Bonus chapter || - Prequel (1) -

957 58 0
                                    

1997

"Berani-beraninya kamu melamar anak saya!"

"Apakah kamu tak sadar, siapa kamu sebenarnya?"

"Apakah perlu saya katakan dengan jelas bahwa kamu hanyalah seorang laki-laki biasa yang tak akan pernah pantas bersanding dengan putri saya?"

Sorot netra Arya menatap tajam Halim yang tengah duduk di atas sofa ruang tamu mansion Aldevara. Napasnya menderu. Seluruh ucapannya berhasil membuat atmosfer mansion megah di sore hari tahun sembilan tujuh semakin memanas.

Arya menggelengkan kepalanya. "Jangankan melamar, jatuh cinta dengan Hanna pun, kamu sudah tak pantas."

"Kamu dan Hanna tak akan pernah bisa bersatu. Seharusnya kamu menyadari hal itu."

Hinaan yang dilontarkan oleh Arya seketika berhasil membuat Halim mengeratkan jari-jemarinya. Ingin sekali rasanya ia berdiri dan menjawab ucapan Arya yang sukses mempermalukan dirinya tepat dihadapan Hanna.

Namun kenyataannya, laki-laki itu memilih bungkam. Mulutnya seolah tak bisa berucap. Semua rentetan kalimat yang dikatakan Arya, memang benar adanya. Ia tak pernah bisa bersatu dengan Hanna, perempuan yang ia cintai.

Namun sepertinya, kebungkaman Halim justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Tampak Arya yang semakin menatap tajam wajah Halim dengan seutas senyuman miring, seolah meremehkan Halim.

Arya menatap Hanna yang duduk di samping Halim. "Kamu lihat Hanna, bagaimana laki-laki miskin yang kau cintai ini tak mampu menjawab perkataan Papah?"

"Pah!" Hanna berdiri. Hendak menjawab ucapan Arya. Hingga ia merasakan tepukan tangan Halim di punggung tangannya. Membuat Hanna seketika mengurungkan tindakannya dan duduk kembali.

Halim berdiri. Ia membalas tatapan Arya. "Terima kasih atas tolakan manis yang berujung pada penghinaannya, Tuan."

"Respon Tuan terhadap lamaran ini, tepat seperti yang saya bayangkan."

"Saya sadar bahwa saya hanyalah orang miskin yang memiliki kehidupan yang amat jauh berbeda dengan Tuan."

"Namun, setidaknya saya hanyalah orang yang tidak memiliki banyak harta. Saya masih cukup punya hati nurani untuk tidak merendahkan orang lain yang kehidupannya ada di bawah saya."

"Oleh karena itu, saya akan tetap memperjuangkan cinta saya pada Hanna."

Ucapan Halim seketika membuat urat-urat syaraf yang ada pada kepala Arya menonjol dengan jelas. Emosinya yang sempat teredam sesaat, kini membuncah kembali.

"Kau—"

"Beri saya waktu, Tuan." Halim memotong ucapan Arya.

"Beri saya waktu untuk memantaskan diri agar dapat bersanding dengan putri kesayangan Tuan."

"Kelak dua atau tiga tahun lagi, Tuan tak akan menemui saya dengan kondisi yang sama seperti saat ini."

Halim memalingkan wajahnya pada Hanna. Ia membungkukkan badannya. Perlahan merengkuh telapak tangan milik Hanna.

"Dan untukmu Hanna, tetaplah jaga cinta suci kita berdua."

"Tolong jangan pernah berpaling dariku selagi aku sibuk memantaskan diri untuk bersanding denganmu."

"Tunggulah aku hadir kembali, dengan kabar terindah yang 'kan kubawa nanti."

Perlahan-lahan, Hanna menganggukkan kepalanya. Menerima permintaan Halim untuk terus ada di sini dan menunggu hadirnya laki-laki tersebut kembali.

✨✨✨

2000

Tiga tahun telah berlalu. Semenjak kepergian Halim, tak terhitung sudah berapa banyak laki-laki yang telah datang menghadap Arya 'tuk melamar Hanna. Hampir semua dari mereka berasal dari strata yang sama dengan Hanna. Mulai dari pria yang telah menjadi CEO di perusahaannya sendiri, hingga anak pejabat tinggi negri. Namun, semua lamaran itu ditolak. Dalam hati kecil Hanna, hanya ada Halim. Hanna masih setia menunggu hadirnya Halim dengan kabar indah yang Halim janjikan padanya.

Dan di sinilah Hanna berada saat ini. Taman bunga yang terletak di atas. Duduk mengamati jalanan depan mansion. Berharap Halim datang ke sini kembali. Hanna selalu melakukan hal itu setiap sore hari, setiap usai kuliah.

Hari ini ia melihat sebuah sedan hitam yang tengah melaju memasuki pekarangan mansion. Hanna sudah dapat menebak, bahwa dalam sedan tersebut adalah orang penting yang ingin bertemu dengan Arya.

Melihat putri kesayangannya yang tengah melakukan kebiasaan rutinnya tersebut, Arya pun hanya bisa menghela napas. Berkali-kali ia meyakinkan Hanna untuk melupakan Halim dan menerima salah satu lamaran pria yang datang ke rumah. Namun, tetap saja tak bisa. Cinta Hanna pada Halim terlalu kuat.

Arya berjalan menghampiri Hanna. "Nak."

Mendengar namanya dipanggil, Hanna pun segera memalingkan tubuhnya menatap Arya. "Ya, Pah?"

"Ada yang ingin bertemu denganmu di lantai bawah."

"Siapa?"

"Papah tidak tahu siapa dia. Saat ayah sedang menyelesaikan pekerjaan kantor di ruang kerja Papah, salah seorang maid masuk dan mengatakan ada seorang CEO muda yang ingin menemuimu. Sehingga Papah langsung datang kemari untuk memanggilmu."

"Apakah laki-laki yang ingin melamar Hanna lagi ayah? Jika iya, tolong katakan bahwa Hanna menolak lamarannya. Hanna tidak tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun kecuali dengan Kak Halim."

"Setidaknya temui dia. Tunjukkan sikap baik yang mencerminkan citra keluarga Aldevara, Hanna."

Hanna menghela napas pasrah. Tak lama kemudian ia mengangguk.

"Baiklah," ujarnya seraya beranjak pergi. Menghampiri laki-laki yang ingin menemuinya. Disusul oleh Arya yang berjalan di belakangnya.

Hanna berjalan ke arah ruang tamu mansion megah yang ia tempati tanpa berniat merubah penampilan. Masih sama seperti tadi. Toh, ia hanya akan menolak lamaran laki-laki yang datang menghampirinya. Pikir Hanna kala itu.

Akan tetapi, langkah Hanna tiba-tiba terhenti saat ia menyadari siapa yang tengah duduk di sofa ruang tamu saat ini. Kedua bola matanya membulat, tampak masih tak mempercayai siapa yang dia lihat. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, membuat desiran darah terasa lebih hangat. Ia dapat merasakan hati yang tengah bereuforia saat ini. Seluruh penantian Hanna, akhirnya berbalas.

"Kak Halim?" Hanna menatap ragu laki-laki yang ada di hadapannya. Penampilan Halim saat ini tampak sangat berbeda dengan Halim yang ia kenal tiga tahun yang lalu. Tak ada lagi Halim yang hanya mengenakan setelan kemeja polos dan sandal jepit. Kini, ia dapat melihat Halim dengan setelan jas kantor dan sepatu berwarna hitam klimis.

"Apakah kamu masih menungguku, sayang?" tanya Halim dengan seutas senyuman tipis.

Hanna menganggukkan kepalanya dengan cepat.  Ia mengambrukkan tubuhnya pada tubuh Halim. Kemudian mengeratkan lingkaran tangannya di perut laki-laki tersebut.

Halim membalas tingkah laku Hanna. Ia memeluk erat tubuh Hanna. Erat, sangat amat erat. Masing-masing insan tersebut tengah menyalurkan kerinduan yang telah terpendam selama tiga tahun lamanya.

Hanna melepaskan pelukan Halim. Kemudian memalingkan tubuhnya menatap Arya yang sedari tadi mengikuti langkahnya.

"Pah, tolong terima lamaran pria ini," ucapnya saat itu.

✨✨✨

Sabtu, 6 Agustus 2022
976 kata

Bonus chapter for my luvly readers!
Btw, ini prequel, ya. Jadi lebih banyak menceritakan adegan sebelum Yuda & Yuna SMA. Walaupun cuman bonus chapter, aku harap kalian tetap membaca part ini dan part-part selanjutnya dengan baik karena penjelasan soal alur cerita AYUDNA akan terungkap lebih jelas di sini!

[SCC: 1] AYUDNA (Antara Yuda dan Yuna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang