•• 41 - C ••

135 7 0
                                    

"Kemaren Bocil boboknya sama Lik Arlan. Sekarang boboknya sama Om Ruben. Mau, ya?"

"Mau!" Bocil menjawab Ruben dengan semangat.

Bocil senang bukan main siang tadi. Sepulang sekolah, ternyata yang menjemputnya adalah Ruben, Om-nya yang baru. Sambil menunggu jam pulang Bocal, Ruben mengajaknya untuk keliling kota. Putar-putar alun-alun. Mencicipi semua jenis jajanan yang ia lihat.

Sebenarnya Bocil malu pada awalnya. Tapi Ruben menggodanya seperti seekor kucing yang mengejar mainan bulu di ujung lidi. Matanya mengikuti kemana bungkus jajanan berada di genggaman tangan Ruben. Melihatnya saja Ruben sudah gemas. Kalau ada Arlan, pasti Ruben sudah dimarahi.

"Cal, bobok bareng yuk!" Ruben menyikut lengan kurus Bocal. "Mau dong Cal... Yuk mau yuk!" Cara Ruben memaksa memang selalu halus. Bocal yang terlihat malu, akhirnya mengangguk.

Sama seperti Bocil, Ruben mengajaknya berkeliling. Kalau sebelumnya ke alun-alun, tujuan Ruben selanjutnya adalah membawa mereka ke Mall. Apapun yang menarik minat keduanya, langsung Ruben belikan.

Memang terkesan memanjakan. Tapi Bocal dan Bocil tak pernah mengalami hal tersebut. Bahkan masuk Mall sekecil itu pun, sudah dianggap sebagai kemewahan. Meski wajahnya tersenyum, Ruben merasa hatinya terasa di iris saat mengetahui itu adalah pertama kalinya Bocal masuk ke arena game arcade.

Semiskin-miskinnya anak-anak di kota besar, mereka masih mengalami masuk Mall atau hal-hal lain yang dianggap sepele. Ternyata kondisi perekonomian Pamannya Arlan separah itu, pikir Ruben. Tak heran Arlan sering kali membantu tanpa mengharapkan imbalan.

Arlan memang tulus. Tapi apa yang bisa Arlan harapkan, selain tulus memberi tak mengharap kembali. Ruben sudah melihat semua kenangan dan peristiwa yang telah Arlan lalui. Tapi melihat dan mengalaminya secara langsung, memiliki dampak berbeda.

Tapi Ruben adalah orang yang pandai menyembunyikan segala macam kesedihan, kekecewaan dan amarah menggunakan tawa dan senyum yang khas. Bahkan bila terkejut, ia selalu bisa menunjukkan ekspresi wajah yang terlihat menyenangkan.

Melihat Bocal bagi Ruben seperti melihat masa muda Arlan. Mereka berada di situasi yang sama. Saat Arlan masih seumuran dengan Bocal pun, dari yang Ruben lihat, keduanya memiliki situasi keluarga yang sama.

Pukul empat sore mereka baru sampai rumah. Keluar dari mobil membawa banyak barang, sampai membuat Paman Arlan merasa sungkan. Tapi Arlan hanya meremas bahu Pamannya dan menggeleng pelan. Maksudnya adalah, biarkan saja Ruben berlaku semaunya.

Sebagai seorang Ayah, tak ada hal terindah selain melihat senyum buah hatinya. Kedatangan Arlan kali ini seolah menghujani mereka dengan kebahagiaan.

Ruben membantu Bocil membawa barang-barang yang ia beli ke kamar atas. Bocal pun begitu. Mengekor di belakang Ruben. Kedua tangan menjinjing tas belanja. Entah apa saja isinya, batin Arlan.

Suasana terdengar ramai di lantai dua. Ruben membuka satu persatu mainan yang ia belikan untuk Bocil. Di waktu yang sama, Bocal di dalam kamar terkejut melihat lemari pakaiannya sudah penuh dengan berbagai macam pakaian. Bahkan di dalam laci lemari, ada banyak sekali arloji.

"Gimana? Suka?"

Bocal yang berdiri tercengang, menoleh ke pintu. Menatap Ruben dengan terbelalak dan ternganga. Jarinya menunjuk berulang kali ke laci dan rak lemari. Tapi mulutnya tak mengeluarkan suara.

Ruben berdiri merangkul Bocal. Mengacak-acak rambutnya. Kalau sedang terkejut, Bocal memiliki wajah yang sama lucunya dengan Arlan. Biasanya anak cowok selalu mirip dengan Ibu mereka. Tapi kakak beradik ini lebih mirip ke Bapak mereka. Makanya Ruben sempat mengira Bocal adalah versi remaja Arlan. Wajah mereka memiliki banyak kemiripan.

Re:XXX [3rd Season]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang