Chifa sebenarnya senang karena Marvel sedang membujuknya, akan tetapi ia berusaha untuk jual mahal sedikit. Biarlah ia mengabaikan Marvel sebentar agar pria itu tahu bahwa tidak seharusnya mengabaikan dirinya demi sang sepupu yang sengaja mengambil perhatian."Chif?" Tangan Marvel melingkar di pinggang Chifa.
Chifa menahan nafas. Ia ingin tertawa senang namun tetap ia tahan.
"Kamu marah karena saya ngabaikan kamu kan?" tanya Marvel lagi.
Chifa masih tidak menjawab. Marvel tidak putus asa. Ia akan terus membuat Chifa berbicara padanya. Selama ini Chifa tidak pernah cuek padanya, oleh sebab itu kini ia merasa sangat tidak nyaman.
"Chif, jawab dong," pinta Marvel.
"Hm." Chifa menjawab dengan sangat singkat.
Marvel tidak kehabisan akal. Jika dengan cara merayu tidak mempan, ia masih belum kehabisan ide. Marvel pun bergerak untuk bangkit sambil menahan senyum. "Ya udah kalau gak mau ngomong. Saya pergi ngobrol dulu aja sama Claudya sambil nunggu ngantuk dateng."
Baru akan turun dari ranjang, Chifa menangkap tangan Marvel. "Mau kemana? Kalau pergi, saya nambah marah lagi nih," ancam Chifa.
Marvel menoleh sambil tersenyum. "Oke. Saya gak pergi." Marvel duduk lagi menghadap pada Chifa.
Wajah Chifa cemberut. Wajahnya benar-benar masam kali ini. "Saya tuh marah karena Tuan gak bisa tegas ke si Claudya. Saya kan istrinya Tuan, masa dia terus-terusan nyita waktu Tuan. Bahkan untuk nanya tentang jemput bapak aja saya gak punya waktu."
Marvel tersenyum lagi kemudian mencubit pipi Chifa. "Iya maaf. Mulai sekarang saya gak akan ngabaikan kamu lagi. Tapi ingat." Marvel menoel hidung Chifa. "Jangan panggil tuan lagi. Saya bukan majikan kamu, dan kamu bukan pembantu saya."
Chifa langsung tersenyum dan mengangguk. "Oke Masku sayang." Dan langsung memeluk Marvel.
Marvel membalas pelukan Chifa. "Besok kita jemput Bapak pagi-pagi ya. Kata papah, bapak sampai di bandara jam 8 pagi."
Chifa mengangguk.
* * * *
Pagi hari ini, Chifa kembali pada mood jeleknya. Bagaimana tidak kesal, lagi-lagi Claudya mengambil tempat dirinya. Tadi Chifa baru selesai masak, saat akan duduk di samping Marvel, Claudya sudah lebih dulu menyerobot tempatnya. Terpaksa ia duduk di samping bi Sumi. Tak hanya cukup sampai di situ, ia bahkan tidak jadi melayani sarapan Marvel karena lagi-lagi Claudya menyerobot tugasnya.
Saat sarapan Marvel terus melirik ke arah Chifa. Chifa terlihat sangat kesal. Istrinya itu memotong lauk pauk dengan penuh tenaga dan memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan kasar. Melihat dari jauh ia merasa sangat tidak enak hati. Padahal tadi malam ia telah berjanji untuk tidak mengabaikan Chifa lagi.
Tapi kemudian ia memiliki ide. "Chif, ini enak loh. Buka mulutnya." Marvel menyodorkan sesuap nasi dan lauk pauk yang berasal dari piringnya. Ia tidak peduli tangannya melintasi meja, yang terpenting Chifa tidak marah lagi.
Wajah Chifa yang masam berubah ceria lagi. "Apa iya? Saya belum nyicip yang itu Mas."
Baru saja akan membuka mulut, tiba-tiba ....
"Wah, aku juga mau, Kak. Hap." Claudya menyerobot dan langsung melahap makanan yang disuapkan oleh Marvel.
Kenny berdecak. Mengapa cucunya yang satu itu tidak mengerti sopan-santun. Tidak seharunya Claudya mengganggu momen romantis antara Chifa dan Marvel.
"Claudya, itu suapan untuk Kakakmu, Chifa," tegur Nicole.
Claudya mengunyah makanan dengan penuh semangat. "Emmm enak banget, Kak." Claudya beralih pada Chifa. "Kak, memang enak kok. Ambil lauknya sendiri." Claudya menyodorkan piring lauk yang sama dengan yang Marvel suapkan tadi.
Claudya kembali pada Marvel. "Kak, aku sepiring sama Kakak aja ya. Enak banget loh lauknya."
Marvel melirik Chifa yang wajahnya semakin suram. Tidak pernah ia melihat wajah Chifa yang semuram sekarang. Sungguh sedikit menakutkan. "Emm, iya boleh." Walaupun tidak ingin melihat Chifa marah, namun ia tidak bisa menolak Claudya. Jika ia melakukan itu, mungkin Claudya akan lebih merepotkan lagi.
Baru meneruskan makan, Marvel melihat Chifa berdiri sambil membawa piring yang makanannya belum habis, bahkan habis separuhpun tidak. "Chifa udah kenyang. Chifa duluan ya."
Marvel menatap kepergian Chifa yang sedang kesal setengah mati. Ia yakin setelah ini akan semakin sulit membujuk Chifa.
Setelah semua selesai sarapan, Marvel langsung naik ke kamar. Ia tidak peduli Claudya yang terus menahannya dan minta ditemani ke mini market untuk membeli camilan. Sekarang ia harus benar-benar bicara pada Chifa.
Sesampainya di kamar, Marvel melihat Chifa sudah berganti pakaian dan sudah siap berangkat menjemput keluarga dari Yogyakarta. Istrinya itu tengah duduk di depan cermin sambil menyisir rambut. Istrinya tidak mempedulikan kehadirannya.
"Chifa jangan marah ya. Saya kan gak bisa terlalu tegas sama dia. Dia itu sepupu yang udah saya anggap adik sendiri. Saya gak bisa terlalu kasar sama dia. Takutnya dia malah nangis. Dia itu manja dan selalu dapetin apa yang dia mau, jadi ya begitu, ngeselin. Tapi saya gak bisa bikin dia nangis. Tolong ngertiin saya ya. Saya gak bermaksud ngabaikan kamu."
Chifa melirik sekilas pada Marvel. Apa yang barusan suaminya katakan? Lalu apakah suaminya itu tega melukai hati istrinya demi sepupunya yang sengaja membuat jarak di antara mereka? Seorang sepupu, atau bahkan seorang adik kandungpun tidak mungkin membuat jarak antara saudara dan saudara iparnya jika bukan karena maksud jahat. Bisa jadi karena tidak setuju, atau maksud tak baik lainnya.
"Saya ngerti. Saya juga ngerti diantara kita kan cuma ada cinta sepihak, jadi memang seharusnya saya gak terlalu berharap Mas bisa ngertiin saya. Cukup saya aja yang ngertiin Mas selaku orang yang mencintai Mas."
Deg.
"Dan saya juga seharunya berterima kasih sama Claudya, berkat dia saya tahu seberapa peduli dan pentingnya saya di hati Mas. Ternyata saya gak sepenting sepupu Mas itu." Chifa berdiri dan mengambil tasnya. "Saya pergi sendiri aja sama mamah papah. Mas tungguin aja sepupu Mas yang pengen ditemenin ke mini market itu. Dia lebih butuh Mas."
Chifa berjalan ke arah pintu luar. Saat melewati Marvel, tangannya ditahan oleh Marvel. Kini posisi mereka saling membelakangi namun tangan mereka saling terpaut.
"Kamu bilang apa? Apa maksud kamu ngomong begitu, Chifa?" tanya Marvel dengan nada rendah.
Chifa tidak menjawab. Ia diam saja karena sudah terlewat kesal.
"Kamu bilang kamu gak penting di hati saya?"
Marvel berbalik lalu menarik kuat tangan Chifa hingga Chifa berbalik dan mereka saling bertubrukan. Mata Marvel mengunci mata Chifa. Mereka terdiam sesaat dalam jarak yang begitu dekat.
Marvel mengambil tangan Chifa kemudian diletakkan di dadanya. "Kamu rasain detak ini." Marvel menatap Chifa lebih dalam. "Udah lama detak ini terus begini sejak kamu kembali dari rumah Alex."
"Dan kamu bilang saya gak peduli dan kamu gak penting di hati saya?" Marvel mengatupkan rahangnya. Sebenarnya ini sangat sulit diucapkan, namun ia harus mengatakannya. "Apa kamu gak bisa lihat betapa selama ini saya selalu peduli sama kamu? Kamu penting di hati dan hidup saya, Chifa. Walaupun saya sempat membenci kamu karena salah paham, tapi setelah itu saya tahu saya terlalu peduli sama kamu. Saat kamu jauh dari jangkauan saya, pikiran saya selalu kacau. Bahkan gak jarang saya bertengkar sama Kayla cuma karena pikiran saya selalu mikirin kamu. Itu berarti kamu penting di hidup saya, Chifa."
Marvel melepaskan tangan Chifa dan beralih menangkup kedua pipi Chifa. "Saya memang bodoh. Saya baru sadar setelah kita menikah. Saya baru sadar kalau ... Saya cinta kamu, Chifa."
Marvel langsung mendekatkan wajahnya dan .... Cup. Marvel mencium bibir Chifa dan bukan hanya sekedar kecupan biasa. (Yah, kalian tahu sendiri ya. Author mah tidak tahu apa-apa 🙈)
Ceklek.
"Ups!" Liana menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Aduh, Liana ini ganggu aja deh. Kasihan tuh Marvel. Ah, gagal sudah kalau begini. Dasar Liana. Hehehe, gak takut di demo sama readers apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantu Sablengku
Dragoste"Sableng-sableng gini hanya untuk dirimu, Tuan!" Chifa. Stres, gila, gendeng, sableng, adalah predikat yang diberikan oleh Marvel untuk Chifa. Seorang crazy rich bertemu dengan seorang crazy maid. Baru kali ini Marvel bertemu dengan pembantu yang me...