Menebus Chifa

6.1K 497 6
                                    

Chifa dan Alex baru sampai di Bali pada malam hari. Alex langsung memerintahkan Chifa masuk ke dalam kamar. Sedangkan Alex, entah apa yang akan dilakukan pria itu di balkon kamar sampai menjelang pagi.

Chifa menutup pintu kamar dan langsung membaringkan badan. Pikirannya tak kunjung tenang semenjak ia meninggalkan kota Yogyakarta. Ia takut salah bertindak. Ia memang kecewa pada Marvel, tapi apakah pantas ia menolak kebaikan orang lain? Tapi saat itu ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Alex menatap mengancam. Jika ia melawan, maka nyawa ayahnya yang pasti terancam.

"Ya Allah, hamba harus apa?" Chifa menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala.

Tok, tok, tok

"Chifa, ini bi Tia." Suara bi Tia membuat Chifa langsung terbangun dan kembali membuka selimut.

Chifa segera turun dari kasur dan membukakan pintu untuk bi Tia. "Ada apa, Bi?" tanya Chifa pada bi Tia. Terlihat bi Tia membawa sebuah nampan berisi makanan dan juga salep.

"Tuan nyuruh bibi ngobatin kamu. Katanya udah tiga hari luka kamu belum diobatin. Tambah lagi tadi ditampar Kayla," jawab bi Tia sambil berjalan masuk lalu meletakkan nampan di meja nakas.

Chifa menguap tanda telah mengantuk. "Tapi ini udah hampir pagi, Bi. Mana aku belum tidur sedetikpun. Nanti pagi aja deh, Bi," tolak Chifa karena memang ia sangat mengantuk.

Bi Tia menghela nafas. Chifa ini seperti tidak tahu bagaimana Alex. Jika perintahnya terlambat dilaksanakan, maka Alex akan murka. "Sekarang, Chif. Nanti Tuan marah."

Akhirnya Chifa menurut saja. Ia tidak bisa berbuat apa-apa jika bi Tia sudah mengatakan 'nanti Tuan marah'. Bi Tia pun dengan telaten mengobati luka dan lebam diwajah cantik Chifa. Beberapa menit kemudian, akhirnya bi Tia selesai dengan pekerjaannya. Dan Chifa diminta makan makanan yang telah dibawakan. Dan tentunya lagi-lagi Chifa tidak dapat menolak. Setelah makan, barulah Chifa bisa tidur dengan nyenyak.

Di lain tempat, ada seseorang yang tidak tidur ataupun beristirahat. Orang tersebut terus duduk di depan laptop sambil berbicara dengan seseorang lewat sambungan telepon. Orang tersebut adalah Marvel. Sejak Chifa dan Alex meninggalkan hotel, Marvel juga meninggalkan hotel akan tetapi tidak langsung bertolak ke Jakarta. Marvel menginap di hotelnya yang baru diresmikan tadi malam. Sekarang fajar telah datang, tapi Marvel belum tidur sedetikpun.

"Oke, aku udah dapet suratnya, Kak. Makasih, maaf ganggu," ucap Marvel sambil menutup laptopnya.

"Makanya kalau dikasih tahu kakak sendiri itu dengerin. Sekarang gimana kamu sama Kayla?" tanya Alvian dari seberang telepon.

Marvel memijat pelipisnya. Untuk sekarang rasanya malas sekali membahas wanita penghianat itu. "Malas bahasnya, Kak. Sekarang aku mau fokus sama masalah Chifa. Aku merasa bersalah banget. Sekarang aku mau nebus kesalahan aku."

"Ekhm. Merasa bersalah atau karena suka dan gak rela Chifa di tangan Alex?" sindir Alvian.

"Apaan sih, Kak. Dia itu mantan pembantu kesayangan mamah. Gimana pun juga dia udah pernah jadi keluarga kita walaupun cuma sebagai pembantu. Jadi aku cuma mau mastiin dia baik-baik aja. Kalau sama Alex, aku gak percaya dia bakal aman. Aku tahu dia gak baik-baik aja sama Alex karena kemarin aku lihat muka dia lebam-lebam. Dan dulu dia pernah mohon-mohon aku bantu dia keluar dari rumah itu, tapi aku malah marah-marah dan nuduh dia yang enggak-enggak," jawab Marvel panjang lebar.

"Hm, baguslah kalau kamu sadar. Kakak harap usaha kamu berhasil dan lancar," ucap Alvian sebelum mengakhiri sambungan telepon.

Setelah puas berbicara sebentar, akhirnya Marvel mengakhiri panggilan. Ia menghela nafas kemudian menyandarkan punggungnya ke sofa sebentar.

Pembantu SablengkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang