Sepanjang perjalanan Chifa terus menangis. Awalnya ia menangis keras sekali, akan tetapi karena bentakkan dari anak buah rentenir, akhirnya Chifa memilih menangis tanpa suara. Chifa tidak tahu akan dibawa ke mana. Mereka membawa Chifa sangat jauh dari desanya. Kemudian ia sangat terkejut saat mengetahui ia akan dibawa ke bandara.
"Pak, saya mau dibawa ke mana?" tanya Chifa ketika disuruh turun dari mobil untuk masuk ke bandara. Jika ia akan dibawa ke Jakarta, maka ia bisa kabur dan bisa lari ke rumah Marvel untuk meminta perlindungan. Akan tetapi ....
"Gak usah banyak tanya."
Chifa kembali menangis lagi. Bagaimana jika ia akan dibawa ke luar negeri? Bagaimana ia bisa meminta tolong? Ia takut tak bisa bertemu lagi dengan ayahnya. Sungguh ia sangat takut akan tetapi sekarang tidak ada siapapun yang bisa dimintai tolong.
Setelah melakukan penerbangan dan naik mobil lagi yang tentunya memakan waktu lama, akhirnya mobil yang membawa Chifa berhenti di depan sebuah rumah mewah. Rumah mewah ini sama mewahnya dengan rumah Marvel dan Kayla.
"Turun!"
Sepertinya anak buah rentenir ini memang tidak bisa berbicara baik-baik. Selalu saja kasar dan bentak-bentak. Mau tidak mau Chifa harus mengikuti perintahnya. Kini ia memasuki rumah itu dengan dikawal lima orang pria berbadan tegap.
Berasa kayak orang penting.
Di situasi yang sangat tidak baik-baik saja ini, Chifa masih bisa berkhayal menjadi orang yang sangat penting bagi negara.
Saat sedang melamun, tiba-tiba ia dikejutkan dengan pintu yang terbuka dengan sendirinya. Kemudian ia masih dipaksa untuk memasuki rumah mewah itu.
Sebenarnya Chifa sudah tidak terlalu asing lagi dengan isi rumah-rumah mewah. Yang membuatnya takut adalah, setelah ini ia akan diapakan?
Begitu sampai di ruangan yang sangat luas, ia diperintahkan untuk bertekuk lutut di lantai.
"Cepat panggilkan Tuan."
Tak berselang lama, dari lantai dua terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Semua anak buah rentenir itu membungkuk untuk memberi hormat. Chifa pun menengadah untuk melihat siapa yang tengah menuruni anak tangga sehingga membuat pria-pria garang di samping kanan kirinya hormat.
Seketika mulut Chifa ternganga. "Dia ...."
Satu bulan kemudian.
Hari ini bi Sumi kembali bekerja karena ia batal mengambil cuti satu tahun. Anaknya sudah melahirkan tiga minggu yang lalu, dan beruntung suami anaknya tiba-tiba pulang dari perantauan. Kini bi Sumi tengah menyusun makanan untuk sarapan di atas meja makan. Keluarga Willson sudah berkumpul, termasuk Marvel.
"Saya seneng Bibi gak jadi cuti setahun," ucap Liana yang sangat senang.
Bi Sumi tersenyum kemudian meneruskan pekerjaannya menyusun piring.
"Oh ya, Bi. Apa Chifa ada cerita tentang pemecatannya?" tanya Liana yang sedikit tidak enak hati. Pasti bi Sumi sakit hati karena Chifa dipecat secara tidak hormat oleh Marvel.
Bi Sumi menggeleng. "Dia gak cerita apa-apa ke saya, Nya. Begitu sampai di kampung, dia sibuk bantu bapaknya di sawah."
"Dia anak yang baik ya," puji Eddy. Menurutnya jarang sekali ada anak gadis yang mau membantu di sawah. Apalagi di sawah itu panas dan berlumpur.
Marvel mencebik. "Baik apanya, gila sih iya."
Liana langsung melototi Marvel, kemudian menatap suaminya. "Pah, bilangin tuh. Jangan suka ngomong seenaknya."
"Iya, Vel. Gak boleh gitu. Dia itu sebenarnya baik kok. Cuma dia masih kekanak-kanakan," ucap Eddy mengabulkan permintaan istrinya.
Eddy dan Liana mengalihkan pandangan ke bi Sumi karena tangan bi Sumi yang sedang menuang air tiba-tiba gemetar. Dan ternyata bi Sumi tengah menahan air matanya.
"Loh, kenapa, Bi?" Liana bangkit untuk mengambil teko kaca yang dipegang bi Sumi, kemudian meletakkannya di atas meja. Setelah itu Liana membantu bi Sumi duduk. "Maaf kalau kata-kata Marvel bikin bibi tersinggung."
Marvel juga menatap bi Sumi. Ada rasa bersalah saat melihat bi Sumi menangis karena ia menghina keponakan bi Sumi.
Bi Sumi menggeleng. "E-enggak apa-apa kok, Nya. Saya cuma keinget Chifa aja." Bi Sumi sempat membuat senyum palsu. "Dia itu memang rada-rada sableng. Tapi sekarang ...." Tapi bi Sumi sudah tidak sanggup untuk tersenyum lagi. Air matanya malah semakin deras mengalir.
Melihat bi Sumi semakin menangis, Liana, Eddy, dan Marvel jadi merasa bingung. Apakah bi Sumi sesayang itu pada keponakannya sehingga hanya karena rindu bi Sumi sampai menangis sesegukkan. "Tapi apa, Bi? Kalau kangen, nanti saya kasih cuti lagi deh, supaya bisa nemuin Chifa di kampung," ucap Liana.
Tiba-tiba tangis bi Sumi semakin menjadi. "Gak Nya. Gak bisa."
"Loh, kenapa gak bisa?" tanya Liana bingung. Mau diberi cuti kok tidak bisa.
"Chifa udah gak ada di kampung." Bi Sumi mengelap air matanya yang sudah sangat membasahi pipi. "Saya gak tau dia ada di mana sekarang."
"Dia kabur?" tanya Marvel.
Bi Sumi menggeleng. Ia memenangkan diri sebentar untuk mulai bercerita. "Orang tuanya Chifa itu punya hutang ke rentenir. Udah 9 tahun, tapi belum lunas malah makin membludak. Satu bulan yang lalu kan Chifa pulang ke kampung karena dipecat, terus lima hari kemudian datang anak buah rentenir itu. Sesuai perjanjian yang terpaksa disetujui bapaknya Chifa, Chifa pun dibawa ...." Bi Sumi tak kuasa menahan tangisnya lagi.
"Astaghfirullah!" Liana, Eddy, dan Marvel sama-sama terkejut.
Tiba-tiba Marvel ingat ucapan Chifa saat dulu bersimpuh di kakinya. "Tuan, jangan pecat saya. Saya mohon. Kalau saya dipecat, siapa yang bayarin hutang orang tua saya di kampung? Saya kerja di sini kan baru dua hari, pasti masih banyak lakuin kesalahan. Tolong maafin saya ya, Tuan. Kalau saya dipecat, terus orang tua saya gak bisa bayar hutang, nanti saya diambil sama rentenir itu."
Dan dengan kejamnya ia mengatakan, "Kamu pikir saya percaya sama cerita khayalan yang sering mamah saya baca di novel? Gak, kamu tetep saya pecat."
Ia tidak menyangka bahwa pada saat itu Chifa benar-benar mengatakan yang sejujurnya.
"Terus sekarang ada kabar apa, Bi?" tanya Marvel dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak apa maksud dari ekspresi khawatirnya.
"Saya gak tahu Chifa dibawa ke mana. Semenjak dia dibawa pergi, gak ada lagi kabarnya. Bapaknya sedih banget dan selalu nyalahin dirinya sendiri. Bapaknya bahkan gak mau makan dan sekarang malah sakit." Kemudian tangis bi Sumi datang lagi. "Ya Allah, Nya. Saya bener-bener bingung harus gimana. Nyari pun gak bisa. Bantu nebus hutangnya pun gak bisa. Saya harus gimana, Ya Allah. Apa yang Chifa alami sekarang? Dia pasti ketakutan."
Tiba-tiba Marvel terbayang wajah ceria Chifa. Ia mengingat bagaimana gadis itu tertawa, cemberut, berjalan ceria, dan wajah berbinar yang tak pernah luntur. Bahkan ia mengingat kali terakhir gadis itu memeluknya. Gadis itu menyatakan itu adalah permintaan terakhirnya.
Permintaan terakhir? Apakah gadis itu sudah tahu bahwa dirinya akan dibawa oleh rentenir?
"Sabar, Bi. Aku bakal bantu cari," ucap Marvel sambil meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sarapannya sedikitpun.
Tahu bakal begini, semenyebalkan apapun kamu, dan sebenci apapun aku, aku gak akan pecat kamu. Asalkan kamu aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantu Sablengku
Roman d'amour"Sableng-sableng gini hanya untuk dirimu, Tuan!" Chifa. Stres, gila, gendeng, sableng, adalah predikat yang diberikan oleh Marvel untuk Chifa. Seorang crazy rich bertemu dengan seorang crazy maid. Baru kali ini Marvel bertemu dengan pembantu yang me...