59.

61 7 0
                                    

Malam itu di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Cendekia yang ada di Jakarta Pusat di penuhi dengan beberapa anggota Wolves dan salah satu anggota Locapone, Regi sedang menunggu Levi. Anggota Wolves yang terluka memilih untuk pergi ke basecamp mengobati luka nya sendiri.

Kedua orang tua Levi datang memasuki Unit Gawat Darurat dengan histeris menghampiri Regi yang terduduk dengan tatapan kosong dan kaki yang terus menerus bergetar.

"Abang kau kenapa?!"

"Regi! Jawab Papa!"

Pria bersuku Batak paruh baya itu terus menerus menggoyangkan tubuh anak bungsu laki-laki nya yang tetap diam tak bicara dengan tetesan air mata yang mulai turun.

Dokter keluar lima belas menit dari datangnya Levi ke UGD. Kabar buruk itu benar tersirat langsung dari mulut sang ahli kesehatan, sekitar sepuluh anggota Wolves dan keluarga Levi dibuat lemas sejadi-jadinya.

Husein tak percaya, tubuhnya melemas seketika, matanya memerah, dan tangannya mengepal menahan amarah. Ia mengusap wajah sekaligus mengacak-acak rambutnya dengan kasar.

"Levi, Sen" Ucap Jifran yang menangis berpegangan pada bahu Husein.

Jifran merasakan duka yang sangat dalam usai mendengar jika teman sebangku dan senasib nya itu telah tiada. Rasa perih yang dihasilkan dari beberapa luka yang ada ditubuhnya tak terasa bila dibandingkan dengan rasa duka yang tiba-tiba muncul karena berita kematian sahabat karib nya.

Keluarga Levi diberi izin memasuki ruangan untuk melihat Levi yang sudah tak bernyawa. Tangis Papa nya terdengar paling kencang hingga keluar ruangan, orang yang Levi kira sangat membencinya ternyata ia adalah orang yang menangisnya paling keras saat melihat kematiannya.

Regi tampak tak kuasa hanya memasuki ruangan sekejap lalu keluar menangis didepan pintu ruangan. Bibirnya tak berhenti menggumamkan kata "Maafin Regi, bang". Dari peristiwa ini lah anggota Wolves baru mengetahui jika Levi memiliki adik laki-laki yang bergabung dengan Locapone.

Tanggal 24 Maret tepat pukul tujuh waktu Indonesia barat telah resmi menjadi hari kepergian Levi. Laki-laki berusia delapan belas tahun itu menghembuskan nafas terakhirnya karena kehilangan banyak darah usai mendapat beberapa tikaman dari Shandimas.

Unit Gawat Darurat milik Rumah Sakit Cendekia saat itu penuh dengan tangis, anggota Wolves yang berada di luar ruangan saling menenangkan diri usai mendengar kabar kepergian Levi.

Malam itu juga jenazah Levi dipulangkan ke rumah untuk prosesi pemakaman. Anggota Wolves yang berada di basecamp tanpa pikir panjang langsung menyusul ke kediaman Levi yang ada di daerah perumahan elit Jalan Thamrin.

Terlihat rumah yang berdiri dengan megah dan kokoh itu hanya berisikan empat orang anggota keluarga beserta dua Asisten Rumah Tangga. Jenazah Levi diberikan kepada pihak pengurus Jenazah dari Gereja Katolik tempat keluarganya beribadah.

Rumah megah yang biasa sepi dan hening itu kini berubah menjadi ramai, banyak orang berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa atas kepergian anak dari Jeremi atau biasa disapa dengan Pak Jimmy di lingkungan rumahnya.

Mulai dari proses pemandian jenazah hingga pemakaian jas untuk jenazah Levi yang akan dikebumikan esok pagi karena menunggu saudara dari Medan datang ke Jakarta.

Husein dan anggota Wolves tetap berada di rumah Levi untuk mengantarkan teman dekatnya itu ke peristirahatan terakhir. Husein masih saja diam membisu tak berkata sepatah kata pun,

"Shandimas anjing, gue bakalan balas dendam ke dia!" Ujar Jifran penuh amarah.

Marteen memegang bahu nya, "Udah Ji, emosi lo ke Shandimas malah bikin Levi gak damai"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SENIOR ; HAECHAN LEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang