"Emily, sudah pastikan seluruh barang-barang Abel telah terbawa semuanya. Jangan ada yang tertinggal." perintahku kepada Emily dan para pelayan lain yang tengah sibuk memasukkan barang bawaan Abel ke kereta kuda yang dikhususkan untuk memuat barang bawaan.
"Sudah, Nona! Semuanya sedang dipersiapkan. Tolong tunggu sedikit lagi." jawab Emily.
Aku mengangguk puas, "Baiklah."
"Cleine."
"Astaga!"
Aku menoleh terkejut ketika tiba-tiba pundakku ditepuk pelan oleh seseorang. Abel berdiri di belakangku dengan senyumannya, "Maaf. Apa kamu kaget?"
Aku mengangguk, "Oh, tolong. Jangan mengagetkan aku seperti itu, Abel."
Abel mengangguk, "Maafkan aku. Aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang."
Aku menghembuskan nafas lalu tersenyum. Tanpa sadar, tanganku terangkat untuk merapihkan setelan jas seragam akademinya. Merapihkan kerah kemeja putihnya yang lekukannya sedikit kurang rapih sekaligus merapihkan posisi letak bros berwarna emerald miliknya.
"Kau harus berpenampilan rapih, Abel. Kesan pertama adalah penampilan yang rapih." nasihatku. Abel lagi-lagi mengangguk, dengan senyuman lebar di wajahnya. Ia menarik tanganku dan menahannya di pipinya.
"Aku suka ketika Cleine memperhatikanku." matanya memandangku. Ruby merah yang bersinar dengan tatapan hangat itu.
Menghilangkan kegugupan, aku mengalihkan wajah. Telingaku terasa panas, dan hatiku berdegup kencang. Tetapi, terasa perasaan lega dalam hatiku.
Aku lega, dan senang karena setidaknya kesedihan Abel sudah teralihkan.
"Abel, Cleine."
Aku menoleh ketika mendengar suara yang familier memanggil kami.
Grand Duke dibelakang kami turun dari kuda dalam sekali lompatan. Wajahnya yang putih pucat tampak memerah kelelahan.
"Ayah?!" aku menghampirinya.
"Anda menunggangi kuda dari villa di Brounen?!" tanyaku terkejut. Grand Duke memanggil, "Kita harus mengantar Abel bersama-sama."
Sementara dari belakang, Abel menimpali. "Anda tidak perlu memaksakan diri. Seharusnya Anda menemani Ibu di villa."
"Aku akan sering berkunjung ke villa." Grand Duke menjawab. "Ayo berangkat. Kita akan terlambat jika menunda lebih dari ini."
"Ayah, apakah Anda tidak lelah? Saya akan mengantar Abel dengan baik, jadi bukankah sebaiknya Anda beristirahat?" aku memegang lengannya khawatir.
"Siapa yang sedang kau khawatirkan sekarang. Aku baik-baik saja." Grand Duke menjawab. Aku menghela nafas, merasa tidak yakin.
"Villa Brounen berada 89 kilometer dari kediaman kita. Dibutuhkan waktu setidaknya setengah hari dengan kereta kuda berkecepatan penuh, tetapi Anda menunggang kuda sendirian dan kembali menyusul kami! Apakah Anda bahkan seorang manusia? Anda tidak mengenal lelah sama sekali! Saya tahu bahwa Ayah adalah orang yang kuat, tetapi sebagai seorang manusia Ayah juga membutuhkan istirahat!" omelku tanpa sadar.
Aku mengangkat wajahku, memberanikan diri unthk terus terang menatap Grand Duke, "Setidaknya, di kereta Anda harus beristirahat. Ini kelonggaran terakhir dari saya." titahku tanpa sadar. Untuk sesaat, keadaan menjadi hening sebelum akhirnya Grand Duke tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha!" ia mengusap kepalaku, sementara aku yang baru saja menyadari perkataanku yang terdengar tidak sopan barusan hanya bisa menunduk kelabakan sembari meminta maaf.
"Anu, Ayah.. maafkan saya, tanpa sadar saya memarahi Anda seperti yang saya lakukan kepada mendiang Ayah saya-"
"Tidak apa-apa. Putriku benar. Aku akan beristirahat di kereta." matanya yang lelah itu menatapku lembut. Tatapan yang biasanya terlihat dingin dan tajam itu entah kenapa menghangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Mission: Became the Next Duchess!
FantasySetelah bereinkarnasi ke dalam sebuah novel, aku menyadari bahwa aku datang pada timeline yang salah! Kenapa tokoh utama pria dan tokoh utama wanita sudah menikah dan memiliki seorang putra?! Terlebih, putra mereka ternyata dua tahun lebih muda dari...