"Dasar anak tak berguna! Bahkan tugas sekolah yang mudah sekalipun kau tak bisa mengerjakannya? Lihat, berapa nilaimu!" Halim membanting tumpukan kertas tugas bernama Angkasa Prayuda Nakula tepat di depan wajah Angkasa. Napasnya menderu. Tatapan tajam ia lontarkan pada Angkasa, sang putra pertama. Sedikitpun toleransi tak ia berikan pada anaknya yang baru menginjak kelas dua sekolah dasar.
"M-maaf, Papah." Angkasa membungkuk. Ia memunguti lembaran putih penuh coretan merah di atasnya. Teriakan Halim berhasil membuat sekujur tubuhnya bergetar hebat. Dengan gerak tertatih-tatih, ia berusaha berdiri tuk menatap Halim kembali.
Melihat wajah Sang Ayah yang kian memerah, sontak, ia menundukkan kepalanya kembali. Tak berani memandang wajah Halim. Pijatan ringan ia salurkan pada masing-masing telapak tangan 'tuk menetralisir rasa gugupnya.
Halim menyadari ketakutan pada wajah samg putra. Namun, hal tersebut tak berhasil menyurutkan emosinya. Kini pria itu justru melemparkan telunjuk tepat pada kepala Angkasa. "Seharusnya kau mati saja pada kecelakaan saat itu!"
"Seharusnya Tuhan memilih untuk menyelamatkan istriku daripada anak tak berguna sepertimu!'
"Dasar anak tak berguna. Pembawa sial."
Umpatan demi umpatan Halim lontarkan pada Angkasa. Ia seperti melupakan sebuah fakta bahwa Angkasa masih buah hatinya. Harta berharga yang harus ia jaga dan kasihi dengan sepenuh hati.
Kekasaran Halim pada Angkasa sebenarnya tak hanya berlangsung pada saat itu. Namun, sudah sejak lama.
Kecelakaan tujuh tahun yang lalu, kematian Hanna dan Langit, merupakan pemicu terbesar amarah Halim.
Alih-alih menerima takdir dan mengikhlaskan kepergian Hanna serta Langit, Halim justru menjadikan Angkasa sebagai tempat pelampiasan amarahnya. Entah apa yang ada di dalam pikiran pria tersebut hingga selalu mengungkit-ungkit peristiwa menyakitkan tersebut ketika Angkasa berbuat kesalahan.
Halim merasa bahwa semua nasib buruk yang menimpanya disebabkan oleh Angkasa. Ia lupa, jika semua itu karena adanya takdir yang diciptakan oleh Sang Kuasa.
Amarah Halim baru mereda ketika ia menerima panggilan telepon dari rekan bisnisnya. Saat itu pula, ia langsung pergi meninggalkan rumah untuk melakukan pekerjaannya.
Menyadari Halim telah pergi, Angkasa segera berlari sekencang mungkin menuju kamar Bi Minah. Salah satu maid di rumah itu.
Angkasa menggedor-gedor pintu kamar Bi Minah. "Bi-bibi...." panggil Angkasa seraya menyeka air mata yang membasahi pipi.
Bi Minah segera keluar tatkala Angkasa memanggil namanya. Melihat sang tuan muda yang menangis, Bi Minah langsung mendekapkan Angkasa ke dalam pelukannya. Ia menepuk-nepuk punggung Angkasa. Menenangkan bocah tersebut. Meyakinkan Angkasa apabila semuanya akan segera membaik. Delapan tahun bekerja sebagai pengasuh Angkasa membuat Bi Minah dapat menyayangi anak itu bak anaknya sendiri. Dan dari Bi Minah pula, Angkasa dapat merasakan kasih sayang seorang ibu, walaupun secara tak langsung.
✨✨✨
"Kemasi semua barang-barang anak itu. Pastikan ia meninggalkan rumah ini setelah hujan reda. Aku tak mau melihat wajahnya lagi," titah Halim pada gerombolan maid yang ada di rumahnya.
Tingkah laku Halim membuat para maid yang bekerja di rumah megah itu kebingungan. Mereka tampak tak habis pikir dengan perilaku Halim yang tega mengusir Angkasa, putranya sendiri. Namun, tak banyak hal yang dapat mereka lakukan selain menuruti perintah Halim. Mengemasi barang-barang milik Angkasa, dan menaruhnya di ruang tamu.
Sementara di sisi luar rumah megah itu, Angkasa baru saja memarkirkan sepeda miliknya pada garasi rumah. Remaja berusia enam belas tahun itu memasuki rumah dengan kondisi basah kuyup. Seragam OSIS SMP yang ia kenakan tampak kusut karena ia terpaksa menerjang hujan untuk pulang ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SCC: 1] AYUDNA (Antara Yuda dan Yuna)
Teen Fiction[SERIES CAHAYA CENDEKIA: 1] TW // Family issues CW // Containing any harsh word So, please be wise on yourself! 🙏🏻 Angkasa Prayuda Nakula, atau biasa dipanggil Yuda. Seorang murid baru pindahan dari SMA Insan Cendekia. Pendiam, tajam, namun meni...