Selamat Tinggal Tuan

6.8K 583 5
                                    

Chifa terkejut melihat sosok Marvel berdiri dengan wajah penuh amarah dan benci. Pria itu menunjukkan ekspresi itu padanya, bukan pada Kayla. Ini sama sekali bukan yang ia harapkan. Dilihatnya Marvel datang menghampiri lalu menarik paksa dirinya agar tangannya yang menjambak Kayla terlepas.

"Apa-apaan kamu, Chifa! Udah gila kamu!" Marvel langsung berjongkok dan memeriksa kondisi Kayla. Ia terkejut melihat sudut bibir Kayla berdarah.

Marvel membantu Kayla berdiri kemudian menatap Chifa dengan tatapan sangat benci. "Kamu makin lama makin berani ya. Makin gila."

Chifa menggeleng. "Maaf, Tuan."

"Maaf? Kamu pikir semua kelakuan gila kamu bisa dimaafkan cuma dengan kata maaf?" Marvel sudah benar-benar marah sekarang.

Chifa menggeleng. "Enggak, Tuan. Tapi tadi saya cuma membela diri. Nenek lampir ini duluan yang nampar saya cuma karena saya mau bongkar perselingkuhan dia."

Kayla memeluk lengan Marvel sambil menunjukkan ekspresi takut, seolah-olah kini ia tengah trauma. "Enggak, Vel. Percaya sama aku. Dia itu lagi nuduh aku. Aku gak selingkuh dan aku gak nampar dia. Kamu tahu sendirikan kelakuan dia tadi pagi."

Tentu saja dengan mengingat kejadian tadi pagi Marvel jadi sangat percaya dengan ucapan Kayla. Dulu saat Chifa menjahilinya dengan mengintip dan mengusik ketenangannya, ia pikir itu hanya iseng semata, dan jujur saja itu tidak terlalu membuat ia terganggu. Bahkan ia sempat merasa cukup terbiasa dengan keisengan Chifa terutama saat gadis itu selalu mengantarkan makan siang. Namun sekarang, ia rasa jahilnya Chifa sudah semakin melampaui batas. Gadis itu bahkan berani melukai orang lain.

"Kamu keterlaluan, Chifa," ucap Marvel sambil menatap benci.

Saat menapakkan kaki di Yogyakarta, ia lebih terbiasa lagi dengan kehadiran Chifa. Bahkan saat gadis itu meninggalkan baju, dengan ikhlas ia mengantarkan gadis itu ke mall dan membelikan semua yang gadis itu inginkan. Bahkan ia sempat terhibur dengan langkah ceria gadis itu saat tahu ia akan membayar semuanya bajunya. Dan ia juga sempat sangat khawatir dan merasa bersalah saat gadis itu tidak makan sehari semalam karena ulahnya. Namun sekarang, ia semakin tidak menyukai gadis yang satu ini.

"Tuan tolong percaya sama saya. Apa yang saya lakuin tadi pagi itu memang untuk memisahkan kalian berdua karena saya tahu nenek lampir ini selingkuh. Saya gak mau Tuan disakiti," ucap Chifa serius.

"Kamu pikir saya percaya?" ucap Marvel tak mempercayai Chifa.

Kayla memeluk Marvel dengan erat. "Untung kamu datang tepat waktu, kalau enggak, aku gak tahu apa yang bakal terjadi ke depannya. Dia ngancem aku, Vel. Kalau aku gak ninggalin dan ngejauhin kamu, dia bakal bunuh aku."

Marvel sempat terkejut. Ternyata Chifa benar-benar sudah gila.

"Dia suka sama kamu, Vel. Makanya dia lakuin itu," lanjut Kayla lagi.

"Ya, saya suka sama, Tuan. Maka dari itu saya gak mau tuan disakitin sama dia. Saya lihat sendiri dia mesra-mesraan di parkiran-"

"Udah cukup, Chifa. Apapun yang kamu bilang, saya udah gak percaya lagi. Mulai sekarang, kamu saya pecat."

Seketika Chifa kaku ditempat. Dipecat? Mimpi buruk apa ini? Chifa menggeleng. "Enggak, Tuan. Jangan pecat saya cuma karena nenek lampir ini."

"Jangan pecat kamu cuma karena Kayla? Memangnya kamu seberharga itu di mata saya? Enggak. Kalau bukan karena mamah saya yang mempertahankan kamu, kamu udah saya tentang dari rumah sejak hari kedua itu. Kamu itu yang tak tau diuntung. Udah dikasihani, sekarang malah pengen milikin anak majikannya."

Mendengar ucapan Marvel, Chifa langsung terdiam. Ia menunduk dalam.

"Gak perlu balik ke Jakarta. Kampung halaman kamu kan sini. Saya kasih kamu ongkos pulang kampung dan sekarang juga kamu harus pergi dari sini." Setelah mengucapkan itu, Marvel membawa Kayla ke kamarnya untuk mengobati luka disudut bibir gadis itu.

Saat akan memasuki kamar Marvel, Kayla menoleh pada Chifa tanpa sepengetahuan Marvel dan ia tersenyum penuh kemenangan. Melihat itu, Chifa mengepalkan tangan. Ia kalah. Selalu begitu. Tidak pernah ada cinta yang berhasil ia raih. Mungkin ini adalah takdirnya. Ia harus bersabar.

Chifa pun masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Ia akan mulai mengemasi barang-barangnya. Lebih tepatnya, bajunya saja.

* * * *

Tok tok tok

Marvel membuka mata setelah satu jam tidur siang. Beban pekerjaan serta kejadian beberapa waktu lalu membuat pikirannya minta diistirahatkan. Dan sekarang, entah siapa lagi yang mengetuk pintunya. Ia bangkit dari sofa tempat ia tidur tadi, dan langsung berjalan menuju pintu.

"Tuan." Chifa menyapa dengan senyum ceria seperti biasanya.

Marvel sempat menatap Chifa dengan bingung. Gadis ini datang lagi padanya dengan senyum begitu ceria seolah-olah kejadian satu jam yang lalu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Atau jangan-jangan gadis ini amnesia.

"Ada apa lagi? Masih belum pergi juga? Atau mau memohon untuk gak dipecat?" tanya Marvel dengan nada dingin.

Chifa menggeleng, namun masih dengan senyum manisnya. "Tuan udah janji mau ngasih saya ongkos pulang, kan?"

Marvel menghela nafas. Sudah ia duga. "Hm. Tunggu sebentar di sini." Marvel kembali masuk dan tak lama kemudian keluar kembali dengan sebuah amplop coklat. "Ini. Saya rasa cukup untuk ongkos pulang kampung. Dan saya juga udah ngasih gaji satu bulan kamu."

Chifa menerima uang itu dengan mata berbinar. Aneh memang, dipecat dan dimarahi bukannya terlihat sedih, gadis ini malah terlihat senang. Tapi memang Chifa adalah gadis yang aneh.

Chifa memasukkan amplop itu ke tas kecilnya. "Makasih, Tuan. Dan ini." Chifa menyerahkan paper bag yang waktu itu sebagai kantung bajunya dari mall. "Saya rasa gak perlu bawa baju-baju ini."

Marvel mengerutkan kening karena bingung untuk yang kesekian kalinya. "Untuk apa? Saya udah bilang itu semua untuk kamu dan kamu gak perlu bayar, jadi semua itu milik kamu. Lagian saya gak mau direpotin sama baju-baju kamu itu."

Chifa meraih tangan Marvel, membuka telapak tangan pria itu, kemudian menyerahkan paper bag yang ia bawa. "Ini baju yang belum pernah saya pake. Jadi belum punya saya. Dan saya gak mau bawa kenangan apapun tentang, Tuan."

Seketika mata Marvel menatap manik mata Chifa yang masih terlihat ceria.

"Makasih selama ini udah sabar menghadapi saya. Dan ... Boleh gak saya minta sesuatu dari Tuan."

"Apa?" tanya Marvel malas.

Tiba-tiba mata Marvel membulat ketika tiba-tiba Chifa memeluknya. Belum selesai rasa terkejutnya, Chifa sudah melepaskan pelukannya. "Cuma itu." Kemudian Chifa tertawa. "Jangan baper dong, Tuan." Dan kemudian melenggang pergi dengan langkah ceria seperti biasanya. "Dadah, Tuanku Sayang!" Chifa melambaikan tangan.

Dan tidak ada yang tahu bahwa walaupun tingkah gadis itu aneh dan sering dikatai gila. Hati tetaplah hati. Sebagai manusia Chifa juga memiliki hati. Hatinya sudah retak. Ucapan Marvel sudah mematahkan hatinya. Namun ia tidak mungkin menunjukkan kekecewaannya pada Marvel karena pria itu tidak salah. Salahkan dirinya yang selalu mempercayakan cintanya pada pria tampan dengan mudah.

Selamat tinggal, Tuan. Mungkin kita gak akan berjumpa lagi.

Pembantu SablengkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang