Sopir Taksi

4.9K 463 9
                                    

Chifa keluar dari apotek. Saat ingin kembali ke mobil, Chifa menoleh ke kanan dan ke kiri. Di mana mobil dan bodyguard yang mengantarnya tadi? Bukankah dua bodyguard yang mengawalnya agar tidak kabur itu berdiri di depan mobil?

"Guard? Oh Bodyguard." Chifa mencoba mencari keberadaan dua manusia yang sedikit menyebalkan itu. "Ya elah, ke mana sih dua orang itu? Masa aku ditinggalin? Mana aku gak ada hp."

Masih mencari dua bodyguard dan mobil hitam Alex, dari kejauhan ia melihat sebuah taksi. Chifa pikir lebih baik naik taksi dan segera pulang dari pada luntang-lantung mencari dua bodyguard yang tak tahu entah di mana. Akhirnya ia melambaikan tangan pada taksi yang akan melintas.

Taksi itu berhenti ketika Chifa melambaikan tangan. Begitu taksi berhenti, Chifa segera masuk dan duduk di dalamnya.

"Ke mana, Mbak?" tanya sopir taksi.

"Ke jalan Anusapati 25 ya, Pak," pinta Chifa sambil tersenyum manis.

Sopir taksi itu sempat berpikir sejenak tapi kemudian mengangguk segera. "Oh iya, Mbak."

Sepanjang perjalanan Chifa banyak berbicara dengan sopir taksi. Chifa tak menyangka bahwa sopir taksi ini sangat ramah. Bahkan sopir taksi ini bertanya tentang asalnya dan bercerita banyak pula.

"Jadi Mbak kerja sebagai ART?" tanya sopir taksi itu.

Chifa mengangguk. "Iya, Pak. Kurang lebih udah hampir tiga bulan," jawab Chifa apa adanya.

"Betah gak, Mbak?" tanya sopir taksi itu lagi.

Chifa tertawa kecil. "Lumayan."

"Wah, pasti kalau punya majikan kaya gajinya pun banyak ya, Mbak," ucap sopir taksi itu seolah-olah ingin tahu sesuatu.

"Saya mah gak digaji, Pak. Saya kan kerja untuk nebus hutang orang tua saya," jawab Chifa yang tidak sadar telah sedikit membongkar rahasia Alex.

"Loh? Kok gitu?" Sopir taksi itu seperti sangat terkejut.

"Iya, soalnya ...." Tiba-tiba Chifa teringat dengan janjinya pada Alex. Ia sudah berjanji untuk tidak mengadu pada siapapun. "Soalnya itu kesanggupan saya juga."

Sopir taksi itu melirik Chifa dari kaca spion depan. Ia bisa melihat Chifa terlihat gugup sekarang. "Oh." Akhirnya hanya itu yang bisa terucap dari mulut sang sopir.

Di tempat lain. "Apa? Chifa hilang? Kalian ini bodoh atau gimana! Jumlah kalian dua orang, kenapa gak bisa jagain satu orang! Dasar gak becus! Cari dia sampai dapet!"

Alex langsung menutup telepon dengan sangat marah. Bisa-bisanya dua bodyguard yang ia percayai untuk menjaga Chifa bisa kehilangan gadis itu. Dan bagaimana bisa Chifa kabur sedangkan sudah jelas ancaman dirinya. Jika gadis itu melarikan diri, maka nyawa ayahnya yang akan menjadi taruhannya.

"Dia gak mungkin kabur."

Alex yang sedang berdiri di balkon langsung masuk ke dalam. Sambil berjalan ia menyambar jaket yang tadi pagi ia kenakan kemudian pergi keluar. Dua bodyguard sepertinya tidak akan cukup untuk mencari gadis lincah yang satu itu. Ia harus mengerahkan beberapa orang lagi.

Kembali lagi pada Chifa, akhirnya taksi yang ditumpangi olehnya berhenti tepat di depan gerbang rumah Alex. Begitu Chifa turun dari taksi, pintu gerbang terbuka dan di balik gerbang berdiri Alex serta lima pria berbadan tegap. Kelihatannya Alex sedang berbicara dengan lima pria itu namun terhenti karena melihat sosok Chifa.

"Tuan? Kok udah turun? Kan Tuan lagi sakit." Chifa langsung menghampiri Alex yang sedang menatapnya dengan tajam.

Begitu Chifa sudah berdiri di depan Alex, Alex langsung mencengkram rahang Chifa dengan sangat kuat hingga Chifa meringis kesakitan. "Dari mana aja kamu? Hah?!" Alex membentak Chifa dengan keras tanpa sadar bahwa taksi yang mengantar Chifa belum pergi.

Salah seorang bodyguard menghampiri Alex dan membungkuk. "Tuan, masih ada orang lain di sini," ucap bodyguard itu memperingati Alex. Jangan sampai tabiat buruk tuannya terbongkar ke publik.

"Tutup gerbangnya!" Kemudian tanpa memikirkan sopir taksi yang mungkin masih memperhatikan, Alex menarik tangan Chifa untuk masuk ke dalam rumah dengan kasar. Setelah itu pintu gerbang ditutup oleh dua bodyguard.

Sedangkan di dalam taksi, sopir yang mengantarkan Chifa mencengkram setir tanpa sadar. Bisa-bisanya pria bernama Alex itu memperlakukan Chifa dengan kasar. Namun tak mungkin ia lama-lama berada di sana karena ia tidak ingin dicurigai. Mengenai Chifa yang lupa membayar argo sama sekali tidak masalah, toh dirinya juga bukan seorang sopir sungguhan.

Sambil menjalankan taksinya, ia menghubungi seseorang.

"Aku udah berhasil. Rumahnya di jalan Anusapati 25, nomor rumah 122. Dan bener Bos, mantan pembantu Marvel itu dijadiin budak untuk nebus hutang. Bahkan tadi aku lihat sendiri Chifa diperlakukan kasar. Pas aku tanya kenapa dia kerja gak digaji, dia bilang itu kemauan dia supaya hutangnya bisa kebayar, tapi aku tahu dia nutupin sesuatu. Kayaknya dia udah diancam. Jadi, bisa jadi Alex ini bener-bener rentenir." Ia mengangguk. "Oke, pasti."

Di tempat lain, Alvian menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Chifa benar-benar dibawa oleh rentenir. Lalu mengapa bisa Marvel memutuskan bahwa Chifa bersandiwara tanpa mencari tahu dulu kebenarannya? Ah, tapi ia ingat, Marvel itu terkadang sedikin o-on. Selalu mengedepankan emosi.

"Si Marvel harus tahu." Tapi Alvian berpikir lagi. "Tapi aku kan belum punya bukti yang kuat untuk yakinin di Marvel." Dan ia berpikir lagi. "Ah, tapi aku harus peringatin si Marvel dulu."

* * * *

"Akh! Ampun Tuan!" Memekik sakit setiap kali Alex melayangkan tamparan. Sudah berkali-kali ia ditampar dan Chifa hanya bisa menangis tanpa bisa melawan. "Ampun Tuan! Saya gak salah!"

Alex menghentikan tamparannya lalu menjambak rambut Chifa. "Masih mau ngelak?"

Chifa menangis sesegukkan. Padahal ia tidak tahu apa salahnya. Jelas-jelas ia ditinggal oleh bodyguard dan terpaksa naik taksi. Akan tetapi mengapa dirinya disiksa? "Tuan, saya gak niat kabur. Kalau saya niat kabur, kenapa saya naik taksi untuk pulang? Dua bodyguard itu yang hilang jadi saya terpaksa pulang sendiri. Saya mohon Tuan, jangan siksa saya lagi. Sakit."

Seketika itu Alex melepaskan Chifa. Matanya masih menatap tajam. "Mereka yang pergi?" Tentu saja Alex akan langsung mempercayai ucapan Chifa karena Chifa tidak pernah berbohong. Mengapa dua bodyguard itu tidak mengatakan yang sebenarnya? Dua bodyguard itu berkata bahwa Chifa tiba-tiba menghilang saat mereka sedang memeriksa ban mobil di depan apotek. Jika yang dikatakan Chifa adalah benar, berarti bodyguardnya sudah berani membohongi dirinya.

"Bi Tia!" teriak Alex dengan keras.

Beberapa detik kemudian bi Tia datang dengan nafas yang ngos-ngosan. Sepertinya bi Tia habis berlari dari lantai satu. "Saya Tuan."

"Obatin Chifa." Kemudian Alex melenggang pergi dengan langkah lebar. Terlihat amarah masih menguasai pria itu. Sesampainya Alex di lantai satu. "Panggil dua bodyguard yang mengawasi Chifa!" teriak Alex dengan penuh amarah.

Perintah Alex pantang untuk dibantah ataupun dilaksanakan dengan lamban. Bodyguard yang berdiri di depan pintu ruang tamu langsung berangkat memanggil dua bodyguard yang dikhususkan untuk mengawasi Chifa jika pergi ke luar.

"Aku yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Sial." Alex mengusap wajahnya dengan kasar.

Pembantu SablengkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang