•• 25 ••

94 9 0
                                    

"Ric..."

"...ya?"

"Pembicaraan kita tadi--"

"Gue masih gak enak badan," Rico menyela. "Kita bisa lanjutin nanti. Kalo gue udah fit," lanjutnya. "Ada beberapa hal yang harus gue bahas ama cecunguk satu ini," ucapnya seraya mengeratkan rangkulan di tengkuk Ardo.

Rico memang tersenyum lebar saat rangkulannya terlihat seperti sengaja memiting leher Ardo. Diantara mereka, hanya Saul yang bisa melihat sorot mata Rico tidak ikut tersenyum. Bahkan, hingga detik ini, Saul masih sering kesulitan membaca jalan pikiran Rico.

Suasana hati Rico juga selalu naik turun. Ia memang tak pernah meminta siapapun untuk mengikuti suasana hatinya. Jika ada yang tak suka, Rico memilih untuk menjauh. Saul bisa mengerti. Walaupun baru sekarang ia berhasil memberanikan diri bertatap muka dengan Rico, tapi peristiwa tadi masih membuatnya khawatir.

Sayangnya Saul tak berani mengusik Rico. Begitu juga teman Ardo. Pada akhirnya, hanya Troy yang pamit pergi karena ada janji dengan seseorang. Sementara sisanya, termasuk Saul, kembali ke flat masing-masing.

Sebelum melangkah masuk, Saul sempat beradu pandang dengan Rico. Tapi ia merasa ada yang aneh dengan cara Rico menatap. Tak ada kerinduan di caranya menatap. Tak seperti beberapa menit sebelum ia pingsan. Seolah kerinduannya menguap begitu saja.

Saul hanya bisa gigit jari. Rico memang egois. Ia paham benar. Sebuah kesalahan fatal pernah ia perbuat, yaitu pergi meninggalkannya begitu saja. Ia pernah mengira, rasa cinta yang remuk redam beberapa tahun silam, sudah benar-benar habis terbuang. Seperti sia-sia telah jatuh hati pada seseorang yang tak pernah ia ketahui seperti apa jati dirinya.

Waktu itu Rico masih remaja. Sementara Saul adalah pria dewasa. Melihat sikap dan perilaku Rico waktu itu, sering membuat Saul lupa rentang usia diantara mereka. Kadang, Saul berpikir, mungkin saja Rico memang memiliki kepribadian ganda. Bukan lagi membahas tentang suasana hati. Bisa jadi, semua hal yang Rico lakukan, tergantung pada salah satu kepribadian yang sedang menguasai dirinya.

☄️🌠⭐🌟🌟⭐🌠☄️

Rico selalu bingung sendiri jika ada yang bertanya, alasan apa yang selama ini selalu membuatnya begitu membenci Ardo. Ayahnya pernah berkata, Ardo merupakan cinta pertama Rico. Mungkin hanya sekedar cinta monyet, jawabnya waktu itu. "Karena sifat Ardo emang mirip monyet. Kemaruk!" Tegasnya.

Ibunya menganggap, kalimat itu hanya sekedar rasa cemburu Rico terhadap Ardo. Kemungkinan besar, karena perhatian orang tua Rico juga beberapa kali terfokus pada Ardo. Sementara Ayahnya, merasa takjub dengan ucapan Rico tersebut. Bagaimana bisa, anak umur lima tahun yang baru sedikit lancar berbicara, bisa berkata sekasar itu.

Semakin hari Rico menunjukkan kebenciannya terhadap Ardo. Ia tak sungkan menyentil dahi Ardo hingga membuatnya menangis. Amarahnya selalu dengan mudah meledak. Wajahnya juga tak sungkan menunjukkan ketidaksukaannya, sekalipun disana ada kedua orang Ardo.

Tak ada satupun yang mengambil pusing sikap Rico itu. Sampai suatu hari, kedua orang tua Rico dibuat panik melihatnya tergeletak di teras. Awalnya mereka mengira Rico jatuh pingsan karena kelelahan sepulang dari sekolah. Namun setelah diperiksa, Rico dalam keadaan tak bernapas.

Dari kejadian itu, kedua orang tua Rico mengetahui bahwa putra mereka sering kali mengalami perundungan di sekolah. Selama proses perpindahan sekolah, orang tua Rico menyangka kebencian putra mereka pada Ardo adalah efek dari perundungan tersebut.

Mereka membuat kesimpulan seperti itu karena Rico tak lagi membuat Ardo menangis sejak ia pindah sekolah. Rico terlihat sedikit melunak. Tak ada lagi ledakan emosi seperti sebelumnya. Ia juga diam dan hanya menatap kosong saat Ardo mengajaknya berbicara. Ia terlihat seperti pendengar yang baik. Nampak seperti sosok Kakak yang baik.

Re:XXX [3rd Season]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang