Gadis Aneh

13.8K 923 10
                                    

"Sekarang udah ngerti, kan?" tanya Liana. Sudah panjang lebar ia menjelaskan tugas-tugas Chifa sambil berkeliling rumah memperkenalkan rumahnya yang akan menjadi tempat kerja Chifa.

Chifa mengangguk cepat seperti anak kecil. Kedua tangannya tidak lepas memegang tali tas ransel yang sejak tadi ia gendong di punggung. "Udah, Nyonya."

Liana tersenyum senang. Ternyata Chifa mudah mengerti. "Kalau gitu saya antar ke kamar kamu ya. Hari ini kamu bisa istirahat dulu. Besok pagi baru kerja."

Chifa mengangguk lagi sambil tersenyum lebar. Ia senang akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan.

Chifa diantar sampai ke kamar. Sesampainya di kamar, Chifa terperangah melihat kamarnya. Ia pikir kamar pembantu akan kumuh dan berbeda jauh dengan kamar pemilik rumah, akan tetapi ia sudah salah sangka. Kamar yang akan ia tempati hampir sama seperti kamar tamu yang tadi ia lihat. Bedanya perabotannya tidak banyak. Mungkin karena kamar ini bekas bibinya.

Gila! Gede banget. Gini caranya aku bakal betah kerja seumur hidup di sini. Kapan lagi coba tidur di kamar mewah begini.

Lamunan Chifa dibuyarkan oleh tepukan lembut di bahunya. "Susun bajunya di lemari. Terus istirahat. Kalau mau makan tinggal ambil aja di dapur. Tadi pagi bi Sumi udah masak banyak."

Chifa mengangguk lagi. Untuk sekarang ia masih terkagum-kagum dan masih dalam masa penyesuaian diri, oleh sebab itu ia tidak banyak bicara. Tapi beberapa jam lagi, lihat saja.

"Saya tinggal dulu ya. Semoga kamu betah kerja di sini," ucap Liana lagi.

"Iya, Nya," jawab Chifa pada akhirnya mengeluarkan suara lagi.

Begitu pintu ditutup oleh Liana, Chifa langsung melempar tas ranselnya ke sembarang arah kemudian meloncat ke atas tempat tidur. Ia tertawa terbahak-bahak sambil lompat-lompat layaknya sedang naik trampolin.

"Empuk. Kasurnya empuk! Yeay!"

Perasaan bahagia membucah membuat Chifa tak bisa menahan pekikan bahagianya. Sungguh ini adalah kali pertamanya ia tidur di ranjang tinggi dan kasur empuk. Saat dikampung ia tidur di kasur lantai yang sudah lepek, dan di kos-kosan ia tidur di ranjang pendek dan tidak ada empuk-empuknya sama sekali. Dan kasur ini tidak berderit sama sekali walaupun ia sudah melompat setinggi-tingginya.

Setelah lelah, Chifa melemparkan diri ke kasur kemudian berbaring telentang. Matanya menatap langit-langit, sedangkan bibirnya tersenyum lebar hingga tampak deretan giginya yang rapi. Dan tak sengaja ia pun tertidur.

* * * *

Gawat! Aku kesiangan!

Tak peduli dengan rambut yang acak-acakan dan baju yang sejak kemarin belum diganti, Chifa keluar kamar dan langsung masuk ke dapur. Jantungnya sempat berdegup kencang karena di depan kompor sudah ada seseorang yang berdiri sambil mengaduk sayur.

Mampus! Pasti kena marah Nyonya.

Chifa menggerutu pada dirinya sendiri dalam hati. Bisa-bisanya nyonyanya yang bangun lebih dulu dan memasak. Ini adalah hari pertama kerja! Bayangkan, di hari pertama saja ia sudah membuat kesalahan.

Dengan buru-buru Chifa menghampiri Liana lalu menyambar sendok sayur. "Biar saya aja, Nya."

Liana terkekeh. Ia merasa lucu melihat wajah panik Chifa. Pasti gadis itu takut dimarahi karena terlambat bangun dan mendapati sang nyonya yang memasak. Padahal ia sangat memaklumi keterlambatan Chifa. Gadis itu pasti kelelahan karena kemarin baru sampai di rumahnya. Lagi pula ia sudah sangat terbiasa memasak bersama bi Sumi. Jadi seharunya ia tidak perlu marah.

"Biar saya aja, Chifa. Kamu bangunin Marvel sana. Hari ini dia disuruh papahnya ikut ke kantor," ucap Liana sambil mengambil alih sendok sayur.

Chifa mengangguk. Ia memang tidak suka banyak protes. "Tapi Nya, di mana kamar tuan Marvel?" Seingatnya kemarin Liana tidak mengajaknya melihat kamar pria bernama Marvel. Liana hanya bercerita kalau dia memiliki anak bungsu  bernama Marvel. Anaknya itu baru lulus kuliah S2 dan baru mulai membantu ayahnya di kantor.

"Oh iya. Kemarin saya lupa ngasih tahu kamu. Kamar Marvel ada di lantai dua, sebelah kanan, kamar paling ujung," jawab Liana.

Chifa mengangguk lalu segera berjalan meninggalkan dapur. Liana tersenyum melihat kegesitan Chifa. Sejak kemarin ia memperhatikan Chifa, gadis itu sepertinya terbiasa berjalan dengan riang seperti sekarang ini. Ya, sepertinya Chifa adalah anak yang periang dan tidak pernah mengambil pusing masalah hidupnya. Padahal ia tahu dari bi Sumi kalau kondisi ekonomi keluarga Chifa sangat memprihatinkan.

Kembali pada Chifa. Chifa sudah sampai di depan kamar paling ujung di lantai dua. Untuk pertama, ia mengetuk pintu tiga kali. Yah setidaknya ia masih cukup tahu tentang sopan-santun yang satu ini.

"Hei si Tuan yang ada di dalam, bangun dong." (Agak gak enak ditelinga bukan?)

Setelah enam kali mengetuk pintu dan tak kunjung mendapat jawaban, Chifa pun memutar kenop pintu dan ternyata tidak dikunci.

Chifa memasukkan kepalanya terlebih dahulu. Ranjang kosong dan hanya ada selimut acak-acakan ya ia lihat. Ia melihat ke segala penjuru kamar, akan tetapi tidak menemukan seorangpun.

"Cek, satu dua tiga. Kamar di cek. Adakah manusia di dalam?"

Karena masih tidak ada jawaban, akhirnya Chifa mencoba untuk masuk. Sekarang fokusnya bukan untuk membangunkan anak majikannya. Melainkan mengagumi isi kamar yang sekarang ia masuki.

Semuanya tertata rapi. Hanya kasur yang pasti akan berantakan karena habis ditiduri. Lemari besar, sofa mewah, piano, ranjang ukuran besar, dan lampu gantung berpadu dengan warna yang senada. Putih, hitam dan abu-abu. Kamar ini terlihat seperti perpaduan klasik modern. Seperti kamar pangeran zaman now.

Ceklek (anggap suara pintu dibuka.)

"Ha!"

Suara terkejut itu berasal dari arah depan, Chifa menoleh ke arah pintu yang terbuka. Di depan pintu itu ada seorang pria jangkung berkulit putih dengan wajah super handsome alias super tampan. Pria itu sedang bertelanjang dada karena baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggang.

Chifa melongo. Mungkin sekarang air liurnya akan menetes. Woah, ciptaan Tuhan yang paling indah.

Marvel langsung menutup bagian dadanya saat tahu mata gadis di depannya tertuju pada bagian itu. Dan yang parahnya lagi, gadis itu tidak menutupi ekspresi terpukaunya. Entah mengapa sekarang ia malah jadi takut. Ia tidak suka pada gadis agresif. Karena gadis didepannya masih melamun dan terpanah, ia pun harus lebih tegas menegurnya.

"Woy! Siapa kamu dan ngapain di kamar saya?"

Gadis itu mengerjap kemudian tersadar. Gadis itu segera menyengir hingga gigi putihnya terlihat. "Hehehe, maaf Tuan."

"Tuan?" Ia tidak mengerti. Ia terkejut karena ada orang yang masuk ke kamarnya. Seakan belum selesai dengan kejutan yang pertama, ia terkejut lagi karena orang yang masuk ke dalam kamarnya sama sekali tidak ia kenal. Jangan kan kenal, pernah melihat sebelumnya saja tidak pernah.

"Iya. Saya pembantu baru di sini," jawab Chifa tanpa dosa seolah-olah tadi ia tidak kepergok memandang tubuh majikannya.

"Pembantu?" Ah sepertinya bi Sumi benar-benar jadi mengambil cuti. Dan sekarang ibunya memperkerjakan gadis tak jelas ini. "Ya udah sana keluar," usir Marvel dengan nada tak suka.

"Tuan udah bangun ,kan?"

Pertanyaan itu sukses membuat Marvel menatap gadis itu lagi. Ia berpikir gadis ini buta atau bodoh. "Kamu gak lihat saya udah melek begini dan udah mandi?"

Gadis itu cengengesan lagi. "Hehehe. Nanya doang loh. Kok ngegas terus. Nanti cepet tua loh, Tuan."

Marvel menghela nafas. Baru kali ini ia berhadapan dengan pembantu yang berbicara seperti itu pada majikannya. Apalagi ini di hari pertama. Jangankan pembantu, gadis teman-teman sekelasnya dulu tidak ada yang berani berbicara asal-asalan padanya.

"Terserahmu. Cepet keluar!" tegas Marvel.

Gadis itu malah terkikik. "Iya-iya, Tuan. Marah-marah mulu deh. Kayak kakek lampir." Kemudian gadis itu berlari kecil meninggalkan kamar Marvel.

Marvel hanya bisa menggelengkan kepala. Tak habis pikir, gadis itu berbicara padanya seolah-olah sudah sangat akrab. Padahal mereka baru bertemu tidak lebih dari lima menit. "Gila."

Pembantu SablengkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang