Bogor, 25 Desember 2005
"Satu."
"Dua."
"Tiga."Anak laki-laki kecil itu melepaskan tempelan tangannya pada batang pohon cemara. "Udah dapet tempat persembunyiannya belum?"
"Udah!" sahut adik bocah itu.
"Oke. Kak Angkasa cari kamu sekarang ya!" ujar Angkasa dengan semangat. Anak itu memandang seluruh penjuru tempat itu untuk mencari adik kecilnya yang ia ajak bermain petak umpet. Fokus pencariannya terhenti pada satu titik. Pohon Cemara diujung selatan kebun itu. Ia dapat melihat tangan adiknya dari tempatnya berdiri sekarang. Angkasa tersenyum tipis. Ia segera melangkahkan kakinya menuju pohon itu untuk menangkap adiknya.
Sementara di sudut lain, tampak adik Angkasa, Langit, yang sedang bersembunyi dibalik batang pohon Cemara. Ia melirik Angkasa sekilas, kemudian menghembuskan napas lega. Bocah laki-laki itu mengelus dadanya perlahan. "Semoga Kak Angkasa enggak ngelihat aku ada di sini sekarang."
Angkasa berjalan mengendap-endap mendekati tubuh adiknya. "Satu ... Dua ... Tiga ..."
"DUARRR!"
"HUWA!"
Angkasa tertawa puas melihat ekspresi adeknya yang menampakkan sebuah keterkejutan. Ia mengacak-acak rambut adik kecilnya itu. "Ternyata kamu di sini."
Adik Angkasa mendirikan tubuhnya sejajar menghadap Angkasa. Bocah itu melipat kedua tangannya didepan dada seraya menatap kesal wajah Angkasa. "Kakak curang! Pokoknya Kak Angkasa harus jaga lagi!"
Angkasa tertawa ringan. "Iya, nanti Kak Angkasa yang jaga kalau kita main petak umpet lagi." Angkasa melirik sekilas rumah tua di seberang kebun kemudian menatap adiknya lagi. "Sekarang kita kembali ke rumah Kakek dulu, ya? Papah sama Mamah pasti udah nungguin kita."
Adik Angkasa mengangguk patuh. "Iya, Kak."
Angkasa dan Langit berjalan beriringan menuju rumah Hendra Semesta, ayah Halim Semesta, yang juga merupakan kakek kedua anak kecil tersebut.
Sesampainya di pekarangan rumah Hendra, Langit pun segera berlari untuk menghampiri Hanna, ibundanya yang tengah duduk di atas kursi teras dan berbincang riang dengan Hendra dan juga Halim. Langit langsung memeluk erat tubuh Hanna. Seperti tak berjumpa sekian lama. Maklum, anak berusia dua tahun itu sangat dekat dengan Hanna.
"Mamah."
"Iya, kenapa sayang?" Hanna membalas pelukan Langit sebelum kemudian melepaskannya dan menatap sedikit lebih lama wajah Langit.
"Kamu sama Kak Angkasa udah selesai mainnya?"
Langit mengangguk. "Udah."
Hanna tersenyum tipis, ia mengusap perlahan pipi tembam Langit. "Kalau sudah, sekarang kamu sama kakak kamu pamitan sama Kakek, ya."
"Pamitan? Emangnya kita mau kemana, Mah?" tanya Angkasa yang sedari tadi telah berdiri di tempat itu.
Pandangan Hanna beralih menatap Angkasa. "Kita mau pulang sekarang."
"Yahhh. Nggak jadi nginep?"
Hanna menggeleng. "Enggak sayang. Soalnya besok Papah ada pertemuan sama orang penting yang nggak bisa ditunda."
Menyadari perubahan raut wajah putra sulungnya, Hanna pun segera berjalan mendekat menghampiri Angkasa. Ia memposisikan tubuhnya agar sejajar dengan Angkasa. Hanna mengelus perlahan surai legam milik Angkasa. "Maaf, ya, Nak."
"Tapi, Papah sama Mamah janji, setelah urusan Papah kamu selesai, kita akan liburan di sini yang lamaaa."
Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Hanna seketika berhasil membuat binar keceriaan dari wajah Yuda terpancar lagi. Kini, anak itu membulatkan kedua matanya, menatap antusias Hanna.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SCC: 1] AYUDNA (Antara Yuda dan Yuna)
Novela Juvenil[SERIES CAHAYA CENDEKIA: 1] TW // Family issues CW // Containing any harsh word So, please be wise on yourself! 🙏🏻 Angkasa Prayuda Nakula, atau biasa dipanggil Yuda. Seorang murid baru pindahan dari SMA Insan Cendekia. Pendiam, tajam, namun meni...