sebelum menghilang dibalik pintu kamarnya.

Oo menyenggol lengan kakaknya. "Kak Ian pulang kita terkekang!"

***

Suara deru motor saling saut bersautan mengisi kosongnya jalanan. Teriakan, tawa, maupun lelucon tak jarang terlontar di tempat itu. Beberapa kendaraan sudah berbaris rapi serta dengan penggunanya. Tidak hanya pria tetapi wanita juga ada di tempat itu.

Oo dan Loren yang baru sampai bingung harus kemana. Karena mereka tertinggal rombongan sebab hambatan di rumah tadi.

Sorot mata mereka menyapu keadaan sekitar dan tidak juga menemukan sosok kehadiran orang yang mereka tunggu.

"Mau kemana bang?" tanya Oo lirih. Ketika, ia mencari sekeliling tidak juga menemukan keberadaan temannya.

"Kuburan aja kuy?" ajaknya.

"Ngapain? Mendingan juga ngepet bang! Dapet duit lumayan."  Oo mengampaikan idenya yang paling gabut pada abangnya ini. Idenya ini dinilai sangat bagus dan tidak ada duanya di muka bumi ini. "Lo yang keliling gue yang jagain lilin, gimana?"

"Ogah!" tolaknya mentah-mentah. "Open BO aja gimana?"

"Haram bang!"

"Tau haram juga lo?" Loren terkekeh melihat ekspresi adiknya itu.

"Ngeremehin gue lo?" nyolotnya. Entah, kenapa jika mereka berdua sudah se-frekuensi maka bahasannya aneh-aneh. "Kalau mau open BO lo aja bang, gimana?"

"Numbalin Abang sendiri lo?"

"Matanya biasa aja. Nanti, copot gue ganti pakai mata babi gimana? Biar gemoy!" Oo terkekeh geli. Abangnya ini sungguh membuatnya ingin tertawa lepas, tapi ia sadar dimana tempatnya saya ini.

Cerita Cinta Oline Melandrino (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang