Chapter 11 (9)

299 31 0
                                    

Betapa baiknya jika apa yang harus dilakukan Fengjiu adalah membujuk Donghua untuk membiarkannya memiliki buah itu. Tetapi ini tidak terjadi tiga ratus tahun yang lalu, tiga ratus tahun kemudian, masih juga menjadi angan-angan. Fengjiu tidak dapat menahan kesedihannya dengan mimpi yang sia-sia itu.

Fengjiu menarik napas dalam dan menatap langit malam yang penuh dengan marabahaya. Kemudian, ia memejamkan matanya dan mentransfer seluruh energi abadinya menjadi sebuah perisai pelindung.

Fengjiu berangsur menghilang bersamaan dengan energi keabadiannya yang terkuras. Wajahnya semakin pucat saat perisai pelindung berubah dari merah menjadi warna emas yang membutakan mata.

Cahaya emas menembak ke arah Mata Air Jieyou. Tanahnya langsung berguncang, gunung-gunung bergetar, angin melolong layaknya tangisan iblis.

Empat ular piton melompat keluar dari pilar batu. Mulut mereka terbuka selebarnya seraya mengembuskan napas beracunnya. Taring tajam yang panjang menusuk ke cahaya emas.

Kilatan cahaya itu menahan serangan ular piton dan terus melaju mendekati Mata Air Jieyou. Keempat ular itu melotot marah. Mereka mendesis ke langit, api dan petir keluar dari mulut semerah darah mereka.

Secara bergelombang, mereka menembaki cahaya keemasan itu. Kecepatan cahaya emas itu perlahan melambat, tetapi masih terus menangkis, masih terus berlari menuju pohon Saha.

Saat cahaya itu mencapai pohon, cahaya itu langsung tersembunyi di dalam kanopi tebal pohon. Takut mereka akan melukai pohon suci itu, serangan piton-piton berkurang, mereka hanya mampu menunggu diluar sambil menggeleparkan ekor mereka dengan marah, memutar balikkan air di dalam mata air itu.

Bibir Fengjiu memucat; ia mengelap keringat dingin dari pelipisnya kemudian gemetaran memetik buah itu dari pohonnya.

Piton-piton yang marah besar menyerang si pencuri. Fengjiu buru-buru mendekatkan diri dengan pohon untuk menghindari taring mereka. Perisai pelindungnya mulai retak di bawah serangan gencar mereka.

Mereka lebih mengancam daripada yang dibayangkan Fengjiu. Akan sulit baginya untuk berbalik pergi. Meskipun api dan petir dari mulut piton itu hanya menumbuk perisainya, tubuh Fengjiu tetap tidak dapat lepas dari kerusakan. Tidak ada luka, namun tulang dan sendinya sakit semuanya.

Fengjiu tidak pernah menduga bahwa rasa sakit seperti ini dapat terjadi. Sekarang karena ia telah mendapatkan buah Saha, para ular piton itu mendesis dengan amarah yang memuncak.

Mereka menyerang lebih ganas ketika Fengjiu berbalik. Saat awan hitam tiba, guntur dan petir menyerang langsung ke atas perisai pelindungnya. Tubuh Fengjiu mengalami rasa sakit yang tajam saat ia merasakan perisainya retak di sekitarnya.

Tubuhnya terasa sakit seolah disayat pedang; kaki Fengjiu mulai melambat. Perisainya berubah warna dari keemasn menjadi merah kemudian secara pasti melemah menjadi cahaya perak.

Sepuluh langkah lagi dan Fengjiu akan keluar dari wilayah piton-piton itu. Tiba-tiba saja Fengjiu mendengar sebuah ledakan keras—perisai pelindungnya telah hancur berkeping-keping.

Fengjiu melihat ke atas dengan ketakutan. Sebuah cahaya petir mengincar kepalanya dari atas. Bersembunyi di belakang petir itu merupakan mata memerah si piton yang mirip dengan dua bola api membara.

Taring tajam beracun menyerang Fengjiu. Ia pun menghindarinya secara naluriah. Taring itu hanya menyerempet lengan jubahnya tetapi Fengjiu terpental sepuluh meter ke belakang akibat kekuatan anginnya.

Dari kejauhan, sebuah bola api besar sekarang keluar dari mulut ular piton, berbelok ke arah Fengjiu. Seluruh penempaan dirinya selama 30.000 tahun telah habis sekarang; apa yang dimiliki ia sekarang tidak akan mampu menahan serangan.

Three Lives Three Worlds, The Pillow Book [Terjemahan Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang