Love Mission : 21

1.7K 234 0
                                    

Marquis memijat pangkal keningnya dengan kasar, lalu menatap Pendeta Tinggi Aslo dengan tatapan tidak percaya.

"Anak itu? Utusan Dewi? Hah." sinisnya tidak percaya. Pendeta Tinggi Aslo mengangguk dengan tegas dan yakin.

"Hal itu benar adanya, Marquis. Tuan Muda Elenio Mikhail Plato adalah utusan dewi yang disebutkan dalam orakel yang turun 16 tahun lalu yang berisi tentang Dewi Cahaya Phalosa akan mengirimkan utusannya kepada kekaisaran."

"Hah, bagaimana bisa kau mengatakan anak tidak berguna yang menyedihkan itu sebagai utusan Dewi? Bagaimana aku harus percaya perkataan konyolmu ini, Sri?"

"Tuan Marquis.. Dalam waktu dekat, mana cahaya Tuan Muda Elenio Plato akan meledak. Sampai saat itu tiba, pihak kuil suci akan terus memantau kondisinya."

Marquis tidak pernah percaya hal itu, sampai saat itu, ia melihat sendiri bahwa putranya menyakiti wanita kesayangannya dengan mana cahaya yang dimiliki putranya itu.

Tatapan dingin dan kejam yang seharusnya tidak terpancar dari tatapan seorang anak kecil.

"Monster...! Kau adalah monster! Kau bukan putraku, melainkan monster!"

***

Ketika membuka mataku, aku melihat Count dan Kak Carsten duduk di samping kasur dengan tatapan lelah. Kantung mata yang menghitam serta wajah cemas dan khawatir.

Ah, benar. Aku terjatuh pingsan lagi kemarin.

Tubuh Bellanca sangatlah lemah sehingga aku bahkan tidak bisa menggunakannya untuk berlarut dalam pikiranku. Tubuh ini sangatlah remah dan rapuh, bagaikan sebuah patung porselen yang sudah rusak akibat retak sana-sini. Seolah tubuh Bellanca juga akan terbang apabila angin meniupnya.

"Ayah, lihat! Cleine!" Kak Carsten, yang tadinya menggenggam tanganku sambil memejamkan matanya, segera bangun dan memanggil dokter untukku.

"Astaga, Dewi! Terimakasih.." Count memelukku dengan sebuah air mata di pelupuk matanya.

"Terimakasih karena telah bangun, Nak.." mendengar suara Count yang sangat pilu, aku membalas pelukannya dan membuka suaraku dengan perlahan.

"Berapa lama aku tertidur, Ayah?" tanyaku. Kepalaku terasa sedikit dingin, seolah aku memasukkan kepalaku ke dalam freezer yang suhunya dingin.

"Nyaris satu minggu, Nak. Ayah sangat bersyukur kamu bisa kembali kepada kami."

"Apa..—" seminggu? Bukankah itu lebih tepat disebut sebagai koma daripada pingsan?! Sebelum aku menyelesaikan perkataanku, Dokter Phillip dan Kak Carsten masuk ke dalam kamar, disusul Emily yang memasuki kamarku dengan troli makanan yang ia dorong.

"Nona, syukurlah bahwa Anda telah siuman! Apakah Anda merasakan letih atau lelah, atau merasa pusing dan keluhan sakit lainnya?" Dokter Phillip langsung menyerbuku dengan berbagai pertanyaan sambil mengecek denyut nadiku.

"Oh, tidak.. aku hanya merasa kepalaku terasa dingin, seperti sedang berenang di air yang dingin." jawabku.

Dokter Phillip mengangguk, "Itu reaksi yang biasa karena saya memberikan Anda obat herbal kemarin. Efek samping yang dirasakan memang akan membuat kepala terasa dingin untuk mencegah kepala anda terasa sakit setelah Anda siuman." jelas Dokter Phillip.

"Apakah selain itu, tidak ada keluhan lain, Nona?" tanya Dokter Phillip lagi. Aku menggeleng. "Tidak."

"Baik, kalau begitu tubuh Anda sudah mulai stabil kembali. Untuk menjaga itu, saya akan kembali membuatkan Anda resep obat lagi dan beberapa vitamin. Tetapi Anda baru bisa mengkonsumsi obat selanjutnya ketika sensasi dingin di kepala Anda sudah menghilang."

Love Mission: Became the Next Duchess!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang