47.

243 34 11
                                    

Husein mengendarai motor kesayangannya, Jaker. Ditemani dengan angin malam yang saat itu berhembus dengan damai menerobos helmnya dan berhasil menyiram seluk beluk wajahnya yang sedari tadi masih memerah karena amarah. Ia memilih pergi usai melakukan pertengkaran dengan Papa nya sendiri.

Saat ini waktu sudah benar-benar menunjukkan tengah malam, pukul 00.05. Husein masih saja berada di jalanan yang bahkan sudah sepi, jarang orang lewat. Perasaannya sedang kacau, amarahnya tak tersalurkan dengan sempurna, nafasnya masih terburu-buru, namun air matanya masih saja gengsi untuk turun.

Ia tak mendapatkan sosok penenang, akalnya bingung mencari siapa, tatapannya kosong seperti manusia mati, tangannya menggenggam stir dengan erat, ia menggigit bibir bawahnya hingga tak sadar jika ia melukai dirinya.

Pada akhirnya, ia memberhentikan motornya tepat di pinggir jalan sepi yang tak jauh dari halte dekat kos-kosan nya. Menunduk sejenak dengan helm yang masih terpasang di kepala nya, mengatur nafas dan menatap kedua telapak tangannya yang sudah berwarna merah pekat akibat dari genggamannya pada stir motor yang sangat erat.

Saat dirasa nafasnya sudah teratur, ia mengubah arah putar balik untuk menuju kembali ke kos-kosannya tepat pada pukul 02.00 dini hari. Lingkungan kos-kosannya masih terlihat ramai dengan para bujangan kuliah yang sedang menongkrong bermain karambol. Husein mematikan mesin motornya, membuka helm dan tak lupa menyapa segerombol lelaki anak kuliahan yang sedang asyik bermain.

"Pagi amat balik lu, kaga sekolah besok?" Tanya salah satu dari segerombolan itu.

"Lembur bang biasalah, gue ke atas duluan ya!" Jawab Husein dengan ramah.

Husein pergi meninggalkan segerombolan tersebut usai menyapanya, menaiki anak tangga menuju ke kamarnya yang berada di ujung koridor. Membuka pintu kamar, melemparkan semua barang-barang yang dibawanya ke sembarang arah. Duduk bersandar di kasur sambil merogoh tas nya untuk mengambil sesuatu, dikeluarkannya sebungkus rokok dan korek api dari dalam tasnya.

Malam itu, rokok menjadi sosok penenangnya yang paling ampuh. Menghisap dengan tatapan kosong yang mengarah ke televisi yang dihidupkannya, pikirannya tak henti untuk terus membicarakan kejadian tadi, sampai tak sadar jika rokok satu bungkus itu hampir habis di hisapnya. Pukul 05.00 ia mulai tertidur di ranjangnya dengan posisi tengkurap, hari itu ia tak kepikiran perihal sekolah.

###

Adin berjalan menuju kelas dengan mood pagi yang normal, duduk di bangku membuka buku catatan, dan mengerjakan beberapa soal fisika sambil menunggu sahabatnya datang yang sudah tiga hari tidak masuk. Berulang kali, ia menatap jam di pergelangan tangannya karena merasa heran teman sebangkunya tak kunjung datang.

Terlihat dari kejauhan berjarak beberapa meter hanya muncul Dynan yang datang menghampiri nya dengan membawa beberapa jajanan ciki dari kantin.

"Kok lo sendiri?" Tanya Dynan.

"Kek nya Hunna telat deh, dia udah tiga hari ini izin tanpa keterangan" Jawab Adin lalu kembali mengerjakan soal-soal nya.

Sambil mengunyah jajan, "Lah? gue denger-denger Kak Husein juga udah gak masuk tiga hari" Celetuk Dynan.

Adin mengernyitkan dahi nya seperti kebingungan, tak biasanya Hunna izin tanpa keterangan selama tiga hari. Ia berusaha berpikir positif jika sahabatnya terlambat masuk. Tak lama kemudian, Hunna datang memasuki kelas dengan raut muka sedih tak berekspresi.

Duduk di samping Adin tanpa membuka obrolan, ini tak seperti biasanya. Dynan menyodorkan jajan nya pada Hunna,

"Nih jajan dulu biar ga salah paham" Ucap Dynan dengan sedikit canggung melihat Hunna yang terdiam.

Hunna menggeleng sebagai tanda menolak tawaran jajan dari Dynan, Adin kembali menoleh ke arah Hunna, "Lo gapapa kan? Kok tumben 3 hari ngga masuk tanpa keterangan" Tanya Adin dengan pelan.

"Gue gapapa." Jawab Hunna dengan singkat dan wajah datar seperti sudah kelelahan.

Adin dan Dynan sama-sama mengernyitkan dahi karena bingung dengan tingkah laku Hunna yang berubah menjadi pendiam setelah tiga hari ia dan abangnya menghilang.

Adin juga mulai tumbuh rasa khawatir tak mendapatkan kabar dari kekasihnya, hanya karena gengsi, Adin memilih untuk tidak menanyakan kabar Husein via chat.

Bel istirahat pertama sudah berbunyi sejak jam pelajaran ke 4 sudah selesai, Hunna tetap saja tak mengeluarkan sepatah kata apapun pada teman sebangku nya selama kegiatan belajar mengajar dimulai tadi pagi.

Teman sebangku nya itu terus menatap ke arahnya sambil mengemasi buku mata pelajaran yang ada di atas meja, "Mau ke kantin?" Tanya Adin perlahan.

Hunna menggeleng pelan.

"Gue mau ke perpus, terus ke kantin, lo mau nitip?" Tanya Adin sekali lagi.

Hunna menggeleng untuk yang kedua kalinya.

Adin mengangguk pelan lalu meninggalkan sahabatnya di ruang kelas sendirian, membiarkan sahabatnya memiliki waktu sendiri dan sepi. Berjalan keluar kelas sendiri menuju ke arah perpus untuk memberikan buku tugas fisika kepada Bu Clara.

Tepat berjalan di samping lapangan futsal, ia menoleh sebentar untuk curi-curi pandang mencari siapa lagi kalau bukan kekasih dadakan nya, Husein. Berulang kali ia celingukan dari kejauhan mencari lelaki dengan tinggi 174 cm itu, namun tak nampak juga.

Tak kunjung melihat ada nya sosok Husein, ia melanjutkan perjalanan menuju perpustakaan dengan bibir manyun. Setelah memberikan buku tugas ia berdiri di depan pintu perpustakaan sambil memasang kembali sepatu sekolahnya.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara langkah kaki yang seperti sedang lari terburu-buru, Adin menengok ke arah kanan sumber suara langkah kaki tersebut.

"Adin! Itu! Hunna, di toilet, banyak darah!" Teriak Rea, salah satu teman Adin dan Hunna dari tim Karate.

Mata Adin langsung terbuka lebar terkejut mendengarkan ucapan Rea yang berteriak sambil berlari menghampirinya, membuat guru dan siswa yang ada di dalam perpustakaan ikut keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Adin langsung berlari sekencang mungkin meskipun kaki sebelah kiri nya belum mengenakan sepatu. Sesampainya di depan toilet perempuan, banyak murid-murid bergerombol untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Terlihat Dynan menangis terisak di depan pintu bilik toilet sambil berusaha mendobrak.

Melewati banyaknya kerumunan murid di toilet, Adin berhasil berdiri di depan pintu bilik yang dikunci dari dalam dan matanya kembali terbelalak saat melihat darah mengalir dari bawah pintu bilik.

"HUNNA!" Teriak Adin dengan sangat kencang.

Adin mencoba mendobrak menggunakan lengan atas nya berulang kali, namun tetap tak bisa terbuka. Menyuruh beberapa siswa untuk menghindar, Adin mulai mengambil ancang-ancang untuk menendang pintu nya. Dalam satu kali tendangan yang sudah ia pelajari dari Karate bisa mendobrak pintu bilik, terlihat Hunna tergeletak lemas dan bersandar pada sekat bilik. Tangan kanan nya menggenggam cutter, tangan kirinya mengucurkan darah dan wajahnya yang mulai pucat.

Datanglah Jedden yang sudah berkeringat lalu menyerobot Adin yang hendak menolong Hunna, Jedden merobek kain seragam nya lalu di ikatkan pada nadi kekasihnya agar darah berhenti keluar. Lalu, di bopongnya tubuh Hunna,

"Telpon ambulans goblok!!" Teriak Jedden pada Rea yang berdiri tepat di samping nya.

Jedden keluar dari toilet dan melewati segerombolan siswa yang sibuk menontonnya dengan ekspresi terkejut dan mulut terbuka.

.

.

.

.

.

HAI!! GIMANA HARI KALIAN?

KALI INI AKU BAWAIN PART BARU NIH! HAVE A NICE DAY YA <3

SENIOR ; HAECHAN LEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang