Love Mission : 48

471 65 4
                                    

"Abel, tidakkah tadi kamu sedikit berlebihan?" tanyaku sambil mengingat kejadian di kuil. Abel yang sedang memotong sepotong dessert untukku, kini mengerucutkan bibirnya dengan mata anak anjing yang turun kebawah, "Dia menatapmu dengan tatapan sehangat itu. Aku tidak menyukainya."

"Jangan mengatakan dia, Abel. Meski hanya terpaut beberapa tahun lebih tua darimu, beliau adalah Utusan Agung Dewi Phalosa, bukankah seharusnya kamu menunjukkan sedikit hormat?"

Abel menatapku dengan melas, "Maafkan aku.. Aku tidak akan mengulanginya."

"Ini sudah beberapa kali sejak kamu bersikap tidak sopan kepada Pendeta Plato. Bahkan meskipun kamu adalah seorang Macario, tidak sebaiknya kamu bersikap seperti itu." nasihatku. Abel terdiam sambil menundukkan wajahnya.

"Dan ini sudah kesekian kalinya kamu mengatakan bahwa kamu tidak akan mengulanginya. Tetapi kamu tetap mengulanginya," lanjutku. Abel semakin menundukkan wajahnya, tampak jelas bahwa ia merasa bersalah.

Aku menghela nafas, "Kalau begitu, apakah kamu berjanji untuk tidak melakukan kesalahan itu lagi?"

Abel mengangkat wajahnya dan mengangguk dengan cepat dan semangat, "Tentu saja! Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku berjanji, Cleine! Pinky promise!" ucapnya semangat. Aku tersenyum.

"Baiklah. Pinky promise. Aku akan memegang ucapanmu." aku tersenyum kepadanya. Kemudian, aku memanggil Emily untuk menuangkan teh kembali.

"Omong-omong, Cleine.."

"Ya?" aku meletakkan cangkir berisi teh hijau di atas meja begitu Abel membuka mulutnya. Ia tampak ragu, menatapku dengan tidak yakin lalu melihat ke arah lain.

"Ada apa, Abel? Katakan."

"Uh... tidak jadi." oh, lihat anak itu. Bahkan sebelum ia mulai berbicara, telinganya telah memerah terlebih dahulu.

"Katakan. Apa yang ingin kau katakan?" desakku. Abel menggeleng, "Aku tidak mau membuatmu marah."

"Kali ini aku mempersilahkannya."

"Uh," Abel tampak tidak yakin sekali lagi. Tapi ekspresi wajahku yang mengerut berhasil mendesaknya untuk mengatakan sesuatu.

"Berjanjilah kamu tidak akan marah." seolah mencari aman, Abel tersenyum kikuk kepadaku. Aku mengangguk, "Baiklah. Aku berjanji."

"Jadi.. apakah kamu.. menyukainya?"

"Hm? Apa maksudmu?" siapa menyukai siapa?

".. Pendeta Tinggi Elenio Mikhail Plato. Dia adalah pendeta muda yang tampan, juga seorang keluarga bangsawan Marquis Plato, jadi, apakah kamu.. menyukainya, Cleine?" mendengar pertanyaan Abel, aku meminum tehku dengan tenang walau aku sedikit terkejut atas pertanyaannya.

"Huh? Tentu saja? Pendeta Elenio memiliki wajah yang tampan—" oh, tidak!

Ketika aku menoleh dan menatap Abel, anak anjing ini menderita dengan matanya yang berkaca-kaca! Ruby tersebut mengkilap dengan air yang nyaris tumpah dari matanya.

Hal ini berlangsung hanya beberapa detik sebelum aku marah kepadanya karena terus mengaitkan Pendeta Elenio diantara kami, tetapi kini, aku sudah luluh dan mendekatinya dengan panik.

"Oh, tidak, tidak, Abel! Bukan seperti itu maksudku!" sebelum ia benar-benar menangis, aku dengan cepat meletakkan tehku dan menghampiri kursinya.

"Aku tidak bermaksud mengatakannya dalam hal romantis, tolong jangan salah paham?" aku menghapus air matanya dengan cepat. Meski aku sudah menghapus air mata di ujung sudut matanya, buliran air mata selanjutnya tetap jatuh sederas air hujan.

Abel menangis tanpa suara dengan hidungnya yang memerah. Tetapi tatapannya mengatakan jelas bahwa ia cemburu dan ketakutan.

"Apakah kamu—hiks, sangat menyukainya?"

Love Mission: Became the Next Duchess!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang