•• 06 ••

233 20 2
                                    


"Umm.... Ini jelek! Ini biasa aja. Ini... Oke, bungkus! Pass!! Neeexxttt.... Bungkus!"

Moriz menatap kelakuan Syafril. Rasanya, ia menyesal sudah minta tolong pada Kakak sulungnya itu untuk menemani membeli perlengkapan sekolah. Untung saja mereka keluar dengan memakai topi, kacamata hitam dan sebuah masker untuk menutup wajah. Tapi tetap saja, tingkah Syafril menjadi mencolok saat mulai memilih beberapa buah tas untuk kelima adiknya.

Moriz melirik Edwin, Edgar dan Ernesto. Kedua tangan mereka sudah penuh dengan tas belanjaan. Itu belum termasuk dua buah troli berisi beberapa dus buku dan peralatan tulis menulis. Kalau tau begini, lebih baik ia memasrahkan saja membeli semuanya pada Baba dan Papa mereka.

Syafril tak mengajak Moriz ke sembarang toko. Ia mengajaknya ke sebuah butik tas ternama. Setelah selesai memilih, setidaknya selusin tas, Syafril menggandeng Moriz untuk masuk ke sebuah ruang tunggu untuk tamu VVIP. Disana, seorang pelayan sudah menunggu mereka. Mempersilahkan duduk. Menunggu semua belanjaan mereka selesai dibungkus, sambil menikmati berbagai jenis minuman dan camilan yang terhidang di atas meja.

"Moriz Moriz Moriz..." Syafril memanggil dengan berbisik. Meminta adiknya untuk pindah ke pangkuannya. Memutar posisi topi. Menaikkan posisi kacamata hitam masing-masing ke dahi. Menurunkan masker penutup wajah, kecuali masker penutup wajah Moriz. Lantas melakukan selfie.

Pelayan yang berdiri memperhatikan mereka nyaris menjerit melihat wajah Syafril. Sebenarnya penasaran juga dengan wajah Moriz. Tapi Syafril sengaja menyembunyikan wajah adiknya itu. Ia tak mau mengganggu gugat privasi adiknya. Akan jadi masalah kalau sampai ada yang mengetahui wajah adik Syafril.

Usai melakukan selfie, Syafril tak membiarkan Moriz kembali ke tempat duduk. Moriz sempat manyun. Tapi Moriz membiarkan Syafril memangkunya. Pipinya bersemu merah membaca caption yang Syafril ketik sebelum memposting foto mereka di sosial media.

Orang lain mungkin merasa aneh melihat Syafril cekikikan sedari tadi. Tapi semua orang di keluarga mereka tahu, betapa konyol tingkah laku Syafril tiap kali sedang bersama dengan adik-adiknya.

"Kak..." Moriz memanggil lirih, dengan posisi kepala memandang wajah Syafril.

Respon pertama yang Syafril lakukan adalah menurunkan masker penutup wajah, lantas mendaratkan kecupan pada kening Moriz. Sayangnya Syafril sibuk dengan layar ponsel. Kalau tidak, ia pasti sudah muntah darah. Saking senangnya melihat raut wajah menggemaskan, yang jarang sekali muncul ke permukaan pada Moriz.

Siapa yang tak mengenal Moriz. Ia lebih sering berekspresi datar. Sementara tadi, awalnya Moriz manyun karena tak nyaman di peluk di depan orang lain. Dalam hal ini, adalah pelayan di dekat mereka. Dan dalam sekejap, hanya karena mendapat kecupan dari Syafril, manyun di bibir Moriz dibarengi dengan semburat merah pada kedua pipinya. Manyunnya Moriz juga terlihat ia sedang menahan diri untuk tidak tersenyum. Namun sorot matanya nampak sekali berbinar-binar.

Seorang staff datang membawa semua tas yang sudah dikemas dengan rapi. Edwin lantas maju, meletakkan sebuah kartu berwarna hitam pada sebuah nampan kecil. Menggeseknya pada mesin edisi, lantas menyerahkan secarik kertas untuk di tanda tangani oleh Syafril.

"Moriz mau jajan?" Syafril bertanya sambil membalikkan badan Moriz lantas bangkit dan menggendongnya.

Untuk anak seusianya, tubuh Moriz sebenarnya terbilang tinggi. Tahun ini Moriz akan melompat masuk di kelas 2 Sekolah Dasar. Namun tinggi badannya setara dengan anak kelas 4 SD.

Bagi Syafril, meskipun berat badan adiknya tak seringan dulu, bisa merasakan hangatnya pelukan Moriz, sudah lebih dari cukup untuk mendaur ulang tenaganya. Meski waktu berlalu dengan cepat, perlakuan Syafril terhadap adik-adiknya sama sekali tak berubah. Yang berubah hanya satu. Yaitu, ia makin sayang dengan seluruh anggota keluarganya.

Re:XXX [3rd Season]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang