Chifa ragu-ragu untuk mengetuk pintu kamar Alex. Ia takut pagi ini tuannya masih marah karena kejadian tiga hari yang lalu. Sejak selesai menghukum dirinya, Alex tidak pulang ke rumah sampai acara ulang tahun perusahaannya selesai. Dan baru malam tadi Alex kembali ke rumah dan itupun dalam keadaan mabuk.
Tok tok tok
Akhirnya Chifa memberanikan diri.
"Masuk." Terdengar suara serak Alex mempersilahkan dirinya untuk masuk.
Dengan perlahan ia membuka pintu. Sebelum menunjukkan wajahnya di kamar Alex, Chifa mengubah ekspresi takutnya menjadi senyum ceria. Ia harus bisa mengambil hati Alex agar tuannya itu tidak marah lagi.
"Selama pagi, Tuan." Chifa masih berdiri di ambang pintu dengan nampan berisi segelas susu dan roti.
Terlihat Alex baru bangkit dari berbaringnya. Rambut pirangnya terlihat acak-acakan. Walaupun demikian, pria itu tetap terlihat tampan. "Hm," jawab pria itu masih dengan mata yang lengket.
Chifa berjalan dengan hati-hati menuju meja nakas. "Tuan, jendelanya saya buka ya?"
Alex diam saja, itu artinya 'ya'. Chifa langsung menghampiri jendela dan menyingkap gorden berwarna putih. "Tuan pulang jam berapa tadi malem?"
Chifa masih sama seperti dulu, akan berbicara sesuai apa yang ingin diucapkan tanpa berpikir siapa yang sedang dihadapi. Dan untung saja Alex sudah terbiasa dengan mulut cerewet Chifa. Mulut Chifa itu selalu cerewet walaupun sering di pukul.
"Bukan urusanmu," balas Alex sambil menyingkap selimut.
Chifa kembali pada Alex dan duduk di tepi ranjang. Ini adalah tugasnya, yakni melayani Alex dalam hal apapun. Makan, minum, menyiapkan pakaian, menyiapkan air mandi, bahkan sampai membukakan pakaian atasnya, membantu berpakaian dan menata rambut semuanya harus dilayani.
Bi Tia berkata Alex memang seperti ini sejak dulu. Alex tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu, dan Alex juga tidak pernah mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu Alex ingin seseorang memberikan perhatian dan pelayanan. Maka dari itu pembantunya ditugaskan melayani semua kebutuhannya.
"Minum dulu atau makan dulu, Tuan?" tanya Chifa sambil menunjuk gelas susu dan piring roti.
"Minum."
Chifa tersenyum dan mengambilkan gelas susu. Ia memberikan gelas tersebut pada Alex dan pria itu langsung meminumnya hingga habis setengah. Selesai meminumnya, Alex memberikan gelas tadi pada Chifa.
"Tuan, saya boleh nanya gak?" tanya Chifa hati-hati dan hanya mendapatkan lirikan sekilas dari Alex.
"Tuan masih marah sama saya?" tanya Chifa lagi.
Alex terdiam. Untuk apa gadis ini perlu tahu apakah dia masih marah atau tidak? Apakah gadis ini peduli dengan perasaannya pada gadis itu? Dan apakah gadis itu sedih jika ia marah?
"Maaf. Saya janji gak akan ngulangin lagi." Chifa menunduk. "Dan kalau saya boleh jujur. Sebenarnya gak apa-apa kalau saya dijadiin pembantu gak digaji selama, tapi saya pengen Tuan jangan kasar terus sama saya. Saya kan udah berusaha jadi pembantu yang baik, yang manis, dan ceria. Kalau Tuan baik sama saya, saya janji, saya gak akan ngelawan lagi."
Mendengar ucapan Chifa yang panjang lebar, Alex terkekeh. Mana mungkin ia bisa baik pada gadis ini sementara ia tidak menyukai gadis ini. Jika bukan karena permintaan Kayla untuk menjadikan Chifa budaknya, mana mau ia mengambil gadis ini. Biarlah Ghazali terus menyicil hutangnya dari pada menjadikan Chifa sebagai budak yang menurutnya tidak ada gunanya. Dan ia juga masih ingat dengan janjinya pada Kayla, selama Chifa menjadi budaknya, ia harus bisa membuat gadis ini menderita.
"Masih untung saya kasih makan dan pakaian. Jangan banyak ngoceh gak jelas." Kemudian Alex menunjuk roti. "Saya mau roti."
Chifa melipat bibirnya kemudian meraih piring roti. Minta satu permintaanpun gak dikasih. Dasar tuan galak.
Tapi walaupun dingin dan sedikit kejam, namun soal makanan dan pakaian Alex selalu memperhatikan. Pria itu memberikan seragam kerja serta pakaian sehari-hari. Alex juga selalu menegaskan bahwa ia tidak boleh terlambat makan. Pria itu mengatakan jika ia sakit, maka bukannya membuat hutang dirinya lunas, malah hutangnya akan semakin membengkak karena biaya pengobatan.
"Tuan, kenapa tadi malem Tuan mabuk?" tanya Chifa di tengah kesunyian Alex yang sedang makan.
Alex menatap tajam pada Chifa. "Jangan terlalu mengurusi dan ingin ikut campur," tegas Alex.
Chifa mengangguk lagi. "Tapi sekarang Tuan udah gak marah sama saya lagi, kan?"
Kini Alex mengerti mengapa pagi ini Chifa cerewet, ternyata gadis ini hanya memastikan dirinya sudah tidak marah lagi. "Enggak," jawabnya pada akhirnya.
Chifa langsung tersenyum senang. Jika sifat Alex seperti Marvel, pasti sekarang ia sudah memeluk pria ini dan mengucapkan terima kasih. Tapi mengingat Marvel, sekarang pria itu telah berubah. Tidak seperti dulu yang walaupun selalu mengomel padanya, tapi sebenarnya pria itu tidak benar-benar membencinya. Dan sekarang, pria itu telah membencinya sepenuhnya.
Di tempat lain, di sebuah ruangan, seseorang sedang menatap layar laptopnya dengan perhatian penuh. Alisnya bertaut karena merasa aneh dengan sesuatu yang ia baca. Pria itu adalah Alvian, kakak laki-laki Marvel.
Setelah Marvel mengatakan telah menghentikan pencarian terhadap Chifa, justru anak buahnya baru menemukan satu titik yang mencurigakan. Saat ia memberikan Marvel tentang ini, adiknya itu sudah tidak ingin membahas apapun tentang Chifa. Namun walaupun Marvel telah menghentikan pencarian Chifa, ia malah ingin terus menyelidiki karena ini ada sangkut pautnya dengan teman Marvel, yakni Alex.
"Alexandre Brandtan. Apa bener ini temen Marvel yang Marvel ceritain kemarin? Tapi ...." Alvian sebenarnya tidak ingin berburuk sangka, namun ia memang curiga. Alexandre Brandtan adalah mafia di Swiss dan kini telah menghilang karena kejahatannya terbongkar. Dan Alex teman Marvel juga diketahui berasa dari negara Swiss.
Dari mana ia bisa tahu asal-usul Alex teman Marvel? Tentu saja dari anak buahnya. Anak buahnya berhasil mengambil informasi penerbangan keluar Yogyakarta tiga bulan ke belakang. Berdasarkan tanggal Chifa dibawa pergi oleh rentenir itu, akhirnya anak buah Marvel berhasil menemukan kelima anak buah rentenir itu. Dan entah bagaimana bisa, anak buahnya mengatakan bahwa rentenir itu adalah sangkut pautnya dengan Alex teman Marvel. Namun sampai saat ini masih belum bisa diketahui apakah Alex adalah rentenir. Sangat sulit mengulik tentang Alex karena Alex ini low profil alias sedikit informasi tentang profil hidupnya.
"Marvel harus hati-hati. Tapi gimana caranya ngasih tahu si Marvel? Kadang dia kan agak go-blok, susah dibilangin."
Alvian mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja kerja. Ia menghubungi seseorang. "Halo."
"Halo Bos," jawab seseorang dari seberang telepon.
"Aku ada tugas nih. Tapi tenang, kali ini bonusnya lebih tinggi," ucap Alvian mengiming-imingi.
"Wah, apaan tuh Bos?" tanya orang itu.
"Pergi ke Bali."
"Oke. Tugas-tugasnya kirim lewat email aja ya, Bos. Sekarang aku mau pergi ke toilet. Kebelet. Bye-bye, Bos." Kemudian telepon ditutup begitu saja oleh orang itu.
Alvian memandangi ponselnya sambil melotot. "Kamvret, punya bawahan kok songong. Untung berguna."
Ya, walaupun bawahannya yang satu ini tidak sopan, namun tetap ia percayai. Ia tersenyum setelahnya. "Ada untungnya juga punya temen mantan intel. Berasa kayak aku yang jadi intel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantu Sablengku
Romance"Sableng-sableng gini hanya untuk dirimu, Tuan!" Chifa. Stres, gila, gendeng, sableng, adalah predikat yang diberikan oleh Marvel untuk Chifa. Seorang crazy rich bertemu dengan seorang crazy maid. Baru kali ini Marvel bertemu dengan pembantu yang me...