"Bisa-bisanya kamu mecat dia tanpa seizin mamah!" Pekikan Liana membuat Eddy dan Marvel menutup telinga. Kini mereka tengah berbicara di ruang tamu. Liana mengamuk karena Marvel pulang tanpa Chifa. Dan begitu ditanya ke mana Chifa, Marvel menjawab sudah dipecat dan sudah dipulangkan ke kampung halamannya.
Sekarang Liana benar-benar kesal pada putranya. Bagaimana nanti dia menjelaskan pemecatan Chifa secara tidak hormat pada bi Sumi. Bi Sumi telah mempercayakan keponakannya pada Liana, dan sekarang gadis itu malah dipecat begitu saja.
"Tapi Mah, Mamah harus dengerin aku dulu. Dia aku pecat karena udah keterlaluan, Mah. Masa dia masuk kamar aku terus ngunci pintunya. Pas Kayla ketuk pintu, dia ngomong keras-keras supaya Kayla pikir aku udah nidurin dia."
Seketika Eddy dan Liana terkejut. Apakah Chifa seberani itu pada anak majikan?
"Terus pas Marvel pergi kerja, pulang-pulang dia lagi jambak rambut Kayla. Bahkan dia nampar Kayla sampe ujung bibirnya berdarah. Dia ngancem Kayla supaya gak deketin aku lagi karena dia suka sama aku. Dan dia nuduh Kayla selingkuh."
Kali ini Liana menghentikan Marvel yang berniat melanjutkan ucapannya. "Oke mamah akui salah dia. Tapi, tentang yang terakhir dia bilang Kayla selingkuh, berarti Kayla memang selingkuh, Vel."
Marvel terkekeh. "Mamah tau dari mana dia jujur? Dia aja memang niat banget jauhin aku dari Kayla. Pasti itu juga akal-akalan dia."
"Vel, bi Sumi pernah ngasih tahu mamah tentang semua keburukan Chifa dan keunikannya. Dan bi Sumi bilang, walaupun begitu, Chifa itu jujur bahkan terlalu jujur. Jadi dia gak mungkin bohong soal Kayla selingkuh."
Marvel menggeleng. "Enggak, Mah. Aku tahu Kayla itu kayak gimana. Dan aku paham kenapa Mamah langsung percaya sama omongan si Chifa itu. Mamah memang dari dulu gak suka sama Kayla, kan?"
Liana menghela nafas. "Buka mata kamu, Vel. Walaupun mamah gak suka sama Kayla, tapi mamah gak mungkin juga setuju kalau si Kayla dituduh. Ini yang ngomong, Chifa loh. Kamu inget gak pas dia ngintip kamu? Pas ditanya apa bener dia ngintip, dia jujur dia sengaja ngintip kamu. Padahalkan dia bisa ngomong kalau dia gak sengaja ngintip untuk nyelamatin pekerjaannya, kan?"
Marvel mengangkat tangan pasrah. "Udahlah, Mah. Aku gak mau debat sama Mamah. Lagian dia udah terlanjur aku pecat. Gak mungkin kan aku nyari-nyari dia ke segala penjuru Yogyakarta cuma untuk nemuin kampung halamannya dan jemput dia ke sini lagi."
"Udah-udah, yang lalu biarlah berlalu. Lagian ini udah lima hari sejak dia dipecat kan. Pasti dia udah baik-baik aja di kampung halamannya." Akhirnya Eddy menengahi.
"Terserahlah. Mamah mau nelepon bi Sumi dulu."
Sedangkan di tempat lain. Tepatnya di pedesaan yang sejuk dan asri, di pinggir sawah, berjongkok seorang gadis mengenakan capil (caping : penutup kepala berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu). Rambut sebahu gadis itu dibiarkan tergerai. Mata berkilaunya tengah memandangi seseorang yang sedang turun ke sawah untuk menanam bibit padi.
"Nduk, udah sana pulang. Kamu udah agak putih gitu malah main panas-panasan lagi," ucap seorang pria yang setengah pakaiannya sudah penuh lumpur.
Gadis itu menggeleng dan tersenyum. "Gak mau, Pak. Aku mau lihat Bapak nanam padi."
Setengah jam kemudian, pria yang dipanggil bapak itu naik ke atas kemudian berjalan menuju gubuk. Langkah pria itu diikuti oleh gadis yang sejak tadi menunggunya.
"Mau makan sekarang?" tanya gadis itu saat sudah duduk di gubuk dan hendak membuka rantang.
"Memangnya kamu masak apa, Nduk?"
Gadis itu masih saja tersenyum lalu membuka tutup rantang. "Tada! Ayam goreng!" ucapnya dengan sangat ceria.
Bukannya senang, pria itu malah terlihat sedih. "Owalah, Nduk. Kan bapak udah bilang, uang yang kemarin kamu dapat itu ditabung aja untuk ongkos kamu pergi ke kota lagi cari kerja. Soal makan kita irit-irit aja."
Gadis itu menatap ayahnya dengan senyum manis. "Udah lama loh aku gak masak makanan yang enak untuk Bapak. Tiap hari Bapak makan sama ikan asin atau garem. Untuk apa aku kerja kalau uangnya gak bisa Bapak nikmati."
Pria itu tersenyum melihat anak semata wayangnya. "Yang penting itu kebayar hutang kita. Jangan sampe rentenir itu datang lagi. Apalagi sekarang kamu di sini, Nduk. Bapak takut kita telat bayar dan akhirnya mereka bawa kamu."
Gadis itu tersenyum juga. Ia tahu ayahnya sangat mengkhawatirkan dirinya, namun apa boleh buat, ia sudah tidak memiliki pekerjaan lagi. "Kita serahkan semuanya ke Gusti Allah, Pak. Pasti ada jalan."
Pria itu menunduk. Seandainya dulu ia tidak meminjam uang ke rentenir itu, mungkin kehidupan mereka akan tenang. Namun, jika tidak meminjam ke rentenir, itulah satu-satunya jalan untuk meminjam uang untuk biaya pengobatan istrinya. Tidak ada satupun orang yang bisa dipinjami uang sebanyak itu karena rata-rata penduduk kampung juga hidup pas-pasan.
Tapi ternyata, takdir ilahi telah memanggil istrinya dan menyisakan hutang dengan bunga besar yang berkepanjangan. Sudah banyak harta benda yang ia jual untuk membayar hutang, namun tetap saja hutang itu tidak dapat lunas karena bunga yang besar itu membuat hutangnya tak kunjung lunas bahkan semakin membengkak. Dan terakhir, tinggal anak gadisnya satu-satunya harta yang ia miliki.
Terakhir kali rentenir itu datang, rentenir itu berkata bahwa jika bulan depan tak kunjung bisa membayar hutang yang menunggak, maka anak gadisnya akan dibawa oleh rentenir itu. Anak gadisnya akan diperkerjakan sebagai pembantu tak dibayar hingga hutang-hutangnya lunas. Dan jika anak gadisnya melarikan diri, maka nyawa dirinya yang akan menjadi taruhannya.
"Bapak bangga sama kamu, Nduk. Walaupun hidup kita penuh cobaan, tapi kamu masih bisa kelihatan ceria. Gak pernah nunjukin beban hidupmu yang sebenarnya."
Gadis itu tersenyum lagi. "Ibu pernah bilang sama aku. Itu pesan terakhirnya. 'Chifa, apapun yang terjadi kedepannya, berbahagialah, Nak. Jangan hilangkan senyummu. Buat orang lain bahagia dengan senyummu. Buat dunia tahu bahwa anak ibu adalah orang terbahagia di dunia' itu yang ibu bilang."
Ya, Chifa telah ditinggal pergi oleh ibunya ketika ia masih berusia 10 tahun, dan kalimat itu tidak pernah ia lupakan karena itu adalah pesan terakhir ibunya. "Chifa gak akan pernah lupa, Pak."
"Chifa! Pak Ghazali!"
Chifa dan ayahnya menoleh ke arah jalan. Di sana ia melihat tetangganya tengah berteriak dengan wajah panik. "Orang-orang kaca mata item itu datang lagi!"
Seketika tubuh Chifa menegang. Begitu juga dengan ayahnya.
* * * *
"Apa ini!" Segepok uang dilemparkan ke lantai papan dengan kasar. Sedangkan Chifa menunduk takut di belakang ayahnya. "Kalian pikir itu cukup! Kalian udah nunggak lima bulan! Apa kalian lupa kalau angsuran sebelumnya 3 juta? Hutang kalian itu gak kecil. Bisa-bisanya kalian main-main sama kami."
Rasanya Chifa ingin menangis karena takut melihat pria-pria berjam hitam dan berbadan tegap. Mereka tidak pernah berbicara lembut ataupun sopan. Semenjak ia sekolah ke kota, ia tidak pernah melihat mereka lagi. Namun sekarang, ia terjebak dalam situasi menakutkan ini. Apalagi masing-masing dari mereka memegang pistol.
"Pak, tolong kasih kami waktu. Saya mohon." Ayahnya sudah memohon-mohon karena takut anak semata wayangnya dibawa.
Salah satu dari pria menakutkan itu tersenyum miring. "Kamu pikir kami gak digaji? Kalau kamu gak bayar, kami gak bisa makan dan gak bisa senang-senang. Dasar orang kampung." Pria itu mengeluarkan surat perjanjian yang dulu pernah dibuat. "Sesuai perjanjian, anakmu kami bawa."
Chifa langsung menggeleng. "Enggak. Saya gak mau."
Tak mendengarkan permohonan Chifa dan ayahnya, tiga orang langsung memegangi kedua tangan Chifa dan menyeretnya keluar. Ghazali ingin menghalangi namun dua orang lainnya menghadang. "Jangan ingkar janji."
"Pak! Pak! Tolong Chifa! Chifa gak mau dibawa mereka!"
"Chifa! Kembalikan anak saya, Pak. Jangan bawa Chifa."
Kejadian itu tak luput dari perhatian para tetangga terutama bi Sumi. Begitu mengetahui anak buah rentenir mendatangi rumah Chifa, bi Sumi langsung datang bersama anaknya yang perutnya sudah sangat besar. Bi Sumi maupun para tetangga tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berani menyelamatkan Chifa yang dibawa masuk ke dalam mobil. Mereka hanya bisa ikut bersedih atas kemalangan yang diderita oleh keluarga Ghazali. Tidak ada yang berani melapor polisi karena rentenir.
"Ya Allah, Chifa. Maafin bibi ya. Bibi gak bisa buat apa-apa." Bi Sumi merasa sangat terpukul karena ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika keponakannya dalam kesulitan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantu Sablengku
Romance"Sableng-sableng gini hanya untuk dirimu, Tuan!" Chifa. Stres, gila, gendeng, sableng, adalah predikat yang diberikan oleh Marvel untuk Chifa. Seorang crazy rich bertemu dengan seorang crazy maid. Baru kali ini Marvel bertemu dengan pembantu yang me...