Chapter 9 (3)

288 26 0
                                    

Fengjiu terkejut memikirkan cambukan tongkat yang akan mengenai tubuhnya dan putus asa, sebelum ibunya pergi, ia menggunakan keahlian terakhirnya dan menguburkan wajahnya ke dalam selimut untuk berpura-pura menangis.

Tentu saja, kaki itu menghentikan langkah mereka. Fengjiu menangis lebih keras.

Suara itu tanpa ekspresi memberitahunya, "Tidak ada gunanya menangis."

Jika ibunya, Fengjiu pikir, dapat dengan dinginya mengutarakan kalimat itu setelah detik berikutnya ia memanggilnya 'Bos'. Keahlian tidak disebut keahlian hanya untuk pajangan.

Fengjiu hanya mengendus pelan beberapa waktu lalu. Sekarang ia meraung dengan volume penuh, berhenti di saat yang tepat lalu mengikuti naskahnya.

Orang lainnya menghela napas, "Tidak peduli seberapa keras kau menangis, aku tidak ...."

Fengjiu langsung berteriak lebih berapi-api, memberikan bahkan dirinya sendiri sakit kepala dan tidak dapat mendengarkan kata terakhir yang diucapkan.

Ibunya tidak pergi atau mengatakan apa pun. Fengjiu melanjutkan satu ronde lagi dan ibunya tampaknya masih belum juga termakan rayuannya.

Selagi asik dengan kecemasannnya, Fengjiu tersedak air matanya dan mulai terbatuk parah. Tetapi akhirnya ia berhasil memancing ibunya untuk menghampiri dan menepuk punggungnya.

Setelah menangis kencang, air mata dan ingus mulai bercampur tidak nyaman. Fengjiu menggapai sesuatu yang mirip dengan lengan jubah, ingin mengelap wajahnya.

Dalam kesadarannya yang samar, tangan seseorang menaikkan wajah Fengjiu dan membantunya mengusap air matanya.

Tangan itu terasa dingin, tanpa sadar Fengjiu membuang muka dan menangis kecewa: "Tinggalkan Feng'er sendirian. Biarkan saja aku menangis sampai mati ...."

Tetapi, orang itu mulai menunjukkan kesabaran besar sekarang, memegangi tangannya dan menghibur Fengjiu: "Baik-baiklah."

Dua kata itu terdengar sedikit familier bagi Fengjiu. Mereka begitu lembut, jadi Fengjiu menghentikan luapan amarahnya dan menjulurkan wajahnya untuk memperbolehkan orang itu mengusap air matanya.

Walaupun ibunya bertingkah berbeda dari biasanya, mungkin ia akan membiarkan insiden tenggelam sekarang.

Pheww.

Di saat bersamaan, suara yang terdengar lembut barusan berubah normal dalam sekejap: "Aku agak penasaran. Tepatnya, seberapa kencang kau dapat menangis? Atau mungkin, sakitmu hanya menghalangimu untuk menunjukkan yang terbaik?"

Percuma saja tangisan Fengjiu. Ia mengelap air mata bodoh itu dan berpindah menjauh ke sudut ranjang.

"Ibu, kau tidak menyayangiku lagi. Tinggalkan aku untuk mati membetku sendiri, tinggalkan aku untuk menangis sampai mati, atau jika aku bisa sembuh, pukuli saja aku sampai mati!"

Sebuah tangan menarik Fengjiu ke bawah selimut dan membungkusnya seperti kepompong.

"Aku rasa aku tidak tertarik untuk mengikat dan memukulimu."

Dalam pikirannya, Fengjiu ragu kalau itu benar. Kenapa ibunya jadi berhati dingin belakangan ini? Tidak mungkin Fengjiu bisa lari dari pukulan kali ini. Setelah Fengjiu sembuh, jalan terbaik adalah melarikan diri ke kebun buah persik Zheyan.

Kalau begitu, Fengjiu harus membujuk burung milik paman keempat, Bifang agar mau membawanya.

(T/N : 畢方鳥 Bifang niao–seekor burung yang menyerupai bangau berkaki satu, punya tanda merah di bulu birunya, dan sebuah paruh putih. Seperti tercatat dalam 韓非子 Hanfeizi, itu merupakan seekor burung ajaib yang menemani kereta kuda Raja Kuning ketika ia berkelana untuk mengumpulkan para dewa dan iblis di Gunung Tai.)

Three Lives Three Worlds, The Pillow Book [Terjemahan Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang