Pukul empat pagi Chifa sudah bangun. Mengapa ia bisa bangun sepagi itu? Bukan karena kebiasaan, melainkan ia sudah memasang alarm di ponsel jadulnya, Adhanse (plesetan merk) keluaran lama. Masih berbaring dan matanya masih terpejam, tangannya sudah lebih dulu bergerak ke sana kemari mencari ikat rambut. Begitu sudah mendapatkan benda yang dicari, barulah Chifa bangun kemudian duduk bersila di atas ranjang. Ia mengikat rambut secara asal sambil menguap lebar.
"Hoaaaaam ...." Ia menguap panjang.
Selesai mengikat rambut ia duduk sebentar untuk mengumpulkan semua sukma yang berkeliaran jauh. Hari ini adalah hari ke-dua ia bekerja. Tapi rasanya ia sudah sangat nyaman dan malah jadi malas untuk bekerja.
Ting, ia kembali teringat pada jajanannya yang masih menumpuk di ruang tengah. Ia menepuk jidat. "Alamak! Jangan sampe ditemuin duluan sama Tuan. Nanti diembat semua!"
Tanpa mempedulikan penampilan yang acak-acakan, ia segera mengenakan sendal jepit yang digunakan di dalam rumah kemudian berlari keluar kamar.
Begitu keluar dari kamar, ia memperlambat langkah kakinya. Suara sandalnya begitu nyaring di rumah yang masih sangat sepi. Sepertinya Liana dan yang lainnya belum bangun. Ia pun menghela nafas lega. "Huft, untung." Chifa pun segera berjalan ke ruang tamu dan langsung mengamankan jajanannya ke dalam kamar.
Selesai mengamankan jajanannya, ia segera kembali ke dapur. Ia harus mulai memasak karena biasanya keluarga Willson sarapan pagi-pagi sekali. Sambil menunggu nasi matang, Chifa mengerjakan pekerjaan lain seperti menyapu dan membereskan dapur. Ia harus melakukan banyak pekerjaan sekaligus agar pekerjaan cepat selesai sehingga ia bisa cepat-cepat santai.
"Chifa, kamu udah bangun."
Chifa menoleh ke arah pintu dapur yang terbuka. Dari pintu dapur ia masih bisa melihat anak tangga dan ia melihat Liana tengah turun sambil menggelung rambut panjangnya. " Udah, Nya," jawabnya seadanya sambil tersenyum lebar.
Liana masuk ke dapur dan melihat dapur sudah rapi. "Wih, ternyata kalau gak kesiangan kamu lebih gesit lagi ya," canda Liana sambil terkekeh pelan mengingat kemarin Chifa kesiangan dan terlihat sangat panik.
Chifa menyengir. "Hehehe, pasti dong, Nya. Masih muda harus ligat."
Liana berjalan menuju kulkas lalu membukanya dan menelisik isinya. "Mau masak apa nih?"
Chifa ikut melihat isi kulkas. "Wah, masak apa ya yang enak? Nyonya mau makan apa?"
Liana tampak berpikir sejenak. "Kalau saya sih apa aja juga suka, tapi kalau Marvel sama Tuan sukanya udang asam pedas. Dan kebetulan banget ini masih ada udangnya."
"Kalau gitu masak udang asam pedas aja, Nya."
Waktu memasak telah usai. Semua masakan telah siap dan tinggal di susun di meja makan. Akan tetapi saat Chifa akan menghidangkan sarapan, Liana melarang. Tentu saja Chifa bingung. "Kenapa, Nya?"
"Nanti aja. Sekarang kan hari Minggu, biasanya kalau libur begini kami sarapannya jam setengah delapan. Sekarang baru jam setengah tujuh. Mending kamu ambil baju kotor di kamar Marvel. Kemarin kan dia gak ada ngeluarin baju kotor. Sekalian lihat dia udah bangun belum."
Chifa mengangguk dengan sangat semangat. "Oke, Nya."
Seperti biasanya, Chifa berjalan dengan riang seperti anak kecil. Melihat Chifa seperti itu, Liana jadi ikut semangat.
Tok tok tok
"Tuan. Bangun." Chifa mengetuk lagi. "Udah bangun kan? Saya mau ngambil cucian kotor."
Tok tok tok
"Tuan ... Oh Tuan." Chifa meniru gaya kartun negeri tetangga yang memanggil 'atok' nya.
"Tuan, kalau masih gak jawab saya masuk ya."
Karena memang tidak ada jawaban apapun, akhirnya Chifa memutuskan untuk masuk. Begitu masuk ke dalam kamar Marvel, Chifa menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapapun di sana. Tapi tak lama kemudian terdengar gemericik air dari dalam kamar mandi. Oh, ternyata Marvel sedang mandi.
Oh iya. Aku kan mau ngasih pelajaran sama Tuan Marvel. Aku kerjain ah.
Dengan sangat hati-hati Chifa melangkah mendekati pintu kamar mandi. Suara gemercik air semakin terdengar dengan jelas. Ia menekan kenop pintu kamar mandi dan tentunya tidak akan dikunci karena kamar mandi ini adalah kamar mandi pribadi Marvel. Terbuka sedikit. Chifa menempelkan wajahnya ke celah pintu yang tercipta.
Dan seketika matanya membulat sempurna tanpa ingin teralih lagi. Di balik kabin mandi kaca transparan, ia bisa melihat Marvel tengah berdiri dibawah kucuran air shower. Bulir-bulir air mengaliri tubuh Marvel dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan yang membuat Chifa melotot adalah Marvel yang tak mengenakan sehelai benangpun.
Aaaa! Senangnya bisa lihat Tuan Marvel polosan kayak gini. Chifa terkikik senang.
Entah otak mana yang bergeser ataukah ada setan yang merasukinya. Ia mengintip tuannya mandi dengan sangat tidak tahu malu. Bagaimana jika Marvel tahu? Pasti dia akan dipecat langsung dan mendapatkan cap di jidatnya bertulisan 'pembantu cabul'.
Samar-samar Marvel dengan suara-suara seperti tertawa sangat pelan. Ia mematikan shower untuk memperjelas fokus pendengarannya pada suara aneh itu. Awalnya ia pikir jangan-jangan ada makhluk halus di kamar mandinya. Akan tetapi ia segera terlonjak kaget saat melihat dua mata yang memperhatikan dirinya dari celah-celah pintu.
"Aaaa!" Marvel langsung menutupi bagian-bagian rahasianya sambil berlari menyambar handuk.
Melihat Marvel kaget seperti itu membuat Chifa malah tertawa terbahak-bahak dan akhirnya pintu terbuka lebar. Chifa tertawa sampai sakit perut dan berguling-guling di lantai. Rasanya puas sekali sudah membuat tuannya itu terkejut setengah mati.
"Kamu gila ya?!" Marvel berjalan ke arah luar kamar mandi setelah melilitkan handuk pada pinggulnya. "Kurang ajar kamu!"
Chifa berdiri kemudian merentangkan kedua tangan di depan pintu untuk menghalangi jalannya Marvel. "Saya gak gila, Tuan."
Rahang Marvel mengeras. Antara marah dan malu bercampur menjadi satu hingga seluruh wajahnya memerah bahkan sampai leher. Tangannya mengepal ingin melayangkan sebuah pukulan namun tidak mungkin ia main tangan pada seorang wanita. Ia hanya bisa menggeram menahan amarah yang membludak. Ia tidak habis pikir bahwa ternyata Chifa tak hanya aneh, tapi juga mata keranjang.
"Hutannya gundul ya,Tuan." Chifa terkikik sambil mengamati wajah Marvel yang semakin memerah.
"Keluar!" bentak Marvel.
Chifa terkejut dengan bentakkan itu sehingga berhenti tertawa. Akan tetapi beberapa detik kemudian ia tertawa lagi. "Jangan galak-galak lah Tuan. Nanti cepet tua."
Marvel memejamkan mata untuk meredakan emosinya, akan tetapi sepertinya kali ini gagal. Dengan kasar ia mendorong lalu menyeret Chifa ke arah pintu. Cekalannya pada lengan Chifa sangat kuat hingga Chifa sempat meringis. Marvel mendorong Chifa keluar dari kamar.
"Saya pastikan kamu akan keluar dari rumah ini hari ini juga. Dasar Gila." Marvel menutup pintu dengan kasar.
Begitu pintu tertutup, ia diam sejenak. Wajah sangarnya berubah menjadi wajah frustasi. Ia berjalan ke arah ranjang sambil mengacak-acak rambut basahnya. "Sialan! Akh!"
Malu? Jangan ditanya. Selama ini belum ada yang pernah melihat tubuh polosnya. Tapi hari ini bisa-bisanya seorang asisten rumah tangga sengaja mengintipnya. Bahkan gadis itu tidak mengelak ataupun membela diri. Padahal Chifa bisa mengatakan tidak sengaja lalu meminta maaf, akan tetapi gadis itu malah tertawa terjungkal-jungkal dan sempat membahas 'milik' nya.
"Akh! Dasar gila! Pembantu gila! Stress! Awas aja, aku bakal kasih pelajaran dan akan aku tendang dia dari rumah ini secara tidak hormat."
Rasanya ia ingin menangis meraung-raung. Ia malu, marah, dan kesal. Bagaimana ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantu Sablengku
Romansa"Sableng-sableng gini hanya untuk dirimu, Tuan!" Chifa. Stres, gila, gendeng, sableng, adalah predikat yang diberikan oleh Marvel untuk Chifa. Seorang crazy rich bertemu dengan seorang crazy maid. Baru kali ini Marvel bertemu dengan pembantu yang me...