•• 24 - A ••

97 10 0
                                    


Rico menghisap dalam-dalam rokok yang ia jepit menggunakan dua jari di tangan kirinya. Setiap kali pulang dari kampus, ia selalu bersantai di balkon. Duduk santai di kursi. Kedua kakinya yang panjang, selalu ia sandarkan di pagar balkon. Di posisi itu, ia bisa dengan leluasa menatap langit. Kali ini, ia memperhatikan gumpalan awan yang berarak melintas di atas sana.

Sejenak ia menoleh ke arah kiri. Disana adalah balkon dari flat apartemen yang di tempati oleh Ardo. Entah ada apa dengan hidupnya. Ia selalu ingin menjauh dari Ardo. Tapi secara kebetulan, Ardo selalu menjadi tetangganya.

Rumah mungil yang ia sewa adalah pilihannya sendiri. Begitu juga dengan flat yang ia tempati sekarang, juga ia pilih sendiri. Damian sengaja memberikan pilihan pada semua staff yang mendapat fasilitas tersebut. Tapi sekali lagi, Ardo menjadi tetangganya.

Ada sekitar tiga orang rekan kerjanya di balkon Ardo. Mereka sangat berisik meneriakkan nama Rico sembari melambaikan tangan. Respon Rico hanya membuang muka, lalu menyumpal kedua telinganya menggunakan headset. Ia selalu membawa headset tersebut di saku celananya. Itu adalah benda yang cukup berarti untuknya. Karena salah satu benda yang ia beli dari gaji pertamanya.

"Haaa.... Fuck!"

Kali ini ia menghela napas panjang. Bukan karena orang-orang gila di balkon Ardo. Melainkan karena lagu yang terputar secara otomatis, merupakan lagu yang sedang tak ingin ia dengar. Paling tidak, untuk sekarang. Biasanya ia bisa menikmati lagu tersebut. Sayangnya kali ini, setiap bait lirik lagu tersebut membuatnya teringat dengan sederet peristiwa di masa lalu.

"...I was so scared to face my fears. Nobody told me... that you'd be here. And I'd swear you moved overseas. That's what you said, when you left me... You still look like a movie... You still sound like a song... My God, this reminds me, of when we were young..."

Rico menatap langit tanpa berkedip saat lirik tersebut menggaung di dalam kepalanya. Ia terkejut merasakan pelipisnya basah. Bukan dari keringat. Angin berhembus kencang. Keringatnya juga sudah kering sedari tadi.

"...It's hard to win me back... Everything just takes me back. To when you were there... To when you were there... And a part of me keeps holding on. Just in case it hasn't gone... I guess I still care... Do you still care?..."

Rasanya Rico ingin lompat dari balkon setelah lagu tersebut berakhir. Mengingat flat apartemennya berada di lantai 17, hal pertama yang ia bayangkan adalah wajahnya yang tampan pasti akan rusak. Mungkin kepalanya akan hancur. Rasanya ia ingin mati saja karena menjadi sangat galau usai mendengar lagu tersebut.

Mati konyol usai mendengar lagu mellow. Dalam kondisi wajah, mungkin termasuk kepalanya, menjadi hancur tak berbentuk, membuatnya berpikir ribuan kali.

"When... will I see you again? You left with no goodbye, not a single word was said... No final kiss to seal any sins... I had no idea of the state we were in..."

Hal pertama yang ia lakukan usai mendengar bait lirik tersebut adalah berdiri dan berteriak sekencang-kencangnya. Membuat terkejut Ardo dan temannya di balkon sebelah. Tapi Rico tak tahu. Sekalipun tahu, ia tak akan ambil pusing.

Ia lebih pusing dengan lirik yang membuat suasana hatinya semakin merosot. Menukik tajam. Lalu... BOOM!!! Tak hanya hatinya yang terasa makin hancur lebur.

Ada alasan mengapa Rico merasa tenaganya habis sedari pagi. Semuanya karena kejadian semalam. Saat ia bertemu dengan orang yang selalu menghantuinya.

Rico yakin kemarin adalah hari terbaik untuknya. Ia berhasil mendapat nilai tertinggi di presentasi individu. Walaupun rasanya setengah mati mempersiapkan semua sendirian. Sementara deadline semakin dekat. Dan ia masih harus membagi waktu antara tugas dan pekerjaan.

Re:XXX [3rd Season]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang