Apakah Dipelet?

6.3K 472 3
                                    

Hari ini Marvel bertemu dengan kakaknya di kafe yang tak jauh dari kantornya. Kakaknya sengaja datang ke Jakarta untuk membahas tentang pencarian Chifa, dan tentunya sekalian melepas rindu pada kedua orang tua mereka. Sekarang mereka tengah membahas hal yang sangat serius, yakni perkembangan pencarian Chifa yang ditangani oleh Alvian.

"Jadi di Yogyakarta memang gak ada jejaknya?"

Alvin mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Marvel. "Ini juga yang bikin kakak bingung. Pantes aja polisi gak bisa nyari jejak Chifa."

Marvel menghela nafas. Entah mengapa semakin hari dadanya semakin sesak jika memikirkan Chifa. Gadis itu dibawa ke mana? Oleh siapa? Keadaannya seperti apa? Dan bagaimana nasibnya sekarang? Entah mengapa sekarang ia menjadi merasa bersalah.

"Kalau begitu kita harus cari keluar daerah Yogyakarta," ucap Marvel sambil memandangi pemandangan di luar kafe.

Alvian mengangguk. "Hm. Oh ya, bukannya lusa kamu harus menghadiri acara ulang tahun rekan bisnis kamu?"

Marvel mengangguk. "Iya. Males sebenarnya, tapi kata om Iqbal aku harus dateng demi kerjasama perusahaan. Katanya ini adalah salah satu etika bisnis."

Alvian terkekeh melihat wajah adik bungsunya. Dia tahu betul bahwa Marvel sejak dulu  tidak menyukai pesta. Lebih tepatnya sangat malas jika harus datang ke suatu acara. "Untung kakak gak jadi pembisnis kayak kamu."

Marvel mendengus. "Kakak pikir aku dipaksa belajar bisnis karena siapa? Karena Kakak gak mau, jadinya aku yang dipaksa. Kakak enak buka restoran sendiri, gak harus punya kolega bisnis juga gak masalah. Lah aku ini, dikit-dikit cari investor, dikit-dikit kerjasama, dikit-dikit cari keuntungan, teruuuss ... sampe aku sendiri banyak lupa nama-nama rekan bisnis perusahaan papah."

Alvian terkekeh lagi. Setiap pekerjaan pasti memiliki tekanan masing-masing. Ia juga begitu. Tidak mudah merintis restoran yang dulunya sangat kecil kini bisa memiliki cabang di mana-mana. Hanya saja mungkin ia sudah dewasa sehingga tidak perlu banyak mengeluh seperti Marvel.

"Namanya kerja, Vel." Alvian meraih cangkir kopi lalu menyesapnya sedikit. Setelah itu ia letakkan kembali cangkir kopi ke tempat semula. "Oh ya. Gimana hubungan kamu sama Kayla?"

Marvel menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya. "Entahlah, makin ke sini hubungan kami bukannya membaik, malah makin ambyar. Dia suka marah-marah dan suka ngomong semaunya aja."

Alvian tertawa kecil, seperti tawa mengejek. "Bukannya dari dulu memang begitu? Tapi kamu sendiri yang bilang, apapun kekurangannya, akan tetap kamu cinta."

Marvel merenung. Dulu memang begitu. Tidak peduli apapun kekurangan Kayla, ia tetap menyukai apapun tentang gadis itu. Tapi sekarang, seiring bertambahnya usia dan kedewasaan, ia pikir penting mencari calon pendamping yang memiliki sikap, sifat, dan watak yang baik.

Lagi pula, semenjak ia dan Kayla menjalin hubungan kembali, entah mengapa interaksi antara mereka seperti hambar. Romantis pun terkadang seperti hanya sebuah syarat agar hubungan mereka terlihat bahagia. Ia pun tidak tahu, namun yang pasti, ia sendiri merasa hambar.

"Entahlah, sekarang terasa agak beda," jawab Marvel.

Alvian menatap Marvel. "Apa jangan-jangan sebenarnya kamu udah gak cinta? Kedekatan kalian selama ini cuma karena merasa pernah mencintai jadi kalian pikir kalian masih saling cinta."

Marvel langsung menggeleng. "Enggak Kak, aku masih cinta dia. Tapi mungkin karena sekarang aku lagi pusing tentang pekerjaan dan pusing karena nyari Chifa, jadi hubungan kami agak renggang. Bukannya sebuah hubungan harus punya interaksi yang baik?"

Alvian hanya mengangguk-angguk saja. Biarlah urusan hati adiknya menjadi urusan adiknya. Sekarang ia hanya perlu membantu adiknya menyelesaikan satu masalah, yaitu mencari Chifa. "Ya udah kakak mau pulang dulu, kakak iparmu pasti udah nunggu untuk makan siang. Kamu juga harus balik kerja, bukan?"

Marvel mengangguk lalu berdiri. "Ya udah ayo."

* * * *

Ulang tahun perusahaan CH Group akan dilaksanakan besok. Hari ini Marvel sudah terbang ke Bali karena ia tidak ingin kelelahan jika harus langsung menghadiri acara ulang tahun perusahaan Alex. Kali ini ia tidak mengajak Kayla karena dua hari yang lalu gadis itu pergi ke Prancis sebagai perwakilan ayahnya menghadiri acara pameran. Dan kini Marvel sedang berada di dalam kamar hotelnya.

Ia berbaring di atas kasur sambil melipat tangan di belakang kepala untuk dijadikan bantalan. Lelah? Itulah yang ia rasakan. Ia pun memejamkan mata.

"Iya. Saya pembantu baru di sini." Wajah polos Chifa terlihat ceria di saat pertama kali ia melihat gadis itu di kamarnya.

"Punya majikan galak banget sih." Wajah cemberut Chifa saat ia mengusir gadis itu dari ruang kerjanya dulu terbayang dengan sangat jelas.

"Kamu tuh yang kampungan. Baju belum selesai dijahit udah main pake aja." Ketusnya Chifa pada saat dulu berdebat dengan Kayla sukses membuat ia tersenyum walaupun dengan mata yang tertutup.

"Yeay, akhirnya bisa berduaan lagi sama tuan Marvel!" Cerianya gadis itu saat dulu ia antar beli camilan juga kembali terbayang.

"Tuan ngusir saya? Nanti saya ceritain ah kalau tadi saya ngintip Tuan." Wajah jahil gadis itu juga kembali terbayang.

"Yang bener, Tuan?" Mata berbinar gadis itu membuat hatinya gembira juga saat dulu ia membelikan baju untuk gadis itu.

"Ini baju yang belum pernah saya pake. Jadi belum punya saya. Dan saya gak mau bawa kenangan apapun tentang, Tuan." Senyum manis gadis itu di hari terakhir membuat hatinya sedikit sesak. Entah mengapa, ia pun tidak tahu.

"Makasih selama ini udah sabar menghadapi saya. Dan ... Boleh gak saya minta sesuatu dari Tuan."
"Apa?" tanyanya pada saat itu dengan malas.
Tiba-tiba matanya membulat ketika tiba-tiba Chifa memeluknya. Belum selesai rasa terkejutnya, Chifa sudah melepaskan pelukannya. "Cuma itu."

"Dadah, Tuanku sayang!"

Dan lambaian tangan terakhir gadis itu sukses membuat hatinya mencelos. Tak sadar ia menghela nafas panjang. Mengapa ia baru sadar bahwa saat gadis itu mengucapkan kata perpisahan dengan ceria, sebenarnya hati gadis itu tengah terluka. Tapi, kemudian ia tersadar lalu mengacak rambutnya.

"Kenapa tiba-tiba kepikiran dia sih? Jangan-jangan aku udah kena pelet. Jangan-jangan dia hilang karena lagi ada di dukun dan lagi minta mantra semar mesem."

Walaupun ia berbicara seperti itu, namun ia tidak pernah berpikiran tentang pelet. Ia sadar bahwa pikirannya yang tiba-tiba membayangkan gadis itu karena ia merasa bersalah.

Ia bangkit dari tempat tidur lalu menghela nafas. Sepertinya ia terlalu lelah sehingga pikirannya sendiri sulit dikendalikan. Sekarang ia harus mandi terlebih dahulu sebelum pergi istirahat. Dan rencananya nanti malam ia akan mengunjungi rumah Alex karena tadi pagi pria itu memintanya untuk datang.

"Huft. Okeh, sekarang harus mandi dulu." Marvel mengumpulkan semangat terakhirnya untuk mandi.

Pembantu SablengkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang