•• 30 - A ••

52 9 0
                                    


Ilyas menjilat setetes sperma di sudut bibirnya. Kalau saja ia bukan perokok, pasti warna bibirnya terlihat ranum seperti pemuda yang pernah ia anal lubang pantatnya pertama kali di dalam taksinya. Tak lain adalah Arif.

Kalau Christopher baru saja memulai petualangannya, maka Ilyas sudah melakukannya sejak sehari sebelumnya. Baru dua hari memang. Tapi sedikitnya sudah lebih dari sepuluh laki-laki diminum sari pati kejantanannya. Dan sekitar dua kali lipatnya sudah membobol pantat Ilyas.

Rekan kerja di perusahaan taksi yang sama, sejak kemarin terlihat resah tiap kali berdekatan dengan Ilyas. Sama seperti Christopher, tentu saja Ilyas tak menyadari aroma tubuhnya menebar pheromones. Membuat laki-laki di sekitarnya terpikat dengan apapun yang Ilyas lakukan.

Yang Ilyas tahu, laki-laki yang memperawaninya kemarin berjanji akan memberitahu temannya. Setidaknya lebih dari separuh pria yang sudah Ilyas ladeni adalah teman laki-laki tersebut. Setiap mengantar penumpangnya, Ilyas pasti mampir selama satu hingga dua jam untuk merasakan digagahi mereka.

Ilyas tak peduli jika suatu saat ia di cap sebagai pelacur. Yang terpenting digit di dalam rekeningnya terus bertambah. Beruntung Ilyas tipe orang yang hemat. Ia tahu rasanya tak memiliki uang. Hal tersebut membuatnya tak tergoda untuk menghamburkan uang pemberian penumpangnya.

Dari uang beberapa gepok kemarin, ia membuka rekening baru. Ilyas pakai sebagai wadah untuk menerima uang pemberian penumpang yang mengagahinya. Karena kartu debit dari rekeningnya yang pertama sengaja di pegang Ibu dan adik-adiknya di rumah. Dipakai untuk memenuhi kebutuhan rumah. Seperti tagihan listrik, air, jaringan WiFi dan TV kabel.

Tabungannya sering kali habis, karena Ibunya mudah sekali di perdaya adik-adik Ilyas. Tak heran jika Ilyas memilih untuk membuat rekening bank yang baru. Ilyas rahasiakan dari siapapun yang dekat dengannya.

Saat ini, Ilyas sedang dalam perjalanan menuju pangkalan taksi di bandara. Ia biasa memarkir mobilnya disana. Kemudian pulang menggunakan sepeda kayuh menuju kontrakan. Jaraknya sekitar lima belas menit saja.

Sepuluh menit dari pangkalan menuju pintu keluar bandara. Kemudian lima menit menuju kontrakannya jika Ilyas mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Tapi kalau mengayuhnya dengan santai seperti sekarang, mungkin waktu yang ia tempuh bisa bertambah lima menitan.

Setelah pintu keluar bandara, Ilyas biasa melewati sebuah halte. Ia berhenti dan menyapa Alvaro. Ilyas dan rekan kerja lain biasanya memanggil dengan sebutan Aro. Usianya sepantaran dengan Ilyas. Baru bekerja di perusahaan taksi tersebut sekitar dua bulanan. Ilyas masih bujang. Tapi Aro katanya sudah menikah setahun yang lalu.

Ilyas dan Aro adalah supir termuda yang menyandang gelar good looking driver. Staf bandara dari ujung ke ujung mengenal keduanya. Walaupun tak kenal dekat, tapi gelar mereka yang membuat terkenal.

Sebelum menjadi supir taksi, Aro bekerja di bidang marketing. Hanya itu yang Ilyas ketahui. Mereka sering ngobrol di warung kopi. Tapi Ilyas tak pernah penasaran dengan kehidupan pribadi Aro.

"Motor lu kemana, Ro?"

Aro yang sedang duduk dalam posisi tertunduk, mengangkat kepala dan tersenyum kearah Ilyas. "Lagi gue sekolahin," jawabnya diakhiri dengan senyum kecut.

"Nginep di kontrakan gue aja. Biar besok elu kagak capek di jalan," ajak Ilyas.

"Jadi ngerepotin..."

"Gue bonceng aja, yak? Deket kok dari sini," ucap Ilyas menawarkan diri. Keduanya menatap sepeda milik Ilyas.

Fixed wheel bicycle atau awamnya dikenal sebagai sepeda fixie, awalnya digunakan untuk balapan sepeda dengan track khusus di velodrome. Namun, kini lebih banyak untuk penggunaan kasual. Sepeda fixie memang tak dilengkapi dengan rem tangan. Apabila ingin berhenti, Ilyas tinggal membalikkan pedal ke arah yang berlawanan. Atau mengayuhnya ke belakang. Hal tak lazim pada jenis sepeda lain. Tapi sangat umum pada jenis sepeda fixie.

Re:XXX [3rd Season]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang