•• 39 - A ••

50 8 0
                                    

Rico lupa, ia tak membawa perlengkapan menggambar. Belum lagi, Rico juga lupa bertanya ke Damian, kemana semua barangnya di pindahkan. Jelas Rico tahu semua barangnya dipindah ke rumah baru. Masalahnya Rico tak tahu lokasi rumah baru yang dimaksud Damian.

Sampai akhirnya Rico tersenyum lebar melihat Ruben memberitahunya, beberapa perlengkapan yang ia butuhkan ada semua di ruang perpustakaan pribadi apartemen itu. Letaknya juga berhadap-hadapan dengan kamar Arlan.

Mereka berdiskusi sebelum mulai menentukan desain seperti apa yang Ruben inginkan. Namun, baru saja akan memulai, Ruben mencolek pipinya. Memberi isyarat kearah Arlan yang terlihat duduk dengan sebuah buku di tangan. Tapi kedua matanya merem melek seperti ayam di sore hari. Tubuhnya terhuyung maju mundur. Berulang kali nyaris terjatuh. Tapi selalu menolak untuk tidur di kamarnya.

Akhirnya Ruben menggendong paksa Arlan. Meminta tolong pada Rico untuk membukakan pintu. Termasuk pintu kamar tidur Arlan di seberang perpustakaan tersebut.

"Tidur! Atau mau gue kelonin dulu?"

"Jangan Tuan. Kalo Tuan khilaf lagi, besok saya gak bisa kerja."

"Makanya. Tidur!"

"...oke."

Rico menggaruk belakang telinganya. Sepertinya Ruben memang benar-benar perhatian dengan orang di sekelilingnya. Termasuk pada Arlan. Ruben mendaratkan kecupan di pipi Arlan. Membuatnya tersenyum. Bahkan sebelum mereka keluar dari kamarnya, Arlan langsung terlelap.

Ruben menemani Rico menggambar di meja kerja kayu berukuran besar. Ruben bilang, itu adalah meja belajar milik Adam sebelum pindah ke rumah yang sekarang.

Selama Rico menggambar desain, ia mendengar beberapa cerita dari Ruben. Yang Ruben lakukan adalah berdiri di belakangnya. Membuka tutup beberapa buku. Melihat semua kenangan dan peristiwa yang terjadi di dalam ruangan tersebut.

"Biar lu gak bingung, gue pake sebutan Baba gue dan Babanya Syafril. Mereka punya nama yang sama soalnya," ucap Ruben. "Yang pernah gue denger, gini nih. Babanya Syafril kan kuliahnya semacam private online gitu. Dia harus standby di kantor juga soalnya. Buat ngisi kekosongan diantara Papa Josh dan Babanya Syafril, Baba gue yang ngegantiin posisinya. Semacam pacar pengganti. Atau pacar cadangan."

"Kok bisa gitu?"

"Baba gue sekampus ama Papa Josh."

"Lah? Terus?"

"Intinya kalo lagi di kampus, Papa Josh pacarannya ama Baba gue. Tapi di kantor pun, Babanya Syafril pacaran ama Daddy Gustav. Waktu itu... Daddy pacarnya Baba gue."

"Mereka tukeran pasangan, gitu?"

"Iya. Lucunya lagi, Babanya Syafril sepupuan ama Baba gue. Daddy Gustav sepupuan juga ama Papa Josh."

"Kok bisa gitu?"

"Itu belum seberapa sebenarnya. Orang tua gue, Syafril, Troy dan Atlas... bahkan sampe sekarang masih sering tukeran lendir."

"Maksudnya?"

"Saling ngewe satu sama lain gitu."

Rico meletakkan pensil dan penggaris. "Kenapa ya, elu yang cerita, tapi gue yang haus?"

"Karena elu lagi ngegambar sebuah desain haus?"

"Tolol!" Rico mencubit pipi Ruben, lalu menariknya keluar dari perpustakaan. Menuju dapur.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Kalau tak ada apa-apa di dalam lemari pendingin, mungkin Rico akan minta di traktir Ruben untuk memesan minuman. Menggunakan jasa delivery order tentunya.

Makanan yang tadi di masak Arlan, semuanya habis. Rico dan Ruben terlihat sangat lahap. Sementara Arlan menatap keduanya sambil tersenyum diam-diam. Arlan tak bisa menutupi rasa bahagianya. Tak sia-sia ia mempersiapkan semuanya selama tiga jam. Sendirian.

Re:XXX [3rd Season]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang