Sudah seminggu ini Marvel disibukkan dengan urusan pencarian Chifa. Dia sudah melapor pada polisi namun hingga saat ini polisi masih belum bisa menemukan di mana Chifa. Bahkan, jejak rentenir itu pun tidak diketahui walaupun warga setempat telah menceritakan kisah serta ciri-ciri lima pria yang selalu datang menagih hutang Ghazali.
Dan selagi Marvel masih mencari Chifa, Liana dan Eddy telah memberikan bantuan pada Ghazali. Mereka membiayai pengobatan Ghazali serta membelikan rumah baru yang lebih layak.
Hari ini Marvel mendapatkan kabar dari kepolisian bahwa di seluruh Yogyakarta tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan Chifa. Dan dirinya sudah berbicara dengan sang kakak, yakni Alvian. Alvian mengatakan bahwa sebaiknya laporan pada kepolisian ditutup saja. Alvian akan mengerahkan orang-orangnya untuk membantu mencari Chifa. Bila perlu dari Sabang sampai Merauke.
"Vel, kenapa kamu sampe segitunya banget sih nyari si pembantu gila itu? Bahkan sekarang kamu gak punya waktu untuk aku. Apa dia begitu penting melebihi aku?"
Lagi-lagi Kayla datang ke kantornya hanya untuk bertanya hal yang menurutnya sangat tidak berguna. Tentu saja Kayla itu penting untuk nya. Akan tetapi sekarang ia sedang berusaha untuk menebus rasa penyesalannya. Seandainya ia bisa lebih bijak, mungkin ini tidak akan terjadi. Ia memecat Chifa yang setelah dipikir-pikir hanya karena ingin menyelamatkan hubungan dirinya dengan Kayla. Dan karena hal itu, gadis itu kini entah di mana dan tidak tahu bagaimana kabarnya.
Marvel memijat pelipisnya. "La, bisa gak gak usah bahas tentang perbandingan kamu sama Chifa? Aku lagi pusing."
Kayla tersenyum sinis. "Oh, berarti kamu anggap aku ini bikin kamu tambah pusing?"
Tuh kan mulai lagi. Entah bagaimana caranya membuat Kayla mengerti. Sekarang ia menyerah. Terserah gadis ini mau berasumsi seperti apa. "Terserah kamu aja, La. Aku bingung harus ngomong apa lagi." Kemudian Marvel mendiamkan Kayla.
Di diami seperti itu, Kayla langsung beranjak ke belakang kursi kerja Marvel. Ia langsung memeluk leher Marvel dari belakang. "Kamu marah ya? Maaf ya. Aku cuma gak mau kehilangan kamu."
Marvel hanya diam kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. Karena tidak ditanggapi, akhirnya Kayla menyerah. Sekarang Marvel serang marah, jika ia terus menggodanya, maka yang ada Marvel akan semakin tidak suka.
"Ya udah kalau gitu. Aku gak larang kamu cari dia kok. Aku cuma pengen kamu luangin waktu untuk aku. Apalagi sekarang aku kan pacar kamu." Kayla kembali ke depan. "Aku pulang dulu ya. Jangan terlalu capek."
Marvel hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Kayla menghela nafas kemudian beranjak keluar dari ruangan Marvel.
Begitu pintu ditutup, Marvel menyandarkan badannya pada kursi. Sebenarnya ia tidak berniat benar-benar menyelesaikan pekerjaannya. Tadi ia hanya menghindari Kayla agar gadis itu tidak terus berbicara.
Kini ia melamun. Kamu di mana sih? Bahkan jejak pun gak ada. Ia memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya.
* * * *
"Chifa, gimana? Udah selesai belum?"
Chifa menoleh ke pintu, ia memberikan senyum lebar. Di sana ada seorang wanita paruh baya yang tengah mengawasi pekerjaannya. Chifa mengangguk sambil merapikan selimut berwarna putih. "Udah."
Wanita paruh baya itu menghela nafas lega. "Baguslah. Sekarang lebih baik kamu langsung masuk ke dapur. Makan malam harus udah selesai sebelum tuan pulang."
Chifa mengangguk sambil tersenyum. "Oke."
Sama seperti biasanya dan sama seperti sebelum-sebelumnya. Chifa selalu penuh dengan semangat dan keceriaan. Ia berjalan dengan ceria menuju pintu kemudian melewati wanita paruh baya itu.
"Hati-hati jalannya, nanti kalau kamu jatuh tuan ngamuk lagi," ucap wanita paruh baya itu memperingati. Ia masih sangat ingat bagaimana gadis itu jatuh dari tangga karena tidak hati-hati kemudian lima hari tidak bisa bekerja. Tuan mereka hampir setiap hari marah karena pembantu barunya tidak bisa bekerja dan hanya menghabiskan uang untuk biaya pengobatan.
Chifa sempat menoleh ke belakang. "Oke, bi Tia."
Belum sempat kakinya memasuki dapur, kakinya sudah membeku di tempat. Bagaimana tidak, pria yang tampan namun menakutkan itu sudah berdiri dengan tatapan tajam. Pria itu menyampirkan jasnya di lengan, membiarkan kemeja putih itu membentuk tubuh atletisnya dengan sempurna.
"Tu-tuan udah pulang?" Chifa membungkuk. Ini adalah kebiasaan barunya. Saat bekerja di rumah Liana, ia tidak perlu sehormat ini pada majikannya. Bahkan jika diingat-ingat, ia tidak sopan sama sekali. Dan kini ia harus sangat menjaga sopan-santun. Jika tidak, maka siap-siap pipinya menjadi sasaran empuk telapak tangan lebar milik tuannya.
Pria itu melemparkan jasnya ke wajah Chifa. "Siapkan air hangat."
Chifa langsung mengangguk sambil tersenyum. "Oke." Ia pun kembali berjalan ke lantai atas di mana bi Tia sudah menunduk karena tuannya akan lewat.
Sebenarnya ia sangat takut pada pria yang kini berjalan di belakangnya. Akan tetapi satu yang selalu ia terapkan dalam hidup, yakni terus tersenyum dan terlihat bahagia. Mengapa? Karena terus bahagia adalah pesan terakhir ibunya.
"Kalau kamu jatuh, saya gak akan segan-segan buat kamu jatuh dari balkon lantai dua."
Mendengar suara dingin itu, Chifa langsung memperlambat langkahnya. Ia harus melangkah dengan hati-hati.
Sesampainya di kamar tuannya, Chifa langsung masuk ke dalam kamar mandi. Ia menyiapkan air hangat yang temperaturnya harus sesuai dengan keinginan tuannya. Jika sedikit terlalu panas atau dingin, maka ia akan mendapatkan hukuman. Di saat itu mungkin ia hanya bisa menangis, inilah nasib budak penebus hutang."Lama banget sih? Cepetan!" teriak tuannya dari kamar.
"I-iya Tuan!" Chifa langsung keluar kamar mandi dan langsung menghampiri tuannya. Tuannya itu sedang berdiri sambil menatap dirinya dengan tajam. "Maaf, Tuan." Ia berdiri tepat di depan tuannya.
"Cepat, saya udah lengket banget," ucap pria itu dengan tegas.
Chifa mengangguk dan langsung membantu tuannya melepaskan dasi. Selesai dengan dasi, Chifa beralih membantu melepaskan kancing kemeja. Setelah selesai melepaskan kemeja tuannya, Chifa tersenyum manis. "Sudah, Tuan."
Tanpa mengucapkan apapun, pria itu langsung melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan Chifa langsung membawa pakaian kotor tuannya ke bawah untuk segera di cuci. Tuannya yang satu ini tidak suka ada pakaian kotor di kamar. Sangat berbeda dengan Marvel yang tidak membuat repor dirinya hanya karena bolak-balik mengambil pakaian kotor. Dan Marvel juga tidak pernah membuat kamarnya berantakan. Tidak seperti tuannya yang satu ini, setiap pagi kamarnya seperti kapal pecah. Entah apa yang dilakukan oleh tuannya setiap malam.
Mengingat Marvel, bibir Chifa tersenyum. Dulu ia pikir pria itu terlalu jahat karena selalu marah-marah saat bersamanya. Marvel juga tidak pernah berbicara lembut padanya. Akan tetapi jika dibandingkan dengan tuannya yang sekarang, tentu Marvel jauh lebih baik. Jujur, ia sangat merindukan Marvel. Dan tentunya ayahnya juga.
"Kapan aku bisa pulang?" tanya Chifa pada dirinya sendiri ketika ia sedang berjalan menuruni anak tangga.
* * * *
Sekian dulu ya, terima kasih atas votenya 😘😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantu Sablengku
Romance"Sableng-sableng gini hanya untuk dirimu, Tuan!" Chifa. Stres, gila, gendeng, sableng, adalah predikat yang diberikan oleh Marvel untuk Chifa. Seorang crazy rich bertemu dengan seorang crazy maid. Baru kali ini Marvel bertemu dengan pembantu yang me...